Berita Aktual

Selasa, 28 Juni 2022

Gambar Sampul Depan

Buku Silsilah Keluarga Trah Sanrejo

Gambar di atas adalah gambar sampul buku Silsilah Keluarga Trah Sanrejo. Berhubung jumlah buku edisi cetaknya terbatas, kami coba tampilkan dalam blog Trah Sanrejo ini supaya dapat diakses oleh lebih banyak orang. Tamilannya memang agak berbeda dengan edisi cetak, yaitu ditampilkan dalam beberapa bagian, namun secara keseluruhan, isi buku edisi digital ini sama dengan edisi cetaknya.

Bagian 1

SILSILAH KELUARGA

TRAH SANREJO

Ungkapan Hormat dan Syukur

Kepada Leluhur

Persembahan Ateng Winarno

Pengantar

Naskah buku ini saya tulis dalam usia tuaku. Saya sudah beren-cana menulis buku ini jauh sebelumnya, beberapa tahun sebelum usiaku genap 70 tahun. Dulu ketika kakak-kakakku mencapai usia itu, saya merasa kagum, salut dan hormat, karena mereka bisa mencapai usia yang dalam masyarakat sangat disyukuri sebagai anugerah usia lanjut dari Tuhan. Pada waktu itu usia harapan hidup penduduk Indonesia belum mencapai rata-rata 70-an tahun. Bagaimanapun, usia yang panjang adalah suatu anugerah yang bernilai. Hal itu bukan pertama-tama prestasi kita, malainkan karena kehendak Tuhan. Sebagai tanggapan atas anugerah itu, bahkan ada sebagian masyarakat yang mempunyai kebiasaan menerima dengan sukacita apabila ada anggota keluarganya dipanggil Tuhan setelah mencapai usia 70 tahun. Mereka tidak perlu menangis karena sedih. Mereka mensyukuri karena Tuhan memberikan kepada saudaranya anugerah usia panjang.

Pada tahun 2019 saya berencana menulis buku mengenai keluarga besarku, sebagai persembahan dan ungkapan syukur atas anugerah Tuhan selama ini. Saya bersyukur atas penyertaan Tuhan, atas anugerah kesehatan, rezeki, keluarga dan kehangatannya, kelan-caran dalam bekerja dan usaha. Buku itu sekaligus sebagai refleksi atas keberadaanku di tengah keluarga dan perjalanan hidupku. Saya merasakan bahwa semua yang saya jalani tidak terlepas dari campur tangan Tuhan, bahkan saya merasa penyertaan Tuhan begitu dekat dalam kehidupan kami sehari-hari. Melalui buku ini saya juga hendak menyatakan rasa hormat dan syukur kepada orangtuaku, kakek dan nenek, kakek nenek butut dan canggah, serta para leluhur, yang dipilih Tuhan untuk melahirkan kami ke dunia.

Saya sangat hormat dan bangga kepada ayahku, Partowirejo, yang ketika menjadi buruh pemecah batu (meskipun tidak lama), terge-rak hatinya untuk menyekolahkan anak-anaknya, supaya kelak anak-anaknya bisa memperoleh penghasilan yang baik, dan hidup sejahtera, tidak seperti dirinya yang diupah kecil karena ia buta huruf. Sekalipun beliau tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya setinggi orang-orang pada saat ini, tekadnya untuk menyekolahkan anak-anaknya memberikan hasil yang kemudian mengubah hidup keluarga kami. Ketika negara mulai menggerakkan masyarakat untuk mengirim anak-anak ke sekolah dasar beberapa tahun setelah kemerdekaan RI, ayahku mengirim Mas Sugiman dan Subirin ke SR (sekolah rakyat – sekarang SD) di Sambi, dan kemudian mereka sendiri melanjutkan pendidikannya sampai SGB, dan kemudian mereka menjadi guru sekolah dasar. Istilah masyarakat pada waktu itu mereka menjadi priyayi (bukan pekerja kasar, dan setiiap bulan mendapat gaji).

Selanjutnya, kami adik-adik Mas Sugiman dan Subirin, berkat bantuan mereka, juga terdorong untuk bersekolah demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Melalui buku ini, cerita inspiratif itu hendak kami tularkan kepada generasi yang lebih muda supaya memperbaiki kehidupannya di tengah keluarga masing-masing. Namun ketika naskah buku itu baru setengah jadi, tiba-tiba mun-cul pandemi Covid 19, sejak Maret 2020, yang melanda seluruh dunia, yang meng-akibatkan berbagai kesulitan dalam kehidupan masyarakat, antara lain berupa pembatasan orang untuk berkum-pul dan sebagainya. Padahal saya merencanakan buku itu akan kubagikan kepada saudara-saudara pada pertemuan keluarga Trah Sanrejo di Jakarta, yang memang sudah direncanakan akan diada-kan pada peringatan syukur ketika usiaku genap 70 tahun, awal Juni 2020.

Berhubung pertemuan keluarga itu tidak mungkin diselenggara-kan, maka penyelesaian naskah buku itu saya tunda, lalu saya menulis buku yang lain, yang sudah terbit pada tahun 2021 yang lalu. Kemudian pada saat menulis buku untuk kalangan Gereja tersebut, saya terinspirasi untuk menulis silsilah keluarga Trah Sanrejo, yang sebelumnya sudah saya buat dalam bentuk bagan yang memang tidak mudah untuk dibaca, karena nama-nama yang dicantumkan terlalu banyak. Sekarang, melalui silsilah yang kami sajikan dalam buku ini, saya berharap saudara-saudaraku bisa membaca dan melacak silsilah keluarganya dengan lebih mudah, sampai ke kakek-nenek, embah buyut, embah canggah, dan embah warengnya.

Silsilah ini disajikan dengan menguraikan satu keluarga sampai tuntas, dari orangtua (diri sendiri), sampai ke anak, cucu, cicit atau buyut, canggah, wareng, bahkan uthek-uthek. Karena keterbatasan data mengenai keluarga dalam Trah Sanrejo, maka dalam silsilah ini hanya diuraikan silsilah tiga rumpun keluarga besar, yaitu rumpun keluarga Mbah Joyo dari Karangpilang, rumpun keluarga Mbah Semi Proyo dari Imogiri, dan rumpun keluarga Mbah Saman atau Sanrejo muda dari Karangpilang. Uraian mengenai keluarga-keluarga dalam silsilah ini berurutan sesuai dengan nomor urut kelahiran setiap orang dalam keluarga masing-masing. Dengan demikian, rumpun keluarga Mbah Joyo diuraikan di depan, berikutnya rumpun keluarga Mbah Semi Proyo, dan tera-khir rumpun keluarga Mbah Saman atau Mbah Sanrejo muda.

Harus diakui, bahwa masih banyak kekurangan dalam silsilah keluarga ini, baik mengenai data yang kurang lengkap, informasi yang tidak akurat, bahkan mungkin ada data keluaraga yang luput dari perha-tian kami, kesalahan pengetikan nama dan tempat, atau kesalahan lain. Untuk itu kami mohon dimaafkan. Silsilah di dalam buku ini tidak akan terwujud kalau tidak ada bantuan dari saudara-saudara sekalian. Karena itu kami berterima kasih atas bantuan yang dibe-rikan kepada kami. Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Mas Djumadi yang memberikan data mengenai keluarga Mbah Joyo, Mas Ujang Biantoro dan Mbak Atik Trisno Atmojo yang memberikan tambahan data mengenai keluarga Mbah Semi Proyo, Mas Trisno Atmojo yang memberi foto kelu-arga-keluarga di panggung, untuk melengkapi foto-foto yang saya buat sendiri, dan khususnya saudara-saudaraku yang lain dari keluarga rumpun Mbah Saman yang tidak dapat saya sebut satu per satu.

Saya berharap buku sederhana ini berguna dan bermanfaat bagi saudara-saudara. Akan lebih baik lagi, kalau silsilah yang masih banyak kekurangannya ini diperbaiki, dilengkapi, dan dilanjutkan dalam keluarga masing-masing, karena silsilah sebuah keluarga tidak akan berhenti. Buku ini saya tulis sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas orangtua, kakek dan nenek, embah buyut dan para leluhur. Buku ini juga merupakan ungkapan hor-mat dan syukur bagi semua orang tua, khususnya ayah dan ibuku Pak Partowirejo dan Mbok Daliyem. Tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk mereka, kecuali mendoakan dan mengungkapkan rasa hormat dan syukur melalui buku ini.

Karena ini adalah buku silsilah, kemungkinan besar akan disimpan atau dipegang dalam waktu yang lama. Sementara waktu terus berjalan, dan selama itu pasti terjadi banyak perubahan. Berkenaan dengan itu, uraian yang megandung maksud untuk menerangkan waktu pada saat ini, baik yang disebutkan dengan kata “sekarang” atau “kini” maupun tidak disebutkan, adalah waktu pada saat saya menulis buku ini, dari bulan Februari hingga Juni tahun 2022.

Saya berharap melalui silsilah ini, saudara-saudara dapat saling mengetahui dan mengenal saudara-saudaranya. Ada yang akrab dalam pergaulan karena hubungan kakak adik atau keluarga. Ada juga yang menjadi akrab karena kedekatan dalam pekerjaan atau tempat tinggal. Ada juga juga yang menjadi dekat karena hobi atau kesamaan minat. Kedekatan keluarga dalam satu trah (keturunan) bisa mendekatkan kita yang sebenarnya masih bersaudara karena hubungan darah. Namun karena kita tidak saling mengetahui, maka hubungan itu menjadi jauh, karena tidak saling au mengenal.

Karena kita berada dalam satu trah, sekalipun sebelumnya tidak saling mengenal, tidak pernah berhubungan, atau berjauhan dalam tempat tinggal, kita bisa saling menyapa, saling berkabar, berbagi kegembiraan dan sukacita, bersimpati dan berempati pada saat ada saudara kita mengalami masalah, dan saling mendoakan untuk kebaikan bersama. Apalagi didukung oleh alat komunikasi digital sekarang ini, kita dapat menjangkau, menyapa dan berbagi kabar dengan saudara lain di mana pun. Kita bisa menjalin persahabatan dan keakraban bersama, memberi perhatian, membantu dan meno-long sesama. Semoga kita semua selalu mendapat perlindungan, berkat, dan rahmat Tuhan Sang Pencipta, yang Mahakuasa dan Maharahim, yang senantiasa memelihara kehidupan kita. Amin.

Jakarta, 3 Juni 2022

Salam damai, sehat dan sejahtera

Ateng Winarno

Trah Sanrejo, pendahuluan

Biasanya orang mengetahui nama bapak dan ibunya, juga kakak atau adiknya. Tetapi nama kakek atau neneknya, saudara sepupu-nya, paman dan bibinya, sekalipun mereka masih hidup sering tidak diketahui. Paling jauh yang diketahui adalah nama panggil-annya, misalnya, Mbah Kudus, Mbah Selo, Mbah Kalinang atau juga mbah-mbah lain. Namun kalau kita mengetahui dan me-ngenal saudara-saudara kita sendiri, akan lebih baik bagi kekera-bataan kita, lebih-lebih pada saat ini, yang umumnya dalam satu keluarga hanya ada dua orang anak. Selain itu, orangtua, dan orang-orang yang lebih tua yang menjadi perantara kita lahir ke dunia adalah orang-orang yang selayaknya kita hormati, sebab merekalah orang yang dipilih Tuhan untuk melahirkan kita. Kecu-ali itu, mereka, sekalipun sudah tiada, bisa mempersatukan kita yang masih ada hubungan darah, meskipun tempat tinggal kita berjauhan.

Itulah yang terjadi pada kakek moyang kita, Sanrejo, orang Dukuh Karangpilang, Kelurahan Jagoan, Kecamatan Sambi, Boyolali, yang kemungkinan lahir pada pertengahan abad ke-19, tahun 1840-an. Sekarang kita masih mengenangnya sebagai Mbah San-rejo. Tempat beliau dimakamkan pun kita tahu, karena tempat makamnya sudah dipindahkan ke tempat yang lebih mudah dijangkau, di pasarean Karangpilang. Beliaulah orang tertua dalam keluarga kita yang masih kita ketahui namanya, nama anak-anaknya, dan juga kita ketahui tempat pemakamannya. Mengenai nama beliau, baru kami ketahui dari Kangmas Arjo Samino, yang ketika ia masih kecil sering diajak kakeknya, Mbah Saman, untuk berziarah ke makam bapaknya, di Mangunan. Dari nama bapaknya itulah, maka Mbah Saman anak bungsu Mbah Sanrejo mengambil nama tuanya, yaitu Sanrejo juga.

Sekarang kita bisa mengenang Mbah Sanrejo, leluhur kita dan juga mendoakannya. Namun tidak terbatas pada beliau, karena kita tahu di atas Mbah Sanrejo tua ada banyak para leluhur yang menjadi perantara kelahiran kita di dunia. Sekalipun tidak menge-nal mereka, kita patut dan layak mendoakan mereka. Menurut Kang Arjo, kakek buyutnya itu pada masa mudanya dipanggil dengan nama Bodong. Para cucunya pun memanggilnya Mbah Bodong. Mungkin itu hanya nama panggilan, bukan nama asli-nya. Pada saat sudah berkeluarga, ia mengambil nama tua, San-rejo. Namun karena anak bungsunya kemudian juga mengambil nama Sanrejo, maka dalam tulisan ini Mbah Bodong saya sebut dengan Mbah Sanrejo tua. Mbah Sanrejo tua punya delapan orang anak yang terdiri atas empat anak laki-laki, dan empat anak perempuan. Mereka bernama Rosid, Rawis, Matngisa, Joyo (nama suaminya), Seco (nama suaminya), Senok, Semi, dan Saman.

Ketika masih muda ketiga anak laki-lakinya, yaitu: Mbah Rosid, Rawis, dan Matngisa pergi ke Banyuwangi. Mungkin pada masa itu ada program dari pemerintah pemerintah kolonial Belanda, yang mengerahkan sejumlah pemuda ke Banyuwangi. Mereka menetap dan beranak cucu di sana. Kita belum menemukan jejak saudara-saudara kita yang bermukim di Banyuwangi ini. Pernah salah seorang anak mereka, Mbah Gareng namanya, berkunjung ke Karangpilang. Menurut Simbok, dia kepernah pak gedeku (seorang dari anak tiga orang itu). Sayangnya setelah kunjungan itu tidak ada lagi kunjungan dari Banyuwangi, sementara itu dari keluarga di Karangpilang belum ada yang berkesempatan untuk berkunjung ke Banyuwangi. Akibatnya komunikasi keluarga ini terputus sampai sekarang. Di luar ketiga anak yang pergi ke Banyuwangi masih ada Mbah Joyo, Mbah Seco, Mbah Senok, Mbah Semi, dan Mbah Saman. Dari keturunan mereka yang masih terlacak pada saat ini adalah keturunan Mbah Joyo yang masih banyak tinggal di Karangpilang, keturunan Mbah Semi yang banyak bermukim di Imogiri, dan keturunan Mbah Saman, yang menyebar di Karangpilang dan di berbagai tempat.

Mbah Sanrejo tua dapat dipastikan juga seorang petani desa. Diperkirakan ia juga memiliki keterampilan anyam-menganyam yang kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Mbah Sanrejo muda juga ahli dalam membuat anyam-anyaman, baik gedek untuk dinding rumah maupun kepang, kalo, bakul, tampah dan peralatan rumah tangga lainnya. Menurut Kang Arjo Samino, Mbah Seco, juga mempunyai keterampilan yang sama. Ia sering membuat kalo dan sebagainya. Sayangnya keluarga-keluarga keturunan Mbah Seco ini belum terlacak sampai sekarang. Tulisan pada buku ini saya harapkan bisa mempermudah keluarga besar Trah Sanredjo untuk melacak saudara-saudara dan kerabat mereka, sejauh ada informasinya, siapa tahu mereka berdekatan dalam tempat tinggal, atau berhubungan dalam pekerjaan kita.

Untuk melengkapi tulisan ini saya lampirkan beberapa tulisan lepas yang sudah dimuat dalam Blog Trah Sanrejo lebih dari 10 tahun yang lalu, sebagai berikut:

Rolas Sinembah (sebagian informasi dari Mas Subirin)

Mbah Sanrejo tua adalah kakek moyang kita yang tertua, yang nama dan makamnya masih kita ketahui. Siapakah kakek kita itu? Kakek dan Nenek Sanrejo tua adalah orangtua yang menurunkan kita. Beliau adalah kakek dari simbok saya, atau kakek buyut saya, juga kakek canggah Martin dan Yuan anak saya, dan kakek wa-reng dari cucu saya Niko dan Ratih. Kini para cucu, buyut, dan wareng mereka tersebar di Karangpilang, Boyolali, Imogiri, Gu-bug, Brebes, Jakarta, Banyuwangi, Sumatera, Kalimantan, Lom-bok, dan tempat-tempat lain di Indonesia.

Kita orang Jawa memiliki istilah rolas sinembah (dua belas yang dihormati), untuk menghormati para orang tua dan leluhur kita, sampai 12 tingkat (generasi). Mulai dari diri kita sendiri (1), ayah dan ibu (2), embah (3), embah buyut (4), embah canggah (5), embah wareng (6), embah uthek-uthek (7), embah gantung siwur (8), embah gropak senthe (9), embah tebu sinoyong (10), embah petarangan bubrah (11), dan embah amun-amun (tingkat ke-12). Bagi yang sekarang merupakan para sesepuh Trah Sanrejo, seperti Br Paulus, dan Mas Ujang Biantoro, Mbah Sanrejo tua adalah embah buyut. Dan bagi yang lebih muda seperti Bowo Budi Susilo dan Trisno Atmojo, Mbah Sanrejo adalah embah canggah. Sedangkan bagi yang lebih muda lagi seperti Aghata Prima, Agustinus Susanta, dan Ni Putu Nova, Mbah Sanrejo tua adalah embah wareng. Dan bagi yang lebih muda lagi seperti Michelle Garis Padma Oditi anak Brigita Sekar, dan Abigail Gracia Kirana anak Stephania Dyah Utari, Mbah Sanrejo adalah embah uthek-uthek. Di bawah itu belum ada yang lahir. Kita baru bisa merunut nenek moyang kita sampai mbah uthek-uthek atau tingkat ketujuh.


Kalau dilihat dari sisi sebaliknya, bahwa Mbah Sanrejo tua adalah generasi pertama, maka Mbah Joyo, Mbah Proyo (Semi), Mbah Saman dan saudara saudaranya adalah generasi kedua. Mbah Samiyem, Mbah Daliyem, Mbah Pawiro dan saudara-saudara sepupunya di Imogiri dan Banyuwangi adalah generasi ketiga. Sedangkan Mbah Arjo Samino, Mbah Sugiman, Mbah Subirin, dan saudara-saudaranya; Mbah Kasidjo, Mbah Ujang Biantoro dan saudara-saudara lainnya yang setingkat adalah generasi keempat atau saudara misan. Kemudian Senu, Semin, Bowo, Trisno, dan lainnya yang setingkat adalah generasi kelima atau istilahnya saudara mindo. Yang lebih muda lagi bisa menempatkan posisi-nya. Sekarang ini ada cukup banyak yang merupakan generasi keenam. Sedangkan yang merupakan generasi ketujuh pada umumnya masih sangat muda. Mungkin belum banyak yang sudah dewasa. Salah satunya yang sudah dewasa adalah adalah Riki keturunan dari Mbah Sanrejo Muda yang sudah menikah dengan Yuyun dan belum punya anak. Ia adalah cucu uthek-uthek. Urut-annya adalah: diri sendiri - anak – cucu – buyut/cicit – canggah – wareng – uthek-uthek – gantung siwur (belum ada dalam Trah Sanrejo). Tulisan Ateng Winarno, 27 Maret 2010, direvisi 17 Mei 2022.

Sang Cikal Bakal

Saya pernah bertanya kepada beberapa orang mengenai keluar-ganya. Mereka dengan mudah menjawab pertanyaan mengenai siapa ayah dan ibunya. Begitu juga ketika ditanyakan siapa saja nama-nama saudara kandungnya. Nama anak-anaknya pun diingat dengan baik. Tetapi ketika ditanyakan nama kakek dan neneknya ada yang menjawab dengan fasih, tetapi ada juga yang mengata-kan: "Aku tahu betul kakek dan nenekku, tetapi aku tidak tahu namanya, karena biasanya kami memanggilnya Mbah Kung atau Akung untuk kakek dan Mbah Ti atau Uti untuk nenek." Sedang-kan orang yang sudah sepuh kalau ditanya tentang nama cucu-cucunya, banyak juga yang tidak bisa menjawab dengan lancar, apalagi kalau orang itu punya banyak cucu. Hal itu wajar saja, dan tidak mengganggu komumikasi di dalam keluarga.


Kakek dan nenek biasanya ada empat orang (dua dari pihak ayah dan dua dari pihak ibu), penyebutan nama kakek, mbah atau eyang, atau aki atau oma, sering dikaitkan dengan domisili si embah. Ibuku sering disebut oleh kemenakan-kemenakanku seba-gai Mbah Kalinang, bukan Mbah Parto atau Mbah Daliyem, sedangkan embah mereka yang lain disebut dengan Mbah Parno-sastro, Mbah Kudus, Mbah Darno, atau mbah lain. Penyebutan seperti ini memang tidak mengacaukan komunikasi dalam keluar-ga. Tetapi untuk urusan keluarga besar, penyebutan seperti itu bisa menimbulkan bias. Sebab yang disebut Mbah Kalinang, misalnya, itu ada beberapa orang, sebab keluarga lain juga menyebut embah-nya dengan sebutan Mbah Kalinang.


Sejak saya kecil sudah diberitahu oleh Simbok tentang nama-nama kakek nenekku, yaitu Mbah Saman yang juga bernama Mbah San-rejo, yang biasa kami panggil dengan sebutan Pak Tua. Selain itu Mbah Pupon istrinya Mbah Saman, dan Mbah Mat Nawi yang adalah kakek kami dari pihak ayah. Namun terus terang, saya juga tidak tahu nama Mbah Mat Nawi putri. Mbah Mat Nawi sudah meninggal dunia lama sebelum saya lahir. Adalah merupakan sua-tu yang berharga, apabila kita memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai para orangtua kita. Apalagi kalau kita bisa menela-dani kebijaksanaanya, keutamaannya, semangat hidupnya, dan langkah-langkah dalam kehidupannya yang patut diteladani.


Oleh sebab itulah beberapa waktu yang lalu bersama dengan kakakku Bruder Paulus saya mencoba menelusuri riwayat nenek moyang kita, lebih jauh dari yang selama ini sudah kami ketahui. Dalam penelusuran ini, beruntunglah kita, karena masih ada sum-ber-sumber yang masih hidup, walaupun saat itu sudah sepuh. Karena itulah kami setelah melayat Mas Agustinus Widodo yang meninggal dunia pada tanggal 6 Oktober 2005, esok harinya kami: Bruder Paulus, Ateng Winarno, Cipto Ruswanto, Kasmani, Mbak Sundari, Dwi Sunarmi, Rusno, dan Aris berkunjung ke Karang-pilang, dan Ngalangalangan. Di sana kami mengunjungi Kang Arjo Samino, yang sudah berusia 79 tahun, Kang Djumadi yang sudah berusia sekitar 65 tahun di Karangpilang. Di Ngalang-alangan kami menjumpai Dik Suyati yang berusia lebih dari 70 tahun berserta suaminya (Carik) dan singgah di rumah Menil, di Bangak. Tempat-tempat itu berada di Kecamatan Sambi dan sekitarnya, di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.


Dari penuturan Kang Arjo Samino kita memperoleh informasi berharga, bahwa ayah Mbah Sanrejo atau Mbah Saman juga bernama Sanrejo. Sanrejo adalah nama panggilan sehari-hari. Nama lengkapnya adalah Kasan Rejo. Tentang nama anak sama dengan nama ayahnya dalam tradisi Jawa disebut nunggak semi. Saya menduga Mbah Saman mengambil nama tua Sanrejo untuk mengenang ayahnya. Dan bisa jadi pada saat Mbah Saman akan menikah dan mengambil nama tua, Mbah Sanrejo tua sudah meninggal dunia. Kita tahu bahwa Mbah Saman adalah anak bungsu. Semua kakak laki-lakinya meninggalkan kampung hala-man, pergi ke Banyuwangi. Dialah satu-satunya anak laki-laki, yang menetap di kampung halamannya, sehingga ketika ia meni-kah dengan Mbah Pupon ia mengambil nama Sanrejo juga.

Mengenai pemakaian nama orang tua untuk nama dirinya, juga terjadi dalam budaya barat. Kita lihat misalnya ada George Bush Senior, dan George Bush Yunior, keduanya presiden Amerika Serikat. Sampai sekarang juga masih terbiasa orangtua memberi nama anaknya dengan memasukkan namanya sendiri pada nama anaknya. Dari kebiasaan seperti itu, kita bisa mengetahui hubung-an antara seorang dengan orang lain di dalam satu keluarga, karena sama-sama menggunakan nama Sukarno, misalnya. Mbah Sanrejo adalah nama panggilan sehari-hari. Nama lengkapnya ada-lah Kasan Rejo. Untuk selanjutnya dalam buku ini kita sebut dengan Mbah Sanrejo tua.

Kang Arjo Samino adalah cucu tertua dari Mbah Sanrejo muda. Arjo Samino termasuk pendahulu kita dalam merintis pendidikan formal. Pada waktu ia kecil, sepupunya, Sugiman anak Parto-wirejo suami Daliyem, disuruh sekolah. Oleh Sugiman, Arjo Samino diajak serta bersekolah agar ia punya teman di sekolah. Usianya memang sedikit lebih tua daripada Sugiman. Tetapi usia murid tidak menjadi persoalan pada waktu itu, sebab merekalah generasi pertama orang-orang desa yang digerakkan untuk berse-kolah. Bahkan ada orang yang sudah menikah pun tidak malu-malu masuk sekolah tingkat dasar. Jadi Arjo Samino termasuk generasi pertama orangtua kita yang mulai tahu baca-tulis. Pada masa kecilnya ia juga pernah ikut kakeknya, Mbah Sanrejo muda.

Dari kedekatannya dengan Mbah Sanrejo muda itulah ia diberi-tahu bahwa ayah Mbah Sanrejo muda juga bernama Sanrejo. Kakek moyang generasi pertama kita ini juga berasal dari Dusun Karangpilang. Beliau adalah generasi pertama keluarga kita, kare-na beliaulah kakek terdahulu yang kita ketahui namanya, dan jelas hubungan darahnya dengan kita. Kita tahu, sebelum Mbah Sanrejo tua ada orangtuanya, kakek neneknya dan seterusnya ke atas. Namun kita tidak dapat melacaknya lagi. Pada masa kecilnya Kang Arjo Samino setiap bulan Ruwah, diajak berziarah ke makam Mbah Sanredjo tua. Mbah Sanrejo tua ini diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-19, mengingat Mbah Sanrejo muda hidup sampai usia 90-an tahun pada tahun 1970-an. Diperkirakan Mbah Sanrejo muda lahir sekitar tahun 1880-an. Mbah Sanrejo muda adalah anak ke delapan. Ia adalah anak bungsu. Pada saat punya anak Mbah Sanrejo muda, diperkirakan Mbah Sanrejo tua berusia 40-an. Oleh karena itu diperkirakan Mbah Sanrejo tua lahir sekitar tahun 1840-an.

Selain itu, dari surat yang dikirimkan oleh kakakku, P. Subirin, kepada semua sanak saudara pada tanggal 3 Januari 1992, ketika kami akan membangun makam Mbah Sanrejo muda dan Mbah Pupon (istrinya) sekaligus pemperbaiki sejumlah kijing, cungkup dan makam lainnya pada tanggal 7 Februari 1993, kami juga mendapat sejumlah informasi berharga mengenai leluhur kita. Informasi ini diperoleh dari Mbah Sanrejo muda sendiri, atau Mbah Daliyem, ibu kami, yang sering menceritakan berbagai hal tentang sanak saudaranya. Dari surat ini kami mengetahui juga nama-nama anak Mbah Sanrejo tua, yaitu: Mbah Rosid, Mbah Rawis, dan Mbah Matngiso ketiganya di Banyuwangi, Mbah Joyo dan Mbah Seco di Grintingan, Mbah Senok di P. Lumbon, Mbah Semi di Imogiri, dan Mbah Saman di Karangpilang. Mbah Rosid, Rawis, Matngiso, dan Mbah Saman adalah empat anak laki-laki Mbah Sanrejo.

Dengan diketahuinya tokoh yang bernama Sanrejo itu, menjadi jelas, mengapa kami keluarga yang di Karangpilang bersaudara dengan saudara-saudara di Imogiri. Menjadi jelas juga siapa kakek moyang kita, meskipun kita baru mengetahui siapa embah buyut kita. Memang kita tahu kita masing-masing punya kakek nenek, embah buyut, embah cangah, bahkan embah amun-amun, atau bahkan generasi yang ke sekian puluh di atas kita. Namun di dalam keluarga besar kita, hanya sampai pada tokoh Mbah Sanrejo itulah yang bisa kita lacak.

Kiranya pencapaian itu pun sudah maksimal, karena untuk meru-nut leluhur kita lebih ke atas lagi rasanya sulit. Kita bersyukur dengan kenyataan ini, karena persaudaraan kita, baik yang di Karangpilang maupun yang di Imogiri benar-benar jelas urut-urutannya, dan ini menjadi modal berharga bagi hidup persau-daraan dan kekerabatan kita. Dengan demikian kita mempunyai dasar yang kuat untuk memelihara dan merawat hubungan persau-daran kita.


Mbah Sanrejo tua adalah kakek tertua kita masih dapat kita telu-suri riwayatnya. Dengan lantaran Mbah Sanrejo tua kita sama-sama dilahirkan ke dunia melalui orangtua kita masing-masing. Ia adalah leluhur kita yang nama dan makamnya masih dapat kita ketahui. Tingkatannya masih sangat dekat dengan kita (baru tingkat ke-5 atau ke-6). Karena keberadaan Mbah Sanrejo tua itu-lah kita yang tinggal tersebar di berbagai tempat ini saling bersau-dara, kita punya hubungan darah. Karena itu pula kita merasa dekat satu dengan yang lain. Kita saling membantu, saling mengu-atkan, dan bekerja sama. Kerja sama itu juga yang membuat persaudaraan kita menjadi semakin erat.

Makam Mbah Sanrejo

Diketahuinya nama dan makam leluhur kita Sanrejo, merupakan bukti otentik mengenai leluhur kita, yang dapat kita pegang sebagai dasar kekeluargaan kita. Masyarakat kita memiliki kebia-saan baik, mendoakan orangtua dan saudara-saudara lain yang sudah meninggal dunia. Kita juga terbiasa berziarah ke makam orangtua, kakek dan nenek, serta saudara-saudara yang yang kita ketahui pusaranya, meskipun kita tidak pernah hidup dalam masa yang sama. Mengapa? Karena kita tahu, bahwa mereka adalah pendahulu kita, yang bisa menghubungkan dan mengakrabkan kita dengan saudara lain yang masih hidup. Hal itu juga yang mengge-rakkan semangat dan tekad, kami para cucu buyut Mbah Sanrejo untuk begotongroyong memindahkan makam Mbah Sanrejo dari Mangunan ke Karangpilang. Tujuannya, adalah supaya kita, para keturunannya, kalau hendak berziarah bisa sampai ke makam mbah kita ini dengan lebih mudah.

Pemindahan makam tersebut sudah dilaksanakan oleh Pak Djuma-di, Pak Arjo Samino bersama dengan saudara-saudara yang lain di Karangpilang serta Pak Rusno beserta keluarga dari Boyolali yang kami minta untuk mewakili keluarga yang ada di perantauan. Pemindahannya berlangsung pada hari Kamis Legi, tanggal 30 Maret 2006, bertepatan dengan hari libur Nyepi. Pada saat ini makam Mbah Sanrejo tua berada di sebelah kanan (timur) jalan masuk menuju makam ndoro-ndoro di Dusun Karangpilang, berdekatan dengan makam Mbah Matnawi. Langkah berikutnya, yaitu pembangunan nisan makam Mbah Sanrejo tua pun sudah dilaksanakan dengan melibatkan sebanyak mungkin sanak kelu-arga keturunan kakek moyang kita ini, terutama para cucu buyutnya yang ada di Imogiri, Karangpilang, Gubug, dan Brebes. Pembangunan batu nisan makam itu kita lakukan pada bulan Agustus 2007.

Menurut Kang Djumadi, tempat pemakaman Mangunan dikera-matkan orang. Di pemakaman itu ada sebuah makam sentono yang di selatan atau utara makam itu sering muncul gumuk, atau gun-dukan tanah menggunung. Ceritanya, apabila bukit itu muncul di selatan makam, maka desa di selatan makam itu akan makmur, yaitu memperoleh panen melimpah. Sebaliknya bila gumuk itu muncul di sebelah utara makam, maka yang akan menikmati panen yang baik adalah desa di sebelah utaranya. Tentang makam sentono itu kabarnya bukan makam manusia. Yang dimakamkan di sana ada-lah baju salah seorang abdi kerajaan. Makam itu sendiri kabarnya sudah tidak terawat lagi.

Untuk mempererat dan memperkuat kesatuan keluarga besar San-rejo tersebut, kita sudah memindahkan makam dan membangun batu nisan makam Mbah Sanrejo tua. Makam yang sudah tua itu semula berada di tempat pemakaman Mangunan, sebelah utara Dusun Karangpilang. Mbah Sanrejo tua dimakamkan di Mangun-an, karena ketika ia wafat sarean (makam) di Dusun Karangpilang belum ada. Untuk mencapai makam itu kita harus turun naik tebing kali Mangunan. Padahal para buyut pada saat itu umumnya sudah sepuh. Medan yang harus dilalui berat kalau mereka hendak berziarah. Selain itu, agar makam itu lebih terawat dan mudah dijang-kau oleh para keturunannya, maka makam itu dipindahkan ke sarean di Dusun Karangpilang. Dengan pemindahan makam itu ke Karangpilang, maka kita akan lebih mudah merawatnya. Selain mudah dijangkau, makam Mbah Sanrejo tua kini berada dekat dengan makam para kakek dan nenek kita yang lain, di antaranya: makam Mbah Joyo, Mbah Sanrejo muda, Mbah Kasan, Mbah Samiyem, Mbah Pawiro, Mbah Matnawi (kakek Pak Sugi, Pak Birin dan adik-adiknya).

Mbah Sanrejo tua adalah kakek canggah bagi kita yang merupakan generasi kelima. Dengan lantaran Mbah Sanrejo tua kita sama-sama dilahirkan ke dunia melalui orangtua kita masing-masing. Ia adalah leluhur kita yang nama dan makamnya masih dapat kita ketahui. Tingkatannya masih sangat dekat dengan kita (baru tingkat ke-5). Karena keberadaan Mbah Sanrejo tua itulah kita yang tinggal tersebar di berbagai tempat ini saling bersaudara, kita punya hubungan darah. Karena itu pula kita merasa dekat satu dengan yang lain. Kita saling membantu, saling menguatkan, dan bekerja sama. Kerja sama itu jugalah yang membuat persaudaraan kita menjadi semakin erat.

Memang, dalam hidup kita ini, kita jarang menyebut istilah cang-gah. Yang lebih sering kita sebut adalah ayah, ibu, kakek, nenek, anak, dan cucu. Dan yang masih mungkin disebut dalam pergaulan sehari-hari adalah embah buyut, dan cucu buyut atau cicit, sebab hal itu masih mungkin terjadi. Misalnya simbok saya, Daliyem, masih hidup ketika Agus cucunya Yu Sumilah lahir. Saya sendiri juga sering disebut mbah buyut saat ini oleh cucu buyut dari kakak-kakak saya yang sudah meninggal dunia. Namun jarang sekali seseorang dengan cucu canggahnya sama-sama hidup dalam satu masa. Sekalipun demikian, pada saat kita membicarakan tentang silsilah keluarga, sebutan canggah, wareng, uthek-uthek dan seterusnya adalah hal yang biasa. Tujuannya adalah untuk mempererat hubungan persaudaraan dalam suatu keluarga besar.

Kita para keturunan Mbah Sanrejo tua bersyukur karena masih mengenali makam kakek kita ini. Kakek inilah yang mengikat persaudaraan dan kekerabatan kita, yang pada saat ini tersebar di berbagai tempat. Kita tahu saudara-saudara yang tersebar di berba-gai tempat ini adalah saudara yang memiliki pertalian darah. Namun bagaimana pertalian itu terjadi? Semua itu dapat kita jawab kalau kita bisa merunut ke atas, mulai dari siapa orangtua kita, siapa kakek dan nenek kita, siapa kakek dan nenek buyut kita, dan siapa kakek dan nenek canggah kita dan seterusnya, dan akan sampai ke kakek Sanrejo.

Karangpilang Kampung Leluhur

Karangpilang adalah sebuah dusun kecil di Kelurahan Jagoan, Kecamatan Sambi. Sambi terletak di Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Boyolali menyerupai huruf J, atau L terbalik. Kecamantan Sambi terletak di tekukan bawah huruf "J" tersebut. Kota Boyolali terletak di sebelah barat Sambi. Sedangkan Kecamatan Sambi, berbatasan dengan Kecamatan Simo dan Nogossari di utara, Ngemplak di timur, Teras dan Banyudono di selatan, dan wilayah Kabupaten Semarang di barat. Kecamatan Sambi berada di bagian selatan Kabupaten Boyolali. Sementara sejumlah kecamatan lain terletak di sebelah utara Sambi. Di ujung utara wilayah Boyolali terdapat Waduk Kedung-ombo. Di bagian timur Sambi, yaitu di timur Desa Senting ada sebuah danau kecil, Waduk Cengklik, sebuah waduk yang diba-ngun kolonial Belanda tahun 1926-1928 untuk irigasi. Sekarang waduk ini lebih berfungsi sebagai tempat pariwisata. Tidak terlalu jauh dari waduk ini (sebelah timur) terdapat Bandara Adisu-marmo, Surakarta (Solo).


Kecamatan Sambi termasuk daerah kering. Dari 16 desa di sana, baru dua desa yang memiliki persawahan irigasi, yaitu Desa Catur di bagian barat, dan Canden di bagian selatan Sambi. Persawahan di desa-desa lainnya dikelola dengan sistem tadah hujan, artinya penduduk di sana menanam padi di sawah hanya pada musim hujan. Pada musim kemarau, istilahnya pada musim mareng, penduduk di sana menanam padi gogo, palawija seperti singkong, jagung, kacang-kacangan dan sebagainya.


Kemajuan pembangunan sekarang juga sudah menjangkau wila-yah Sambi. Pusat Kecamatan Sambi terletak di 10,6 km di utara Bangak, yang terletak di lintasan jalan raya Boyolali – Solo. Jalan Bangak-Sambi-Simo, sekarang juga sudah dilewati bus. Dusun Karangpilang terletak sekitar 2-3 km di utara Sambirejo, pusat pemerintahan Kecamatan Sambi. Menurut Wikipedia, pada tahun-tahun terakhir, kawasan Sambi diprioritaskan untuk pembangunan industri, terutama industri kering. Pada saat ini di Desa Babadan sudah berdiri dua pabrik tekstil, salah satunya dari grup Pan Brother, yang mempekarjakan 20.000 pekerja. Selain itu, pabrik mobil Esemka (PT Solo Makmur Kreasi) yang merupakan salah satu karya anak bangsa, didirikan di dekat Senting, sekitar 5 km di barat Bandara Adi Sumarmo, Solo. Ke depannya, Kecamatan Sambi, Ngemplak di Boyolali, dan Colomadu dan Gondangrejo di Karanganyar akan dikembangkan menjadi poros industri Solo Raya ke arah barat.

Dengan adanya pusat-pusat produksi modern itu, sebagian pendu-duk di Karangpilang dan sekitarnya tentu bisa ikut bekerja di sana, tidak hanya bergantung pada hasil pertanian di lahan kering. Sambi terletak 10,6 km di sebelah timur kota Boyolali. Di barat Sambi, ada tempat wisata air, Tlatar, yang termasuk kecamatan Boyolali. Sejak beberapa tahun yang lalu, jalan tol Trans Jawa yang dibangun Presiden Joko Widodo, juga melewati kota Boyo-lali, Mojosonggo dan Banyudono. Di timur pertigaan Bangak, jalan menuju Sambi dan Simo, terdapat gerbang tol Colomadu, yang sudah beroperasi sejak Desember 2018. Melalui gerbang tol itu kita bisa berkendara sampai ke Jakarta atau Surabaya melalui jalan tol.


Di desa dengan gambaran seperti itulah leluhur dan sebagian besar dari keluarga Trah Sanrejo hidup. Orang mengatakan daerah ini sebagai daerah minus, karena penghasilan penduduk hanya dari lahan pertanian, dan itu pun terbatas. Oleh sebab itu pula sebagian dari keluarga kita sejak puluhan tahun yang lalu sudah merantau ke tempat-tempat yang lebih subur, baik di wilayah Boyolali sen-diri atau di daerah lainnya. Ada yang merantau ke Banyuwangi, pada masa sebelum kemerdekaan RI. Ada yang ke Imogiri, dan ada juga yang ke Gubug di Kabupaten Grobogan. Belakangan sebagaimana terjadi di berbagai tempat di Pulau Jawa, orang-orang muda dari Karangpilang juga banyak yang merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta atai Surabaya dan sekitarnya.


Sampai usia sekitar 5 tahun saya tinggal di Karangpilang. Ingat-anku mengenai dusun ini sebatas ingatan anak usia anak-anak. Setelah usia 5 tahun keluargaku, keluarga Partowirejo, berpindah ke Desa Kaliwenang, Kecamatan Tanggungharjo (dahulu Kedung-jati), Kabupaten Grobogan. Pendidikan SD dan SMP saya lewati di Kaliwenang, Sugihmanik, dan Gubug. Beberapa kali sewaktu usia SD saya bersama orangtua berkunjung ke Karangpilang. Saudara dekat yang masih tinggal di sana ketika itu adalah Kakek-nenek Sanrejo (muda), Siwo Sanraji, dan Paklik Pawiro. Sedangkan saudara lain yang juga keturunan Mbah Sanrejo adalah Siwo Kasan dan beberapa yang lain. Ketika saya menempuh pendidikan SMA di Boyolali, kadang-kadang saya menengok kakek dan nenek Saman atau Pak Tua dengan bersepeda.


Dalam kunjungan-kunjungan ini saya berkenalan dengan saudara-saudara yang umumnya berusia lebih tua dari saya. Ingatan saya mengenai desa ini pun menjadi semakin banyak dan memadai. Jalan-jalan di desa ini sedikit naik turun. Ketika itu jalan-jalan itu masih berupa tanah, dengan batu-batu pengeras jalan seadanya. Kendaraan roda empat yang lewat hampir tidak ada. Jalan atau lebih tepatnya lorong-lorong itu cukup lebar untuk dilewati orang dan hewan ternak. Pada tahun-tahun belakangan, jalan-jalan itu sudah diper-keras dengan semen. Jalur utama jalan dusun ini bah-kan bisa dilewati bus ukuran sedang. Sedangkan lorong-lorong lainnya bisa dile-wati mobil roda empat. Dengan demikian sepeda motor dapat leluasa memasuki permukiman di Karangpilang.


Ketika saya masih kecil di pinggir-pinggir lorong banyak tumbuh bambu, terutama bambu ori. Belakangan penduduk setempat rupa-nya ingin permukimannya lebih terang, terbuka, dan bambu-bambu tersebut banyak yang sudah ditebang dan tidak tumbuh lagi. Pola kehidupan mereka pun juga berubah. Pada masa lalu, penduduk terbiasa makan dengan menu utama singkong beserta sayuran, atau tiwul dengan lauk sekadarnya. Sekarang menu seperti itu makin ditinggalkan, tidak lagi menjadi menu sehari-hari. Kehidupan modern juga mulai merambah saudara-saudara di tanah kelahiranku ini. Televisi, radio, dan alat-alat elektronik sarana hiburan lain seperti wayang kulit dan campur sari juga sudah akrab bagi mereka. Pendidikan kaum mudanya pun semakin tinggi. Anak-anak usia SD umumnya bersekolah. Orangtua sudah terbiasa mengirim anaknya untuk menempuh pendidikan SMP, SMU, bahkan pendidikan tinggi. Ini merupakan langkah untuk mermperbaiki kualitas diri, dan meningkatkan kehidupan.


Meskipun saya tidak pernah lama di dusun ini, ikatan emosionalku dengan Dusun Karangpilang tidak hilang. Saya menyadari di dusun inilah saya dan saudara-saudara sekandungku dilahirkan. Dusun inilah tanah kelahiran ayah ibuku, kakek-nenekku, kakek-nenek buyutku Mbah Sanrejo. Para kakek dan nenekku dimakam-kan di sana. Di sana juga ada makam Kakek-nenek Mat Nawi, orangtua dari ayahku, dan juga nenek moyangku. Yang juga penting adalah di sana saudara-saudaraku dari Trah Sanrejo dengan setia masih menjalani kehidupannya. Saya berharap perta-lian keluarga besarku ini tidak terputus. Saya berharap saudara-saudaraku di mana pun berada masih bisa menjalin silaturahmi sesama keluarga. Saya berharap semua diberkati Tuhan, mendapat kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupannya. Salam untuk saudaraku. Salamat berjuang dan tetap menjalin tali persaudaran. Salam. -- Ateng Winarno, 27 Maret 2010, direvisi 17 Mei 2022.

Pertemuan Keluarga


Dari rangkaian kegiatan, mulai dari pelacakan nenek moyang, pemindahan makam dan pemasangan batu nisan makam Mbah Sanrejo tersebut di atas, kemudian para sesepuh bersepakat untuk mengadakan pertemuan keluarga besar Trah Sanrejo dengan berziarah bersama ke makam leluhur kita itu. Momen ziarah itu juga sekaligus sebagai pertemuan pertama keluarga Trah Sanrejo yang diselenggarakan dengan cukup semarak di rumah keluarga Senu di Karangpilang. Pada saat itu para sesepuh Trah Sanrejo masih banyak yang hadir, antara lain Pak Djumadi, Pak Harjani, Pak Mudi Raharjo, Pak Ujang Biantoro, Pak Arjo Samino, Bruder Paulus, Ateng Winarno, dan Rubiyem, Rubinem, dan Sri Suwarni.

Pada saat ini banyak dari mereka sudah meninggal dunia.

Kita para keturunan Mbah Sanrejo tua bersyukur karena masih mengenali makam kakek kita ini. Kakek ini inilah yang mengikat persaudaraan dan kekerabatan kita yang pada saat ini tersebar di berbagai tempat. Kita sepenuhnya tahu, bahwa saudara-saudara yang tersebar di berbagai tempat ini adalah saudara yang memiliki hubungan darah. Namun bagaimana hubungan itu terjadi? Semua itu dapat kita jawab kalau kita merunut ke atas, mulai dari siapa orangtua kita, siapa kakek dan nenek kita, siapa kakek dan nenek buyut kita, dan siapa kakek dan nenek canggah kita dan seterus-nya, lalu akan sampai ke kakek Sanrejo.

Dengan demikian kita bisa tahu siapa saudara sepupu, saudara misan (embahnya kakak beradik), saudara mindo (embah buyut-nya kakak beradik), dan saudara lain yang sederajat yang lebih jauh lingkarannya. Jauh dekatnya hubungan darah di dalam Trah Sanrejo tidak menjadi ukuran utama. Kita tahu, persahabatan yang akrab bisa terjadi bahkan pada orang-orang berbeda suku, atau ras. Keakraban juga dapat dijalin antarorang perantauan dari satu daerah yang sama. Namun dengan adanya kesadaran bahwa kita sama-sama sekeluarga besar karena satu keturunan atau trah, maka kita dapat menjalin kekerabatan dan keakraban dengan saudara-saudara baik yang tinggal berdekatan secara fisik maupun dalam komunikasi yang lebih akrab.

Sekarang dengan adanya kemajuan teknologi informasi, seperti facebook, ataupun whatapp, dan zoom, atau yang lain, kita juga dapat menjalin keakraban persaudaraan di dalam Trah meskipun kita tinggal di tempat yang saling berjauhan. Contohnya, ketika ada saudara yang meninggal dunia, kita bisa berdoa bersama melalui zoom. Dengan zoom juga atau video call lewat whatapps kita bisa ngobrol, saling berbagi kegembiraan pada hari-hari besar atau hari bahagia, meskipun kita tinggal berjauhan. Kita ikut senang kalau mengetahui kabar baik dan gembira dari saudara kita yang lain. Kita juga bisa ikut bersimpati, berempati, menghibur dan mendoakan saudara lain yang sedang menghadapi masalah.


Pada tanggal 1 Desember 2007, pertemuan keluarga besar Trah Sanrejo diselenggarakan di Dusun Karangpilang. Selain mengada-kan perkenalan antarkeluarga, pada saat itu juga dilakukan ziarah ke makam Mbah Sanrejo. Pertemuan diselenggarakan di rumah Pak Senu, anak Pak Arjo Samino. Sekalipun rumah itu cukup besar pengunjung tidak dapat tertampung di dalam rumah. Terpaksa sebagian menumpang di beranda rumah-rumah tetangga sekitar, bahkan ada juga yang ngampar di jalanan. Ratusan orang datang ke acara ini. Saudara-saudara dari Imogiri datang dengan menumpang 6 bus ukuran sedang. Dari Jakarta juga datang dengan satu bus. Ada lagi yang datang dari Brebes, Gubug, Boyolali, dan juga dari Karangpilang sendiri. Suasananya ramai, meriah dan semarak meskipun acara pertemuan itu berlangsung sederhana. Semua yang hadir di sana bersaudara.

Pertemuan itu sangat mengesan. Oleh karena itu, kita bertekad akan mengadakan pertemuan lagi secara berkala 3 - 5 tahun sekali. Pertemuan kedua diselenggarakan di rumah keluarga Trisno Amo-jo di Imogiri pada tanggal 29 Juni 2011. Acaranya dipersiapkan dengan baik sekali oleh saudara-saudara di Imogiri. Suasananya meriah seperti orang punya hajatan mantu. Sekitar 300-500 orang hadir dari berbagai tempat. Panitia juga menyiapkan panggung yang cukup besar khusus untuk sesi foto bersama, dari rumpun-rumpun keluarga besar.

Pertemuan berikutnya diselenggarakan di kediaman keluarga Tutik Djoko Marsono, di Babarsari, Sleman, Yogyakarta, pada tanggal 11 Mei 2013, bersamaan dengan peringatan 50 tahun Bru-der Paulus hidup membiara. Pertemuan selanjutnya diselengga-rakan di Kaliwenang, di kediaman Wagiyem Sarmin, pada bulan 20 Juli 2015. Acara yang diselenggarakan setelah hari raya Idul-fitri itu dimaksudkan sekaligus sebagai momen halalbihalal. Acara yang berlangsung di pedesaan itu juga dihadiri sekitar 300 orang. Suasa-nanya juga semarak, seperti orang hajatan.

Pertemuan selanjutnya direncanakan diadakan di Jakarta. Namun karena ada satu hambatan yang tidak teratasi, pertemuan itu belum bisa diselenggarakan. Kita berharap, pertemuan-pertemuan seperti itu masih bisa kita selenggarakan, di mana pun tempatnya. Di luar pertemuan besar seperti di atas, pertemuan dalam lingkup yang lebih kecil juga diselenggarakan secara berkala di Jabodetabek, dan konon di Imogiri juga diselenggarakan. Akhir-akhir ini, karena pandemi Covid-19 yang merebak menjadi pandemi sejak Maret 2020, banyak kegiatan yang mempertemukan banyak orang di satu tempat dihentikan, atau setidak-tidaknya dibatasi, misalnya rapat-rapat, kegiatan kantor dialihkan menjadi bekerja dari rumah, hajatan, dan sekolah pun ditempuh dari rumah secara online.

Hal itu berlangsung kurang lebih selama dua tahun. Baru bela-kangan, setelah penambahan casus penularan virus Covid 19 melandai, pemerintah mulai melonggarkan kegiatan berkumpul, dan kegiatan mudik pada tahun 2022 pun dibebaskan. Kemudian setelah pelonggaran itu tidak menimbulkan masalah, masyarakat bisa saling berlilaturahmi dan berkumpul kembali. Kita juga berharap pertemuan-pertemuan keluarga kita bisa kita seleng-garakan lagi. -- Jakarta, 28 Maret 2010, direvisi pada 28 Mei 2022. ***

Silsisah Keluarga Besar Trah Sanrejo

Idealnya dalam silsisah ini ada delapan rumpun keluarga, sesuai dengan jumlah anak Mbah Sanrejo tua. Namun karena keterba-tasan informasi, maka dalam buku ini hanya bisa disajikan silsilah tiga rumpun keluarga. Itu pun belum bisa maksimal. Harus dikui, sudah banyak sumbangan informasi mengenai data keluarga besar Trah Sanrejo yang kami terima selama ini. Untuk itu kami mengu-capkan terima kasih kepada saudara-saudaraku atas sumbangan data keluarga yang sangat berguna bagi penulisan silsilah ini. Meskipun sudah banyak data yang dikirimkan, kami tidak bisa menyajikan informasi mengenai keluarga-keluarga dalam silsilah secara lebih luas dari sekadar nama orangtua dan anak-anaknya.

Hal itu juga tidak menjadi masalah, karena data esensial mengenai silsilah sudah kita dapatkan. Informasi yang lebih luas mengenai keluarga-keluarga dalam silsilah ini kami sajikan dengan harapan dapat menjadi inspirasi bagi keluarga-keluarga lain, terutama yang lebih muda, untuk kehidupan keluarga-keluarga dalam trah kita. Berkenaan dengan itu, ada sejumlah keluarga yang tergambarkan silsi-lahnya secara sangat terbatas, dan karena itu saya mohon dima-afkan. Memang harus diakui, silsilah ini bukan tulisan final. Malahan sebaiknya silsilah ini dilengkapi oleh masing-masing keluarga yang bersangkutan sehingga lebih akurat, dan informatif bagi setiap keluarga, sehingga bermanfaat bagi keluarga-keluarga dalam lingkaran yang lebih kecil. Silsilah ini dibuat berurutan, dari nama orang yang lahir lebih dahulu. Dengan mengetahui siapa anak siapa di dalam rumpun keluarga itu, maka dapat diketahui hubungan kekerabatan antarkeluarga, dan juga dapat diketahui seseorang ada dalam urutan (generasi) ke berapa dalam keluarga besar.

Catatan: dalam silsilah ini, setiap paragraf diawali dengan angka. Angka itu dimaksudkan untuk mempermudah pengurutan dalam silsilah.

  • Mbah Sanrejo tua kakung dan putri adalah generasi perta-ma Trah Sanrejo, sehingga anak-anaknya adalah generasi kedua, cucu-cucunya adalah generasi ketiga, para cucu buyutnya adalah generasi keempat dan seterusnya.
  • Angka-angka itu menunjukkan nomor urut kelahiran orang yang bersangkutan. Angka paling akhir adalah nomor urut kelahiran dirinya, angka di depannya adalah nomor urut kelahiran orangtuanya, angka di depannya lagi adalah nomor urut kelahiran kakek atau neneknya, begitu dan seterusnya.
  • Sedangkan kalau dibaca dari depan, angka pertama adalah nomor urut kelahiran anak-anak Mbah Sanrejo tua. Angka kedua adalah nomor urut kelahiran cucunya di dalam keluarganya, angka ketiga adalah nomor urut kelahiran buyutnya di dalam keluarganya, dan seterusnya. Di dalam silsilah ini yang diuraikan hanya keturunan Mbah Joyo dari Karangpilang dengan angka depan 4, keturunan Mbah Semi Proyo dari Imogiri dengan angka depan 7, dan ketu-runan Mbah Sanrejo muda dari Karangpilang dengan angka depan 8.
  • Jadi kalau di depan nama seseorang terdapat dua angka, ia adalah cucu Mbah Sanrejo tua, atau generasi ketiga. Kalau ada tiga angka adalah buyut/cicit atau generasi keempat, kalau ada empat angka adalah canggah atau generasi kelima, kalau ada lima angka adalah wareng, atau generasi keenam, dan seterusnya. Pada saat ini generasi termuda dalam Trah Sanrejo adalah generasi ketujuh (sebutannya cucu uthek-uthek) posisinya di bawah buyut (cicit), cang-gah, dan wareng.
  • Semakin sedikit jumlah angka di depan paragraf mengenai nama seseorang, semakin tua (awunya atau ketuannya) dalam keluarga, sekalipun dalam silsilah ini diuraikan di bagian belakang silsilah ini.
  • Sebagai contoh, di depan nama seseorang ada angka 7.6.5.4, berarti ia adalah keluarga Trah Sanrejo generasi kelima (canggah). Ia adalah keturunan dari Mbah Semi Proyo dari Imogiri, dari anak keenamnya, yaitu Mbah Sarikem. Orangtuanya adalah anak yang kelima dari Mbah Sarikem, yaitu Sri Susiyanti, dan ia sendiri (Pandu Setiawan Gunarso) adalah anak keempat di dalam keluar-ganya.
  • Dalam silsilah ini gelar akademik pada nama-nama orang tidak dicantumkan.

Catatan Tambahan:

Dalam perkumpulan keluarga Trah Sanrejo, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, ada keluarga yang sudah lama menjadi bagian keluarga kita, yaitu keturunan Yu Sempruk, yaitu Wiji, Jinah dan saudara-saudaranya. Mereka bergabung karena bukan orang lain di tengah keluarga kami, Partowirejo. Menurut cerita Mbah Daliyem, Yu Sempruk adalah salah seorang keponakan jauh Mbah Partowirejo yang berasal dari Senting. Berhubung Yu Sempruk di perantauannya, di Gubug, jauh dari keluarganya sendiri, maka Yu Sempruk kemudian menggabungkan diri menjadi bagian dalam keluarga kami. Sejak masih kecil Wiji, Jinah dan saudara-sau-daranya sudah bergaul akrab dengan keluarga Mas Subirin dan Sugiman, dan menjadi bagian keluargaa kami. Oleh karena itu begitu paguyuban Trah Sanrejo terbentuk, keluarga Yu Sempruk juga ikut aktif dalam pertemuan-pertemuan keluarga. Jinah meni-kah dengan Petrus Maryono dari Sendangsono. Mereka mempu-nyai dua orang anak, Yaitu Beny yang baru menyelesaikan kuliah di Universitas Sugiyopranoto, Semarang, dan Stefan yang masih SD. Keponakan Jinah, Wahyu menjadi dokter dan sudah berumah tangga di Gubug, dan Ali Masardi yang juga sudah berkeluarga dan bekerja di perusahaan penerbangan.

1. Keluarga Mbah Rosid - Banyuwangi (tidak ada data)

2. Keluarga Mbah Rawis - Banyuwangi (tidak ada data)

3. Keluarga Mbah Mangiso - Banyuwangi (tidak ada data)

Keluarga Mbah Joyo - Karangpilang:

Mbah Joyo (perempuan) menikah dengan Mbah Joyo laki-laki. Mereka mempunyai anak empat orang anak, yaitu: Topawiro, Karep, Ngalinem, dan Mustari. Anaknya yang ketiga, Ngalinem ini kemudian menikah dengan Kasan Wikromo, sehingga kami Mas Sugiman ke bawah memanggil mereka Siwo Kasan. Anak-anak Mbah Joyo ini kita sebut sebagai generasi ketiga dalam Trah Sanrejo.

4.1. Anak sulung Mbah Joyo adalah Topawiro. Setelah menikah ia mempunyai enam orang anak, yaitu Ngatemin, Ngadimin, Tuki-man, Ngatiyem, Ngateman, dan Ngatiman. Mbah Ngatiyem adalah satu-satunya anak perempuan Mbah Topawiro. Lima anak yang lain laki-laki. Tentunya setelah menikah, mereka pun berganti nama, dengan nama tua. Mereka adalah generasi yang dilahirkan pada paruh pertama abad ke-20.

4.2. Anak kedua Mbah Joyo juga perempuan, yaitu Karep. Ia menikah dengan suaminya, Mbah Ardjo, sehingga namanya sering disebut dengan Ardjokarep. Mbah Ardjokarep ini mempunyai tujuh anak, yaitu Paryani, Biyem, Sinah, Kaseh, Sukimin, Ngali-nem, dan Sutiman. Semuanya perempuan, keculai Mbah Sukimin dan Mbah Sutiman.

4.3. Anak ketiga Mbah Joyo adalah Ngalinem, atau Mbah Kasan perempuan. Ia menikah dengan Kasan Rejo. Mereka mempunyai enam orang anak, yaitu Ngadino, Welas, Pardji, Sudimin, Djuma-di, dan Sayem. Kami memang mempunyai kedekatan dengan keluarga Siwo Kasan, karena baik Wo kasan perempuan maupun laki-laki masih bersaudara dengan kami. Wo Kasan laki-laki kebe-tulan adalah saudara dari ayah kami, Partowirejo. Karena kede-katan keluarga kami dengan keluarga Siwo Kasan, beberapa kali ketika kami berkunjung ke Karangpilang juga sowan kepada Wo Kasan. Selain itu, salah seorang anaknya, Kangmas Djumadi, kebetulan sepantaran dengan Bruder Paulus sehhingga lebih akrab. Apalagi mereka sama-sama sekolah di SR Sambi.

4.4. Anak keempat (bungsu), Mbah Joyo, adalah Mustari. Mbah Mustari mempunyai anak paling banyak, sembilan orang. Mereka adalah Giyek, Dalimin, Ginah, Ngadinem, Senen, Saliyem, Dali-man, Samino, dan Ngadirin. Anak-anak Mbah Mustari, bersama-sama dengan cucu-cucu Mbah Joyo adalah generasi keempat, sama seperti Mas Sugiman dan saya sendiri. Sebutan untuk sesama kami adalah saudara misan.

Silsilah keluarga Mbah Joyo ini saya peroleh ketika kami, bersama Bruder Paulus berkunjung ke rumah Mas Djumadi. Sayangnya kami belum mendapatkan nama-nama keluarga Mbah Joyo gene-rasi ke lima ke bawah, yang pasti keturunan generasi kelima hingga ketujuh dari Mbah Joyo ini pada umumnya masih tinggal di Karangpilang.

5. Keluarga Mbah Seco – Grintingan (tidak ada data)

6. Keluara Mbah Senok – P. Lumbon (tidak ada data)

Bagian 2

Silsilah Keluarga Mbah Semi Proyo – Imogiri

Keturunan Mbah Semi ini jumlahnya paling banyak di antara rum-pun keluarga keturunan Mbah Sanerjo tua. Data keluarga dari rumpun Mbah Semi ini pun lumayan lengkap. Konon Mbah Semi ini dipinang oleh seorang pegawai Keraton Surakarta, untuk bekerja di pemakaman Keraton yang berada di Imogiri. Oleh karenanya, Mbah Semi kemudian diboyong pindah ke Imogiri. Sebelum pindah ke Imogiri, pasutri Semi - Proyo ini sudah punya seorang anak, namun anak sulungnya itu meninggal dunia di Karangpilang, ketika masih anak-anak. Ia dimakamkan di tempat pemakaman Desa Mangunan, berdekatan dekat dengan makam kakeknya, Mbah Sanrejo tua. Selanjutnya, bapaknya Mas Kasidjo, sering berziarah ke makam di Mangunan, dan juga berkunjung ke Karangpilang, dengan mengajak Mas Kasidjo, salah seorang buyut Mbah Sanrejo. Suatu saat, Mas Kasidjo ini dipertemukan dengan Mas Sugiman dan Mas Subirin. Ketiga orang bersaudara ini diberi pesan supaya terus menjalin hubungan, sehingga anak-anak mere-ka juga terus menjalin hubungan. Keakraban mereka inilah yang membuat kekerabatan besar Trah Sanrejo terjalin sampai seka-rang.

7. Mbah Semi adalah anak ketujuh Mbah Sanrejo. Ia menikah dengan Proyo alias Karyo Rejo. Mereka mempunyai 8 orang anak, hampir semua perempuan. Anak-anak Mbah Semi Proyo adalah: Saerah (Batu) yang menikah dengan Prawiro, Sipon, Khajad (Irorejo), Wagirah yang menikah dengan Sorjo, Marinem yang menikah dengan Amat Zaini, Sarikem yang menikah dengan Arjo-setiko, Sugeng yang menikah dengan Joyosumarto, dan Sumar-tinah yang menikah dengan Joyo Sudarmo. Catatan: data tentang keluarga keturunan Mbah Semi Proyo ini saya peroleh dari Mas Ujang Biantoro pada tanggal 20 Juli 2015 dalam pertemuan Trah Sanrejo di Kaliwenang, Grobogan. Data mutakhir dari keluarga Imogiri tersebut masih terbatas pada keluarga Mudi Raharjo yang kami peroleh dari Mbak Atik Trisno Atmojo.

7.1. Anak sulung Mbah Semi Proyo adalah Saerah atau Mbah Batu. Ia menikah dengan Prawiro. Namun Mbah Saerah tidak punya anak sendiri. Keluarga ini kemudian mengangkat anak Kasijo atau Mudi Raharjo. Mudi Raharjo ini bukan anak orang lain, karena sebenarnya ia adalah anak sulung Mbah Sarikem Arjosetiko. Jadi Kasijo adalah kemenakannya sendiri. Anak Mbah Saerah hanya seorang, Mudi Raharjo.

7.1.1. Mbah Mudi Raharjo menikah dengan Mujirah. Mereka mempunyai delapan orang anak, yaitu: Trisno Admojo yang meni-kah dengan Susana S.A. Umisanti (Atik), Titik Partina yang meni-kah dengan Bayu, Joko Keri Wintolo menikah dengan Sarmiyati, Sri Uning menikah dengan Eko, Joko Widodo, Ina Murtiningsih yang menikah dengan Budi Wahono (sudah meninggal dunia), Sulistyowati yang menikah dengan Triyadi, dan Susilowati yang menikah dengan Siwi P. Kebanyakan mereka tinggal di Imogiri dan sekitarnya, di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogya-karta. Mbah Mudi dan Mbah Mujirah sudah meninggal dunia pada usia tua.

7.1.1.1. Anak sulung Mbah Mudi Raharjo adalah H. Trisno Atmo-jo. Trisno Atmojo sejak muda bekerja dan tinggal di Jakarta. Seka-rang keluarga Trisno Atmojo tinggal di Kebon Baru, Tebet, Jakar-ta Selatan. Dari pernikahannya dengan Susana S.A. Umisanti (Atik), Trisno Atmojo mempunyai tiga orang anak, yaitu: Agatha Primasari Sutrisno yang menikah dengan Hiskia Lumangkun (Hiskia), Brigita Sekar Endah Sutrisno yang menikah dengan Andreas Adi Prawidana (Adi), dan Adhi Sampurno yang belum berkeluarga. Trisno Atmojo bekerja sepagai aparatur sipil negara (ASN atau pegawai negeri sipil), sedangkan Atik pada masa mudanya adalah pramugari Garuda. Ia tetap bekerja sebagai pegawai Garuda sesudah tidak bertugas terbang lagi, sampai usia pensiun.

7.1.1.1.1. Anak sulung Trisno Atmojo adalah Agatha Primasari Sutrisno (Prima). Ia menikah dengan Hiskia Dayanto Lumangkun yang berdarah Minahasa, Sulawesi Utara. Mereka lahir dan besar di Jakarta. Dari pernikahannya, mereka mempunyai seorang anak, yaitu Anastasia Elika Lumangkun. Prima adalah seorang wanita karier, yang sekarang bekerja di sebuah bank BUMN. Keluarga Prima juga tinggal di Kebon Baru, Tebet. Elika yang sekarang masih usia sekolah dasar adalah generasi ketujuh dari Trah Sanre-jo, atau cucu uthek-utheknya Mbah Sanrejo, atau generasi termuda pada saat ini.

7.1.1.1.2. Anak kedua Trisno Atmojo adalah Brigita Sekar Endah Sutrisno. Ia menikah dengan Andreas Adi Prawidana. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Michelle Garis Padma Oditi. Keluarga Sekar kini tinggal di Perumahan Griya Permata, wilayah Kalasan, Sleman, D.I. Yogyakarta.

7.1.1.1.3. Anak ketiga (bungsu) Trisno Atmojo adalah Adhi Sam-purno. Sekarang Adhi sudah dewasa, dan belum berkeluarga.

7.1.1.2. Anak kedua Mbah Mudiraharjo adalah Titik Partina (Titik). Ia menikah dengan Bayu Sudarmono. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Yan Ari Nur Adisaputra. Keluarga Titik seka-rang tinggal di Ngentak, Kebondalem Kidul, Prambanan, Klaten.

7.1.1.2.1. Anak Titik Partina Bayu Sudarmono adalah Yan Ari Adisaputra. Sekarang Yan Ari, tinggal di Cenangan, Imogiri, Bantul. Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Yan Ari.

7.1.1.3. Anak ketiga Mbah Mudiraharjo adalah Joko Keri Wintolo. Ia menikah dengan Sarmiyati. Mereka mempunyai empat orang anak, yaitu: Rustam Nur Bachtiar Arifin yang menikah dengan Erin , Bagus Maulana Taufiqurrohman yang menikah dengan Rizki, Mahendra Zaki Mubaroq, dan Ashraf Raziq Agung Priam-bodo. Anak bungsunya ini masih tinggal bersama orangtuanya, di Sewon. Keluarga Wintolo sekarang tinggal di Bangunharjo, Sewon, Bantul, D.I. Yogyakarta.

7.1.1.3.1. Anak sulung Joko Keri Wintolo adalah Rustam Nur Bachtiar Arifin. Ia menikah dengan Erin Trinasdika Novitasari. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Muhamad Isa Nurha-kim, dan Maryam Nur Latifah. Rustam bekerja di Sumatera Sela-tan, dan tinggal bersama keluarganya di Griya Asri Sianom, Sei Buah Ilir Timur, Palembang.

7.1.1.3.2. Anak kedua Joko Keri Wintolo adalah Bagus Maulana Taufiqurrohman. Ia menikah dengan Rizki Putri Andini. Keluarga Bagus juga tinggal jauh dari kampung halamannya, di Perumnas Teluk Jambe, Karawang Barat.

7.1.1.3.3. Anak ketiga Joko Keri Wintolo adalah Mahendra Zaki Mubarroq. Ia sekarang tinggal di Kampung Pasir Cangkudu, Sin-dangraya, Sukaluyu, Cianjur, Jawa Barat. Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Mahendra.

7.1.1.4. Anak kempat Mbah Mudi Raharjo adalah Sri Uning. Ia mempunyai mempunyai seorang anak, yaitu Alfian.

7.1.1.5. Anak kelima Mbah Mudi Raharjo adalah Joko Widodo. Ia mempunyai empat orang anak, yaitu: Afi, Nisa, Akmal, dan Adnan.

7.1.1.6. Anak kelima Mbah Mudi Raharjo adalah Ina Murtining-sih. Ia menikah dengan Budi Wahono (almarhum). Dari pernikah-an mereka, Ina mempunyai tiga orang anak, yaitu: Andika Rada Pratama yang menikah dengan Laras, Anindita Ayu Putri, dan Abdi Maulana Haby. Keluarga Ina sekarang tinggal di Cebolan, Paduresan, Imogiri, bersama dua anaknya, Anindita, dan Abdi.

7.1.1.6.1. Anak sulung Ina Mutiningsih adalah Andika Radha Pra-tama. Ia menikah dengan Laras Putri Lestari. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Netle Bella Ananda, Nada Fadlin Salsa-billa, dan Nara Kaila Putri.

7.1.1.7. Anak keenam Mbah Mudi Raharjo adalah, Sulistyawati. Ia menikah dengan Triyadi Kurniyanto. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Afrizal Rizky Yuliana, dan Desga Hadyan Rajendra. Keluarga Sulis sekarang tinggal di Tilaman, Wukirsari, Imogiri, Bantul.

7.1.1.8. Anak kedelapan (bungsu) Mbah Mudi Raharjo adalah Susilowati. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Najmicitta Alla-ric Khalif, dan Najmicitta Carisa Syafa Faustina. Keluarga Susilo-wati tinggal di Toprayan, Imogiri, Bantul.

7.2. Anak kedua Mbah Semi Proyo adalah Sipon. Dari perkawin-annya Mbah Sipon hanya mempunyai seorang anak, bernama Saji.

7.2.1. Anak tunggal Mbah Sipon adalah Saji. Mbah Saji mening-gal dunia pada saat ia masih relatif muda. Namun itu ia sudah berkeluarga, dan memiliki dua orang anak. Nama anak-anaknya adalah: Yatini dan Ngatifan.

7.2.1.1. Anak sulung Mbah Saji adalah Yatini. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Umi Salamah, dan Suhardi.

7.2.1.2. Anak kedua Mbah Saji adalah Ngatifan. Ia mempunyai seorang anak, yaitu Sugeng.

7.3. Anak ketiga Mbah Semi Proyo adalah Khajad atau Irorejo. Ia adalah satu-satunya laki-laki dari tujuh anak Mbah Semi. Mbah Khajad Irorejo mempunyai tujuh orang anak, yaitu: Amat Dakir (dari istri pertama), Darmo Kadar (dari istri kedua), Kadiyem, Kasih, Kadinem, Kasiyem, dan Paidah.

7.3.1. Anak sulung Mbah Khajad adalah Amat Dakir. Ia mempu-nyai empat orang anak, yaitu: Daliyem, Dalikem, Supini, dan Umar Usman (alm).

7.3.1.1. Anak sulung Mbah Amat Dakir adalah Daliyem. Ia mem-punyai empat orang anak, yaitu Ulfah Maria, Budi Dwikarya, Tri Wahyu Budisantoso, dan Catur Nugroho.

7.3.1.2. Anak kedua Mbah Amat Dakir adalah Dalikem. Ia mem-punyai tiga orang anak, yaitu: Eko Prasetyo, Dwi Santoso, dan Tri Bandono.

7.3.1.3. Anak ketiga Mbah Amat Dakir adalah Supini. Ia mem-punyai dua orang anak, yaitu Wahyu Widayat dan Sigit Nugroho.

7.3.1.4. Anak keempat (bungsu) Mbah Amat Dakir adalah Umar Usman. Ia sudah meninggal dunia, namun sudah berkeluarga, dan mempunyai dua orang anak, yaitu Saiful Ikhsan, dan Indah.

7.3.2. Anak kedua Mbah Mbah Khajad adalah Darmo Kadar. Ia mempunyai empat orang anak, yaitu Waginah, Waljinah, Walji-yem, dan Jumirah.

7.3.2.1. Anak sulung Mbah Darmo Kadar adalah Waginah. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Warni, Ngatijan, dan Warno.

7.3.2.2. Anak kedua Mbah Darmo Kadar adalah Waljinah. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Suthekno, Yatini, dan Supri-hatin.

7.3.2.3. Anak ketiga Mbah Darmo Kadar adalah Waljiyem. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Suryani dan Aris Mundandar.

7.3.2.4. Anak keempat (bungsu) Mbah Darmo Kadar adalah Jumi-rah. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Sri Lestari dan Dwi Suratmi.

7.3.3. Anak ketiga Mbah Mbah Khajad adalah Kadiyem . Ia mempunyai lima orang anak, yaitu: Ngatiyono, Temu, Wintolo, Widodo, dan Sajiyo.

7.3.3.1. Anak Sulung Mbah Kadiyem adalah Ngatiyono. Ia mem-punyai dua orang anak, yaitu: Yulianto dan Dwi Susanti.

7.3.3.2. Anak kedua Mbah Kadiyem, adalah Temu. Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Temu.

7.3.3.3. Anak ketiga Mbah Kadiyem adalah Wintolo. Ia mempu-nyai dua orang anak, yaitu: Eko Sapto Purnomo dan Rewi.

7.3.3.4. Anak keempat Mbah Kadiyem adalah Widodo. Ia mempu-nyai dua orang anak, yaitu: Deni Novanto dan Lina Arrahman.

7.3.3.5. Anak kelima (bungsu) Mbah Kadiyem adalah Sajiyo. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Arif Danang Prasetyo, Ahmad Rodii, dan M. Fauzan.

7.3.4. Anak keempat Mbah Mbah Khajad adalah Kasih. Ia mem-punyai tiga orang anak, yaitu: Teguh Nur Hadi S, Purwanti, dan Purwanto.

7.3.4.1. Anak sulung Mbah Kasih adalah Teguh Nur Hadi S. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Sri Nuryani, Sigit Hermawan, dan Hadi Santoso.

7.3.4.2. Anak kedua Mbah Kasih adalah Purwanti. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Rina Sri Widiati dan Asiri Veviyana.

7.3.4.3. Anak ketiga (bungsu) Mbah Kasih adalah Purwanto. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Rifan Ferdiansah dan Danish Nasrulloh.

7.3.5. Anak kelima Mbah Khajad adalah Kadinem. Ia mempunyai delapan orang anak, yaitu: Djumadi, Djumakir, Djumiyo, Djumin-ten, Timbul Pujono, Tugiman, Tugiyo, dan Dasiyanti.

7.3.5.1. Anak sulung Mbah Kadinem adalah Djumadi. Ia mempu-nyai empat orang anak, yaitu: Isticharoh Amin Soleha, Juli Santo-so, Noviyanti, dan Ilham Aji Avandi.

7.3.5.2. Anak kedua Mbah Kadinem adalah Djumakir. Ia mempu-nyai dua orang anak, yaitu: Restu dan Ridho.

7.3.5.3. Anak ketiga Mbah Kadinem adalah Djumiyo. Ia mempu-nyai seorang anak, yaitu Muh Eko Nurianto.

7.3.5.4. Anak keempat Mbah Kadinem adalah Djuminten. Ia mem-punyai tiga orang anak, yaitu: Rachmad Bagus Sejati, Rachmad Edi Wibowo, dan Rio Danang Wijaya.

7.3.5.5. Anak kelima Mbah Kadinem adalah Timbul Pujono. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Nurul Fatmawati, Dwi Yuni Pujianto, dan Anisa Rahmawati.

Catatan: Kami belum mempunyai data mengenai keluarga anak keenam dan ketujuh Mbah Kadinem yaitu 7.3.5.6. Tugiman dan 7.3.5.7. Tugiyo.

7.3.5.8. Anak kedelapan (bungsu) Mbah Kadinem adalah Dasi-yanti. Ia mempunyai seorang anak, yaitu Rofi Dadan Fizarcfi Azydendi.

7.3.6. Anak keenam Mbah Khajad adalah Kasiyem. Ia mempunyai empat orang anak, yaitu: Wantini, Wartini, Wartono, dan Wargi-yo.

7.3.6.1. Anak sulung Mbah Kasiyem adalah Wantini. Ia mempu-nyai empat orang anak, yaitu: Suranto, Supardiono, Tri Wahyuni, dan Ana Fitriani.

7.3.6.2. Anak kedua Mbah Kasiyem adalah Wartini. Ia mempu-nyai dua orang anak, yaitu: Eko dan Rani Dwi Nuryati.

7.3.6.3. Anak ketiga Mbah Kasiyem adalah Wartono. Ia mempu-nyai seorang anak, yaitu Gerin Sukmahara.

7.3.6.4. Anak keempat (bungsu) Mbah Kasiyem adalah Wargiyo. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Fahrudin Mustofa, Rofi Ahmad Firmansyah, dan Risma Hesti.

7.3.7. Anak ketujuh (bungsu) Mbah Khajad adalah Paidah. Ia mempunyai enam orang anak, yaitu: Supardiyono, Suparjito (alm), Supartini, Supartono, Trimo Asih, dan Pardiyati.

7.3.7.1. Anak sulung Mbah Paidah adalah Supardiyono. Ia mem-punyai dua orang anak, yaitu: Nurila Hayu AS dan Afriadi Yoga-ndari AS.

7.3.7.2. Anak kedua Mbah Paidah adalah Suparjito. Ia sudah meninggal dunia. Suparjito sudah berkeluarga, dan mempunyai seorang anak, yaitu Ayunda Christiana.

7.3.7.3. Anak ketiga Mbah Paidah adalah Supartini. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Septiawan Widodo dan Arif Iskandar.

7.3.7.4. Anak keempat Mbah Paidah adalah Supartono. Ia sudah menikah dan mempunyai seorang anak.

Catatan: Kami belum mempunyai data mengenai keluarga anak kelima dan keenam Mbah Paidah: 7.3.7.5. Trimo Asih, dan 7.3.7.6. Pardiyati.

7.4. Anak keempat Mbah Semi Proyo adalah Wagirah atau Wagi-yem. Ia menikah dengan Sorjo. Dari pernikahannya, Mbah Wagi-rah mempunyai empat orang anak, yaitu: Tukul (perempuan) yang menikah dengan Resomulyono, Ijem yang menikah dengan Parto, Rembyung yang menikah dengan Amat, dan Ponikem yang meni-kah dengan Darso Wiarjo.

7.4.1. Anak sulung Mbah Wagirah, adalah Nyonya Tukul. Dari perkawinannya dengan Resomulyono, ia mempunyai empat orang anak, yaitu: Supardiyono, Suyanti, Paidin, dan Subirahmi.

7.4.1.1. Anak sulung Mbah Tukul Resomulyono adalah Supar-diyono. Ia mempunyai seorang anak, yaitu Yoga Heru Prayitno.

7.4.1.2. Anak kedua Mbah Tukul Resomulyono adalah Suyanti. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Martini dan Marwanto.

7.4.1.3. Anak ketiga Mbah Tukul Resomulyono adalah Paidin. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Wahyu Prasetyo dan Hasto Wibowo.

7.4.1.4. Anak keempat (bungsu) Mbah Tukul Resomulyono adalah Subirahmi. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu Puji Rahman dan Suliyanto.

7.4.2. Anak kedua Mbah Wagirah adalah Ijem. Ia menikah dengan Parto. Mereka mempunyai lima orang anak, yaitu: Sudalmit, Suli-jan, Sujakir, Suliyem, dan Sujinah.

7.4.2.1. Anak sulung Mbah Ijem Parto adalah Sudalmit. Ia mem-punyai dua orang anak, yaitu: Margono dan Marsehit.

7.4.2.2. Anak kedua Mbah Ijem Parto adalah Sulijan. Ia mempu-nyai tiga orang anak, yaitu: Rusdiyanto, Siti Munawaroh, dan Uning W.

7.4.2.3. Anak ketiga Mbah Ijem Parto adalah Sujakir. Ia mempu-nyai tiga orang anak, yaitu: Ismiyati, Suyono, dan Susanto.

7.4.2.4. Anak keempat Mbah Ijem Parto adalah Suliyem. Ia mem-punyai tiga orang anak, yaitu: Erwin Safika, Dani Irawan, dan Sundari Erviana.

7.4.2.5. Anak kelima (bungsu) Mbah Ijem Parto adalah Sujinah. Ia mempunyai empat orang anak, yaitu: Nurul Ikhsan, Enik Emita, Fajar Lilik Saputro, dan Mohamad Sofyan.

7.4.3. Anak ketiga Mbah Wagirah adalah Rembyung. Ia menikah dengan Amat. Mereka mempunyai lima orang anak, yaitu: Lami, Ngatiyem, Jiyono, Maryani, dan Suwandi.

7.4.3.1. Anak sulung Mbah Mbah Rembyung Amat adalah Lami. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Bibit dan Ismail.

7.4.3.2. Anak kedua Mbah Mbah Rembyung adalah Ngatiyem. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Nurhayati dan Nabia Selfi Enjelina.

7.4.3.3. Anak ketiga Mbah Mbah Rembyung Amat adalah Jiyono. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Dewi Masitoh dan Dewi Sinta Daniswara.

7.4.3.4. Anak keempat Mbah Mbah Rembyung Amat adalah Maryani. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Intan Cahya-ningrum dan Ifan Maulana Ahmad.

7.4.3.5. Anak kelima (bungsu) Mbah Mbah Rembyung Amat ada-lah Suwandi. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Zulfani Eka Afifi, M Firdaus Al Afifi, dan Imam Ahmad Al Afifi.

Catatan: dalam keluarga Mbah Rembyung tercatat ada lima orang cucu, namun kami belum mempunyai data nama orangtuanya. Mereka adalah Marwiji, Suranto, Alfiani, Nur Faisal, dan Fanfisa Anggraeni.

7.4.4. Anak keempat Mbah Wagirah Sorjo adalah Ponikem. Ia mempunyai empat orang anak, yaitu: Rajiyem, Sujiyo, Samijo, dan Tugiyono.

7.4.4.1. Anak sulung Mbah Ponikem adalah Rajiyem. Ia mempu-nyai tiga orang anak, yaitu: Hariyati, Mujiyati, dan TM Asih.

7.4.4.2. Anak kedua Mbah Ponikem adalah Sujiyo. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Rio Bagus Munandar dan Lusiana.

7.4.4.3. Anak ketiga Mbah Ponikem adalah Samijo. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu Rian Safrudin, dan satu lagi belum terdata namanya.

7.4.4.4. Anak keempat (bungsu) Mbah Ponikem adalah Tugiyono. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu Hanif, dan seorang lagi belum terdata namanya.

7.5. Anak kelima Mbah Semi Proyo adalah Marinem. Ia menikah dengan Amat Zaini. Mereka mempunyai delapan orang anak, yaitu: Harjani (Somo Harjono), Marjuki (Marto), Sabari (Pawiro Wardono), Aswadi (Joyonarimo), Djumali (Amat Djumali), Warsinah yang menikah dengan Siswo, Waljidi, dan Ujang Biantoro.

7.5.1. Anak sulung Mbah Marinem Amat Zaini adalah Harjani Somo Harjono. Ia mempunyai tujuh orang anak, yaitu: H Djam-hari Widodo (alm), Hj Sri Harmini, Tri Haryati (almh), Bambang Haryono, Yoga Hartono, Hartini Purnawati, dan Arif Kusharyadi.

7.5.1.1. Anak sulung Mbah Harjani adalah H Djamhari Widodo (sudah meninggal dunia). Ia sudah berkeluarga dan mempunyai dua orang anak, yaitu: Dessy Ekoningtyas dan Novianto Fajar Saputra.

7.5.1.2. Anak kedua Mbah Harjani adalah Hj Sri Harmini. Ia mempunyai empat orang anak, yaitu: Ani Surya Haryani, Aris Budi Nugroho, Dimas Doso Novarianto, dan Arifin Nur Wicaksono.

7.5.1.3. Anak ketiga Mbah Harjani adalah Tri Haryati. Ia mempu-nyai tiga orang anak, yaitu: Deni Setiawan, Ayuda Sarwono Putro, dan Rita Dewi Rahmawati.

7.5.1.4. Anak keempat Mbah Harjani adalah Bambang Haryono. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Andri Haryono Awalokta Kusuma, Shinta Akhiriah Desi S Haryani, dan Yona Putri Nengah Septiani Durida.

7.5.1.5. Anak kelima Mbah Harjani adalah Yoga Hartono. Pria yang menyelesaikan pendidikan tingginya dalam bidang teknik ini belum terdata keluarganya.

7.5.1.6. Anak keenam Mbah Harjani adalah Hartini Purwati. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Prima Nur Cahyani dan Oky Aditya Dwiyanti.

7.5.1.7. Anak ketujuh (bungsu) Mbah Harjani adalah Arif Kus Haryadi. Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Arif Kus Haryadi ini.

7.5.2. Anak kedua Mbah Marinem Amat Zaini adalah Marjuki. Ia mempunyai enam orang anak, yaitu: Supardilah, Achyar Suharno, Hj Badriyah, Azhari, Ning Lestari, dan Abas Santoso.

7.5.2.1. Anak sulung Mbah Marjuki adalah Supardilah. Ia mempu-nyai tiga orang anak, yaitu: Muhamad Nur Hidayat, Muhamad Zabadi, dan Muhamad Jamzani.

7.5.2.2. Anak kedua Mbah Marjuki adalah Achyar Suharno. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Fauzi Prihastono dan Feri Septian Nugroho.

7.5.2.3. Anak ketiga Mbah Marjuki adalah Hj Badriyah. (Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Hj Badriyah).

7.5.2.4. Anak keempat Mbah Marjuki adalah Azhari. Ia mempu-nyai dua orang anak, yaitu: Septi dan Noris.

7.5.2.5. Anak kelima Mbah Marjuki adalah Ning Lestari. Ia sudah berkeluarga, dan sudah mempunyai seorang anak (kami belum mempunyai data nama anak tersebut).

7.5.2.6. Anak keenam (bungsu) Mbah Marjuki adalah Abas Santoso. (Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Abas Santoso).

7.5.3. Anak ketiga Mbah Marinem Amat Zaini adalah Sabari. Ia mempunyai enam orang anak, yaitu: Djuminten (almh), Sumidah, Pardiyah, Suradal, Agus Sugito, dan Ngadino.

7.5.3.1. Anak sulung Mbah Sabari adalah Djuminten. Ia sudah meninggal dunia. Ia sudah berkeluarga, dan mempunyai dua orang anak, yaitu: Agus dan Desy.

7.5.3.2. Anak kedua Mbah Sabari adalah Sumidah. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Mulyanti dan Feri.

7.5.3.3. Anak ketiga Mbah Sabari adalah Pardiyah. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Mijanardi dan Tolet.

7.5.3.4. Anak keempat Mbah Sabari adalah Suradal. Ia mempu-nyai tiga orang anak, yaitu: Andri, Danu, dan Endah.

7.5.3.5. Anak kelima Mbah Sabari adalah Agus Sugito. Ia mempu-nyai tiga orang anak, yaitu: Riyan Faizi, Rohman, dan Qoim.

7.5.3.6. Anak keenam (bungsu) Mbah Sabari adalah Ngadino. Ia mempunyai empat orang anak, yaitu: Rahmad, Siti Aminah, Isti-qomah, dan Rafi Ahmad.

7.5.4. Anak keempat Mbah Marinem Amat Zaini adalah Aswadi. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Suwarti, Sri Haryati, dan H. Waluyo.

7.5.4.1. Anak sulung Mbah Aswadi adalah Suwarti. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Atik Okia dan Novi Suwarni.

7.5.4.2. Anak kedua Mbah Aswadi adalah Sri Haryati. Ia mempu-nyai seorang anak, yaitu Sunami.

7.5.4.3. Anak ketiga (bungsu) Mbah Aswadi adalah H. Waluyo. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Achmad Rosyid dan Khusnul Khotimah.

7.5.5. Anak kelima Mbah Marinem Amat Zaini adalah Djumali. Ia mempunyai enam orang anak, yaitu: Bambang Supriyanto, Hj. Atik Purwanti, Agus Mulyadi, Siti Muslimah, Muh. Riyanto, dan Sri Sulastri.

7.5.5.1. Anak sulung Mbah Djumali adalah Bambang Supriyanto. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Rika dan Fauzi.

7.5.5.2. Anak kedua Mbah Djumali adalah Hj. Atik Purwanti. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Adi, Tami, dan Aldi.

7.5.5.3. Anak ketiga Mbah Djumali adalah Agus Mulyadi. Ia mempunyai dua orang anak. Namun kami belum mempunyai data mengenai nama kedua orang anak itu.

7.5.5.4. Anak keempat Mbah Djumali adalah Siti Muslimah. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Vira dan Sangga.

7.5.5.5. Anak kelima Mbah Djumali adalah Muh. Riyanto. Ia mempunyai dua orang anak. Kami belum mempunyai data menge-nai nama kedua orang anak itu.

7.5.5.6. Anak keenam (bungsu) Mbah Djumali adalah Sri Sulastri. Ia memunyai seorang anak. Kami belum mempunyai data tentang nama anak itu.

7.5.6. Anak keenam Mbah Marinem Amat Zaini adalah Warsinah. Ia mempunyai lima orang anak, yaitu: Pariyem, Sugiyanti, Supri-yono, Heri Sunarti, dan Sri Antonah.

7.5.6.1. Anak sulung Mbah Warsinah adalah Pariyem. Ia mempu-nyai empat orang anak, yaitu: Bambang Irawan, Ona Hamisa, Dewi Kurniawan, dan Jera Fatmawati.

7.5.6.2. Anak kedua Mbah Warsinah adalah Sugiyanti. Ia mempu-nyai lima orang anak, yaitu: Roli Gunawan, Reni Martinawati, Anto, Joni Iskandar, dan Lia.

7.5.6.3. Anak ketiga Mbah Warsinah adalah Supriyono. Ia mem-punyai tiga orang anak, yaitu: Marisawati Riza Ramadhani, Hendri Wahyu Dwi Saputra, dan Geo Putri Oktaviani.

7.5.6.4. Anak keempat Mbah Warsinah adalah Heri Sunarti. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Ayu, Fery, dan Dimas.

7.5.6.5. Anak kelima (bungsu) Mbah Warsinah adalah Sri Anto-nah. Ia mempunyai lima orang anak, yaitu: Indri Permana, Agus-tina Dwi Cahyani, Delvita Tri Maira, Aprilia Fajar Maulida, dan Claodya Febi Zolanda.

7.5.7 . Anak ketujuh Mbah Marinem Amat Zaini adalah Waljidi. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Heri Haryanto, Agus Hartanto, dan Pamungkas Hendro H.

7.5.7.1. Anak sulung Mbah Waljidi adalah Heri Haryanto. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Muhamad Heli Fauzan, dan Muhamad Hisam Fadhil.

7.5.7.2. Anak kedua Mbah Waljidi adalah Agus Haryanto. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Muhamad Nopal Rizki dan Hasnah.

7.5.7.3. Anak ketiga (bungsu) Mbah Waljidi adalah Pamungkas Hendro H. Ia mempunyai empat orang anak, yaitu: Nabila, Kiki, Kansa, dan Omal Al Kausar.

7.5.8. Anak kedelapan (bungsu) Mbah Marinem Amat Zaini adalah Ujang Biantoro. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Sigit Susilo, Haryadi Arifin, dan Asih Susilowati.

7.5.8.1. Anak sulung Mbah Ujang Biantoro adalah Sigit Susilo. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Rafi Ardiansyah S dan Nur Diyah Fatmawati.

7.5.8.2. Anak kedua Mbah Ujang Biantoro adalah Haryadi Arifin. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Adriana Angger Arifin, Antaresmi Manda Angger, dan Agrifina Nisa Angger Arifin.

7.5.8.3. Anak ketiga (bungsu) Mbah Ujang Biantoro adalah Asih Susilowati. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Afisa Indhu-resmi Putra Wibowo, dan Evani.

7.6. Anak keenam Mbah Semi Proyo adalah Sarikem (Kendil). Sarikem menikah dengan Arjosetiko. Mereka mempunyai enam orang anak, yaitu: Kasijo (Mudi Raharjo), yang kemudian diangkat anak oleh Mbah Saerah atau Mbah Batu Prawiro, Kadiyo, Ngadiman, Sardi (Mujiharjo), Semi, dan Daliyo. Catatan: Tentang Kasijo Mudi Raharjo sudah diuraikan di depan (7.1.1.)

7.6.2. Anak kedua Mbah Sarikem Arjosetiko adalah Kadiyo. Ia mempunyai empat orang anak, yaitu: Triman, Trinil, Triono, dan Trimah.

7.6.2.1. Anak sulung Mbah Kadiyo adalah Triman. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Ahmad Latif Jauhari, dan Nola Masroman.

7.6.2.2. Anak kedua Mbah Kadiyo adalah Trinil. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Sri Astuti, Mustofa Asmunaroh, dan Milfan Yuliantoro.

7.6.3.3. Anak ketiga Mbah Kadiyo adalah Triono. Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Triono.

7.6.3.4. Anak keempat (bungsu) Mbah Kadiyo adalah Trimah. Ia mempunyai seorang anak, yaitu Putri Serli Indrayani.

7.6.3. Anak ketiga Mbah Sarikem Arjosetiko adalah Ngadiman. Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Mbah Ngadiman ini.

7.6.4. Anak keempat Mbah Sarikem Arjosetiko adalah Sardi Mujiharjo. Ia mempunyai tujuh orang anak, yaitu: Partinem, Parjono, Parjiman, Wagiyem, Waginah, Dalmadi, dan Siami.

7.6.4.1. Anak Sulung Mbah Sardi Mujiharjo adalah Partinem. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu Waljiyanti, Murjiyanti, dan Triatno.

7.6.4.2. Anak kedua Mbah Sardi Mujiharjo adalah Parjono. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Lestari, Ita Purnama Sari, dan Nivita Ratnasari.

7.6.4.3. Anak ketiga Mbah Sardi Mujiharjo adalah Parjiman. Ia sudah meninggal dunia, namun ia sempat menikah, dan mem-punyai seorang anak, yaitu Rani Fitriani.

7.6.4.4. Anak keempat Mbah Sardi Mujiharjo adalah Wagiyem. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Wundarti dan Andi Suprianto.

7.6.4.5. Anak kelima Mbah Sardi Mujiharjo adalah Waginah. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Titin Purwaningsih, Rama-dhani Sukmaningrum, dan Ani Prayogo.

7.6.4.6. Anak keenam Mbah Sardi Mujiharjo adalah Dalmadi. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Maya Nurdiyano dan Tris-naningsih Cahyaningrum.

7.6.4.7. Anak ketujuh (bungsu) Mbah Sardi Mujiharjo adalah Siami. Ia mempunyai seorang anak, yaitu: Muhamad Al Basyir.

7.6.5. Anak kelima Mbah Sarikem Arjosetiko adalah Semi. Ia mempunyai empat orang anak, yaitu: Wagiyem, Pargiyanto, Wagirah, dan Sri Susiyanti.

7.6.5.1. Anak sulung Mbah Semi adalah Wagiyem. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Dwi Haryanto dan Mei Wulandari.

7.6.5.2. Anak kedua Mbah Semi adalah Pargiyanto. Ia mempunyai seorang anak, yaitu Azis.

7.6.5.3. Anak ketiga Mbah Semi adalah Wagirah. Ia mempunyai seorang anak, yaitu Pita.

7.6.5.4. Anak keempat (bungsu) Mbah Semi adalah Sri Susiyanti. Ia mempunyai seorang anak, yaitu Pandu Setiawan Gunarso.

7.6.6. Anak keenam (bungsu) Mbah Sarikem Arjosetiko adalah Daliyo. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Parji, Parjan, dan seorang lagi belum kami ketahui data namanya. Selain itu, kami juga belum memiliki data keluarga Parji dan Parjan.

7.7. Anak ketujuh Mbah Semi Proyo adalah Sugeng (perempuan). Ia menikah dengan Joyo Sumarto. Mereka mempunyai enam orang anak, yaitu: Sumardi, Parjiyono (Warno Sugianto), Sutiyem yang menikah dengan Uji, Warsito, Wartini, dan Sumartinah.

7.7.1. Anak sulung Mbah Sugeng Joyo Sumarto adalah Sumardi. Ia mempunyai enam orang anak, yaitu: Sri Subiyanti, Isti Subekti, Suharsono, Supriyadi, Sumaryanto, dan Ening Lestari.

7.7.1.1. Anak sulung Mbah Sumardi adalah Sri Subiyanti. Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Sri Subiyanti.

7.7.1.2. Anak kedua Mbah Sumardi adalah Isti Subekti. Ia mem-punyai seorang anak, yaitu Akmal Mulya Romadhon.

7.7.1.3. Anak ketiga Mbah Sumardi adalah Suharsono. Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Suharsono.

7.7.1.4. Anak keempat Mbah Sumardi adalah Supriyadi. Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Supriyadi.

7.7.1.5. Anak kelima Mbah Sumardi adalah Sumaryanto. Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Sumaryanto.

7.7.1.6. Anak keenam Mbah Sumardi adalah Ening Lestari. Ia mempunyai seorang anak. Kami belum memiliki data mengenai nama anak Ening Lestari.

7.7.2. Anak kedua Mbah Sugeng Joyo Sumarto adalah Parjiyono (Warto Sugianto). Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Yun Suroso dan Yul Krisnanto.

7.7.2.1. Anak sulung Mbah Parjiyono adalah Yun Suroso. Ia mem-punyai dua orang anak, yaitu: Graito Fendi Nugroho dan Bana Gumilang Rohmanto.

7.7.2.2. Anak kedua Mbah Parjiyono adalah Yul Krisnanto. Kami belum mempunyai data mengenai keluarga Yul Krisnanto.

7.7.3. Anak ketiga Mbah Sugeng Joyo Sumarto adalah Sujiyem. Ia menikah dengan Uji. Mereka mempunyai lima orang anak, yaitu: Sudarjo, Supardilah, Sarbiyo, Sudaryati, dan Ribut Untoro.

7.7.3.1. Anak sulung Mbah Sujiyem Uji adalah Sudarjo. Ia memi-liki dua orang anak, yaitu: Miftakurochmah dan Ojek Lina.

7.7.3.2. Anak kedua Mbah Sujiyem Uji adalah Supardilah. Ia memiliki seorang anak. Kami belum mempunyai data mengenak anak Supardilah.

7.7.3.3. Anak ketiga Mbah Sujiyem Uji adalah Sarbiyo. Ia memi-liki seorang anak, yaitu Aditya Riski Pratama.

7.7.3.4. Anak keempat Mbah Sujiyem Uji adalah Sudaryati. Ia mempunyai seorang anak, yaitu Susilo Bagas Nugroho.

7.7.3.5. Anak kelima (bungsu) Mbah Sujiyem Uji adalah Ribut Untoro. Ia mempunyai seorang anak. Kami belum mempunyai data nama anak Ribut Untoro.

7.7.4. Anak keempat Mbah Sugeng Joyo Sumarto adalah Warsito. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Isfatimah, Siswantorto, dan Budi Santoso.

7.7.4.1. Anak sulung Mbah Warsito adalah Isfatimah. Ia mempu-nyai tiga orang anak, yaitu: Naufal Abdilah, Haikal Abdurahman, dan Inaya Izatun Rizqi.

7.7.4.2. Anak kedua Mbah Warsito adalah Siswantoro. Ia mempu-nyai dua orang anak, yaitu: Faras Daswa Putrananda dan Aliya Nashwa Amana.

7.7.4.3. Anak ketiga (bungsu) Mbah Warsito adalah Budi Santoso. Ia mempunyai seorang anak. Kami belum mempunyai data nama anak Budi Santoso.

7.7.5. Anak kelima Mbah Sugeng Joyo Sumarto adalah Wartini. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Isti Supartini, Supardiyanto, dan Isti Tri Purnami.

7.7.5.1. Anak sulung Mbah Wartini adalah Isti Supartini. Ia mem-punyai lima orang anak, yaitu: Rahma Nur Azisyah Azzahro, Aisyah Nur Magfiroh, Muh Nur Izzudin, Isa Maghribi Aminudin, dan Muh Nur Latif.

7.7.5.2. Anak kedua Mbah Wartini adalah Supardiyanto. Ia mem-punyai dua orang anak, yaitu Muh Nur Rochman dan Ali Nur Ridho.

7.7.5.3. Anak ketiga (bungsu) Mbah Wartini adalah Isti Tri Purna-mi. Ia mempunyai seorang anak, yaitu Izuma Alif Afresa.

7.7.6. Anak keenam (bungsu) Mbah Sugeng Joyo Sumarto adalah Sumartinah. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Sumiyah, Isdi-wiyanto, dan Supadmiyati.

7.7.6.1. Anak sulung Mbah Sumartinah adalah Sumiyah. Kami belum punya data mengenai keluarga Sumiyah.

7.7.6.2. Anak kedua Mbah Sumartinah adalah Isdiwiyanto. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Sifa Atana Nurul Ihza dan Zahura Annisa Ihza Riyanto.

7.7.6.3. Anak ketiga (bungsu) Mbah Sumartinah adalah Supad-miyati. Kami belum memiliki data mengenai keluarga Supad-miyati.

7.8. Anak kedelapan (bungsu) Mbah Semi Proyo adalah Sumar-tinah. Ia menikah dengan Yoso Sudarmo. Mereka mempunyai empat orang anak, yaitu: Wukinah, Warsinah, Joko Wintoko, dan Rusminah.

7.8.1. Anak sulung Mbah Sumartinah Yoso Sudarmo adalah Wukinah. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Gandung Sunardi, Suyamtinah, dan Muryani.

7.8.1.1. Anak sulung Mbah Wukinah adalah Gandung Sunardi. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Joko Suratman, Dwi Mulyanto, dan Tri Lestari Rahayu.

7.8.1.2. Anak kedua Mbah Wukinah adalah Suyamtinah. Ia mem-punyai tiga orang anak, yaitu: Suprih, Dede, dan Menuk.

7.8.1.3. Anak ketiga (bungsu) Mbah Wukinah adalah Muryani. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Fitriana dan Damanhuri.

7.8.2. Anak kedua Mbah Sumartinah Yoso Sudarmo adalah Warsinah. Ia mempunyai delapan anak, yaitu: Menik, Suratmi, Jumarno, Widodo, Suprihatin, Partini, Tarimah, dan Suminah.

7.8.2.1. Anak sulung Mbah Warsinah adalah Menik. Ia mempu-nyai tiga orang anak, yaitu: Suratmi, Bimo, dan Juang.

7.8.2.2. Anak kedua Mbah Warsinah adalah Suratmi. Kami belum mempunyai data tentang keluarga Suratmi.

7.8.2.3. Anak ketiga Mbah Warsinah adalah Jumarno. Ia mempu-nyai dua orang anak, yaitu: Jiwan dan Sumarni.

7.8.2.4. Anak keempat Mbah Warsinah adalah Widodo. Ia mem-punyai dua orang anak, yaitu: Wiwit dan Tika.

7.8.2.5. Anak kelima Mbah Warsinah adalah Suprihatin. Ia mem-punyai seorang anak, yaitu Andri.

7.8.2.6. Anak keenam Mbah Warsinah adalah Partini. Ia mempu-nyai tiga orang anak, yaitu: Septi, Lia, dan Edy.

7.8.2.7. Anak ketujuh Mbah Warsinah adalah Tarimah. Ia mempu-nyai dua orang anak, yaitu: Fitri dan Wahyu.

7.8.2.8. Anak kedelapan (bungsu) Mbah Warsinah adalah Sumi-nah. Ia mempunyai seorang anak, yaitu Nesya.

7.8.3. Anak ketiga Mbah Sumartinah Yoso Sudarmo adalah Joko Wintoko. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Rendi Gunawan dan Esti Sundari. Kami belum memiliki data keluarga Rendi Gunawan maupun Esti Sundari.

7.8.4. Anak keempat (bungsu) Mbah Sumartinah Yoso Sudarmo adalah Rusminah. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Dwi Rahayuningsih, Eko, dan seorang lagi belum kami miliki data namanya. Kami juga belum mempunyai data keluarga Dwi Rahayuningsih, Eko, dan seorang anak Rusminah lagi.

>Bagian 3

Silsilah Keluarga Mbah Saman – Karangpilang

Mbah Sanrejo muda, atau Mbah Saman, meskipun jumlah anak-nya hanya tiga orang, jumlah cucu dan buyutnya terhitung cukup banyak. Mereka tinggal tersebar di kota-kota di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan juga Lombok. Nama-nama yang terda-ta dalam silsilah ini cukup lengkap, mulai dari anak, cucu, buyut, canggah, sampai wareng. Artinya yang termuda adalah generasi ketujuh dalam Trah Sanrejo, atau cucu uthek-uthek.

8. Anak ke delapan Mbah Sanrejo tua adalah Saman atau Sanrejo muda. Ia menikah dengan Binem atau juga disebut Mbah Pupon. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Samiyem yang meni-kah dengan Sanraji, Daliyem yang menikah dengan Mat Jais atau Partowirejo, dan Tugimin atau Pawiro yang menikah dengan Tuki-nem. Mbah Sanrejo muda adalah seorang petani, sama seperti orang-orang sedesanya lainnya. Namun Mbah Sanrejo muda atau Mbah Saman ini mempunyai keterampilan lain, yaitu membuat anyam-anyaman dari bambu untuk peralatan dapur dan rumah tangga, dan juga untuk bangunan rumah, seperti gedek atau bilik untuk dinding rumah di pedesaan. Diduga, keterampilan itu juga dia peroleh dari ayahnya, Sanrejo tua. Ketererampilan bertukang ini dimiliki juga oleh anak laki-lakinya, Tugimin, yang bisa bertu-kang kayu, membuat lemari, meja dan juga struktur bangunan rumah dari kayu. Pada masa itu, yang disebut tukang, pada umum-nya adalah tukang kayu. Tukang batu belum banyak seperti seka-rang. Anaknya yang lain, Daliyem, ketika masih tinggal di Karangpilang juga berkerajinan menenun stagen atau selendang. Hasilnya dijual.

8.1. Anak sulung Mbah Sanrejo adalah Samiyem. Ia menikah dengan Sanraji. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Arjo Samino yang menikah dengan Paikem, dan Salamah yang meni-kah dengan Sosemito.

8.1.1. Anak sulung Mbah Samiyem Sanraji adalah Arjo Samino. Ia menikah dengan Paikem. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Senu yang menikah dengan Seni, Semin yang menikah dengan Suyati, dan Sri Handayani yang menikah dengan Senen.

8.1.1.1. Anak sulung Mbah Arjo Samino adalah Senu. Ia menikah dengan Seni. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Juprianto yang menikah dengan Uum, Ciptadi yang menikah dengan Sumar-sih, dan Tri Laili yang menikah dengan Mulyanto.

8.1.1.1.1. Anak sulung Senu adalah Juprianto. Ia menikah dengan Uum. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Faturohman, Jihan, dan Aisyah. Pasutri muda ini sekarang tinggal di Cibitung, Bekasi.

8.1.1.1.2. Anak kedua Senu adalah Ciptadi. Ia menikah dengan Sumarsih. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Syifa dan Adam. Keluarga ini tinggal di Karangpilang.

8.1.1.1.3. Anak ketiga (bungsu) Senu adalah Tri Laili. Ia menikah dengan Mulyanto. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Fafa dan Neima. Keluarga ini tinggal di Karawang. Jawa Barat

8.1.1.2. Anak kedua Mbah Arjo Samino adalah Semin. Ia menikah dengan Suyati, saudara misannya, anak Rubiyem (8.3.1.) Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Eka Listyaningrum dan Ilham Khoirul Anwar. Keluarga Semin tinggal di Jl. Uranus, Taman Wanasari Indah, Bekasi. Semin setamat sekolah menengah, beker-ja di perusahaan pembuatan suku cadang mobil di Cibitung. Anak keduanya, Ilham, saat ini sedang menyelesaikan kuliahnya.

8.1.1.2.1. Anak sulung Semin adalah Eka Listyaningrum. Ia meni-kah dengan Irfan Ditia. Pasangan yang melangsungkan perni-kahannya pada akhir tahun 2021 ini belum mempunyai anak. Eka menyelesaikan kuliahnya di Universitas Hamka, Jakarta, dan seka-rang berkerja di sebuah perusahaan swasta.

8.1.1.3. Anak kegita (bungsu) Mbah Arjo Samino adalah Sri Handayani. Ia menikah dengan Senen. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Anna dan Lulu. Keluarga Sri Handayani sekarang tinggal di Jambi, Sumatera.

8.1.2. Anak kedua Mbah Samiyem Sanraji adalah Salamah. Ia menikah dengan Sosemito dan dikaruniai sembilan orang anak yaitu: Bimin yang menikah dengan Samilah, Sukir yang menikah dengan Satiyem, Jimin yang menikah dengan Warni, Kemis yang menikah dengan Suginem, Pangat (sudah meninggal) yang sudah menikah dan tinggal di Riau, Karsi yang menikah dengan Hadisu-wito, Sadi yang menikah dengan Wiwin, Paiman yang menikah dengan Giyanti, Paimin (almarhum) yang menikah dengan Warni. Keluarga Salamah Sosemito ini termasuk keluarga besar. Sebagian anaknya bahkan sudah mempunyai cucu yang juga sudah meni-kah. Mereka adalah generasi ketujuh atau istilahnya putu uthek-uthek dalam keluarga besar Trah Sanrejo. Sebagian besar mereka adalah penduduk Karangpilang, dusun leluhurnya.

8.1.2.1. Anak sulung Mbah Salamah Sosemito adalah Bimin. Ia menikah dengan Samilah, dan tinggal di Simo, kecamatan di utara Sambi. Bimin mempunyai enam orang anak, yaitu: Sri yang menikah dengan Jito, Narti, Mulyani yang menikah dengan Warseno, Mulyanto yang menikah dengan Tari, Nuryati yang menikah dengan Wawi, dan Juwari.

8.1.2.1.1. Anak sulung Bimin adalah Sri. Ia menikah dengan Jito. Pasangan suami istri (pasutri) ini mempunyai seorang anak, yaitu Nur Rohim.

8.1.2.1.2. Anak kedua Bimin adalah Narti. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu: Aan yang menikah dengan Lisa, Riki yang menikah dengan Yuyun, dan Ardi yang menikah dengan Dita.

8.1.2.1.2.1. Anak sulung Narti adalah Riki. Ia menikah dengan Yuyun. Pasutri muda ini belum mempunyai anak. Riki ini termasuk generasi ketujuh (paling muda – sebutannya cucu uthek-uthek) dalam Trah Sanrejo yang sudah dewasa.

8.1.2.1.2.2. Anak kedua Narti adalah Ardi. Ia menikah dengan Dita. Pasutri muda ini juga belum mempunyai anak.

8.1.2.1.3. Anak ketiga Bimin adalah Mulyani. Ia menikah dangan Warseno dan dikaruniai dua orang anak, yaitu: Firsa dan April.

8.1.2.1.4. Anak keempat Bimin adalah Mulyanto. Ia menikah dengan Tari. Pasutri ini mempunyai seorang anak, yaitu Aska.

8.1.2.1.5. Anak kelima Bimin adalah Nuryati. Ia menikah dengan Wawi. Pasutri ini mempunyai dua orang anak, yaitu: Tama dan Nada.

8.1.2.1.6. Anak keenam (bungsu) Bimin adalah Juwari. Ia mempu-nyai dua orang anak, yaitu: Abinanya dan Bila.

8.1.2.2. Anak kedua Mbah Salamah Sosemito adalah Sukir. Sukir menikah dengan Satiyem. Mereka tinggal di Karangpilang. Pasutri ini dikaruniai lima orang anak, yaitu: Anik, Purwanto, Rumi yang menikah dengan Narno, Iksan yang menikah dengan Ana, dan Topa yang belum berkeluarga.

8.1.2.2.1. Anak sulung Sukir adalah Anik. Anik pempunyai seo-rang anak, yaitu Tsania.

8.1.2.2.2. Anak kedua Sukir adalah Purwanto. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Najia dan Athala.

8.1.2.2.3. Anak ketiga Sukir adalah Rumi. Rumi menikah dengan Narno. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Arsyla.

8.1.2.2.4. Anak keempat Sukir adalah Iksan. Ia menikah dengan Ana. Pasutri ini dikaruniai seorang anak, yaitu Nasya.

8.1.2.3. Anak ketiga Mbah Salamah Sosemito adalah Jimin. Jimin menikah dengan Warni. Mereka mempunyai lima orang anak, yai-tu: Patmi (sudah meninggal), Wagiman yang menikah dengan Lina, Titik yang menikah dengan Thoan, Wanti yang menikah dengan Rundag, dan Wartini yang menikah dengan Mardi.

8.1.2.3.1. Anak sulung Jimin adalah Patmi. Patmi yang sudah meninggal sempat berkeluarga, dan mempunyai seorang anak, yaitu Leli.

8.1.2.3.2. Anak kedua Jimin adalah Wagiman. Ia menikah dengan Lina. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Rora dan Arshila.

8.1.2.3.3. Anak ketiga Jimin adalah Titik. Ia menikah dengan Thoan. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Kanza, Nadin, dan Alfarezi.

8.1.2.3.4. Anak keempat Jimin adalah Wanti. Wanti menikah dengan Rundag. Pasutri ini dikaruniai dua orang anak, yaitu: Husna dan Nabil.

8.1.2.3.5. Anak kelima (bungsu) Jimin adalah Wartini. Ia menikah dengan Mardi. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Faqih.

8.1.2.4. Anak keempat Mbah Salamah Sosemito adalah Kemis. Kemis menikah dengan Suginem. Mereka mempunyai lima orang anak, yaitu: Sugiyanto, Riyanto, Tugimin, Usnaini, dan Sundari.

8.1.2.4.1. Anak sulung Kemis adalah Sugiyanto. Sugiyanto mem-punyai dua orang anak, yaitu: Titik yang sudah menikah dengan Wawan, dan Amel.

8.1.2.4.1.1. Anak sulung Sugiyanto adalah Titik. Titik sudah meni-kah dengan Wawan.

8.1.2.4.2. Anak kedua Kemis adalah Riyanto. Riyanto sudah meni-kah, dan mempunyai seorang anak, yaitu Ali.

8.1.2.4.3. Anak ketiga Kemis adalah Tugimin. Tugimin sudah menikah, dan mempunyai seorang anak, yaitu Felix.

8.1.2.4.4. Anak keempat Kemis adalah Usnaini. Usnaini sudah menikah, dan mempunyai dua orang anak, yaitu: Lia dan Qila.

8.1.2.4.5. Anak kelima Kemis adalah Sundari. Sundari sudah menikah, dan mempunyai seorang anak, yaitu Ahmad.

8.1.2.5. Anak kelima Mbah Salamah Sosemito adalah Pangat. Pangat yang merantau ke Riau, sudah meninggal dunia. Ia meninggalkan istri dengan tiga orang anak, yaitu: Kunti, Yosef, dan Nurul.

8.1.2.6. Anak keenam Mbah Salamah Sosemito adalah Karsi. Karsi menikah dengan Hadisuwito. Pasutri ini mempunyai tiga orang anak, yaitu: Wahyuni yang menikah dengan Slamet, Suyadi yang menikah dengan Selvi, dan Sulastri yang menikah dengan Manto.

8.1.2.6.1. Anak sulung Karsi Hadisuwito adalah Wahyuni. Wahyuni menikah dengan Slamet. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Lina.

8.1.2.6.2. Anak kedua Karsi Hadisuwito adalah Suyadi. Suyadi menikah dengan Selvi. Mareka dikaruniai seorang anak, yaitu Shahnum.

8.1.2.6.3. Anak ketiga (bungsu) Karsi Hadisuwito adalah Sulastri. Ia menikah dengan Manto. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Rasya.

8.1.2.7. Anak ketujuh Mbah Salamah Sosemito adalah Sadi. Sadi menikah dengan Wiwin, penduduk Jakarta. Sadi yang bekerja di perusahaan susu Bendera ini tinggal di bilangan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Ulfa yang sudah menikah dengan Rangga, dan Fahrul yang masih kuliah di Universitas Indonesia.

8.1.2.7.1. Anak sulung Sadi adalah Ulfa. Ulfa menikah dengan Rangga. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Saka.

8.1.2.8. Anak kedelapan Mbah Salamah Sosemito adalah Paiman. Paiman menikah dengan Giyanti. Pasutri ini mempunyai tiga orang anak, yaitu Hesti (almh), Rika yang menikah dengan Ipung, dan Peti yang menikah dengan Irul.

8.1.2.8.2. Anak kedua Paiman adalah Rika. Rika menikah dengan Ipung. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Mila dan Alesha.

8.1.2.8.3. Anak ketiga (bungsu) Paiman adalah Peti. Peti sudah menikah dengan Irul.

8.1.2.9. Anak kesembilan atau bungsu Mbah Salamah Sosemito adalah Paimin yang sudah meninggal. Ia sudah berkeluarga. Istrinya adalah Marni. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Fathur yang menikah dengan Rina, dan Bagas.

8.1.2.9.1. Anak sulung almarhum Paimin adalah Fathur. Fatur menikah dengan Rina. Mareka mempunyai seorang anak, yaitu Thalia.

8.2. Anak kedua Mbah Sanrejo muda adalah Daliyem. Daliyem menikah dengan Partowirejo. Pasutri ini mempunyai sepuluh orang anak. Dua dari sepuluh anak itu, meninggal dunia pada waktu masih bayi dan anak-anak. Anak-anak Mbah Daliyem yang hidup sampai dewasa dan tua adalah: J Sugiman Dwidjosuparto yang menikah dengan Sundari, Petrus Subirin Siswohadi yang menikah dengan Supadmi, Sumilah yang menikah dengan Kasnadi, Bruder Paulus Adisumarno yang hidup membiara, Agustinus Widodo yang menikah dengan Suharti, Wagiyem yang menikah dengan Sarmin, Phillipus Ateng Winarno yang menikah dengan Yustina Estuningsih, dan Anastasia Winarni yang menikah dengan Yohanes Kartomo. Keturunan Pasutri Daliyem Partowirejo ini termasuk keluarga besar dalam Trah Sanrejo. Anak turun Mbah Daliyem Partowirejo ini sudah sampai tingkat canggah, atau cucu uthek-uthek dalam Trah Sanrejo, yaitu generasi ketujuh. Partowirejo seorang yang ingin maju. Selain bertani, ia pernah menjadi buruh pemecah batu, untuk perbaikan jalan. Saat itu ia melihat, mandornya memperoleh upah besar, sementara pekerja-annya tidak seberat dia. Ia pun sadar, bahwa hal itu karena sang mandor bisa baca tulis (berpendidikan). Sejak saat itu ia bertekad untuk menyekolahkan anak-anaknya. Maka ketika pemerintah menggerakkan agar anak-anak bersekolah setelah kemerdekaan RI, anaknya, Sugiman dan Subirin disekolahkan di Sambi. Kemu-dian setelah mempunyai delapan orang anak, keluarga Partowirejo berpindah tempat tinggal dari Karanpilang ke Kaliwenang, Keca-matan Kedungjati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, kurang lebih pada tahun 1955. Tempat baru itu memang lebih menjanji-kan untuk kesejahteraan keluarganya. Anak bungsunya pada saat itu masih bayi, dan yang sulung sudah dewasa, namun belum menikah. Kini keturunan Mbah Partowirejo, tersebar di berbagai tempat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara Barat. Mbah Partowirejo meninggal dunia pada tanggal 3 Maret 1966, dalam usia 66 tahun, sedangkan Mbah Daliyem mendinggal dunia pada tanggal 9 Juni 1999, dalam usia 90 tahun. Mereka dimakam-kan di Desa Kaliwenang, Tanggungharjo (dulu Kedungjati), Gro-bogan, Jawa Tengah.

8.2.1. Anak sulung Mbah Daliyem Partowirejo adalah J Sugiman Dwijosuparto. Ia menikah dengan Sundari, anak ketiga dari kelu-arga Parnosastro yang juga berasal dari Sambi (Pondok). Keluarga Parnosastro sudah bermukim di Sunggingan, Boyolali. Pasutri Sugiman - Sundari mempunyai delapan orang anak, yaitu: Sri Sunari yang menikah dengan Sunarto (alm), Dwi Sunarmi yang menikah dengan Rusno, Basuki Nugroho yang menikah dengan Hasnah, Setyo Edi Satoto yang menikah dengan Sulastri, Kristanto Nugroho yang menikah dengan Maryati, Christiana Asih Hastanti (Tanti) yang menikah dengan Slamet Santoso, Ruswanto Hadi-sucipto yang menikah dengan Sri Naomi (almh) dan Sri Wulandari yang menikah dengan Darmanto. Setelah menamatkan pendidikan SGB di Surakarta, Sugiman menjadi seorang guru SD. Ia pernah bertugas di berbagai tempat, antara lain di Teras, Boyolali; Giri-woyo, Wonogiri; Kuwaron, Gubug, Grobogan; dan daerah trans-mitgrasi, Pamenang, Bangko, Jambi, ketika ia ikut bertrasmigrasi, sebagai guru sekaligus sebagai petani. Dari Pamenang, ia berpin-dah ke Sungai Lilin, dan akhirnya kembali ke Asrikanto, Sung-gingan, Boyolali. Pasutri Sugiman Sundari meninggal dunia dalam usia tua dan dimakamkan di Boyolali.

8.2.1.1. Anak sulung Mbah Sugiman adalah Sri Sunari (Nari). Ia menikah dengan Sunarto yang meninggal dunia beberapa tahun yang lalu setelah sakit beberapa waktu. Pasutri ini mempunyai tiga orang anak, yaitu: Kris Aris Krisdianto yang menikah dengan Margaretha Tri Prasinta, Agung Indriatomo yang menikah dengan Giyarti, dan Lidya Asri Anjarini (Tiwuk) yang menikah dengan Vincensius Nugraha. Sri Sunari dan Sunarto adalah seorang PNS, guru sekolah dasar di Boyolali. Mereka sempat tinggal di Gubug bersama Sugiman dan Sundari. Pada akhir masa kerjanya, Sunari yang menetap di Sambirejo, Kiringan Boyolali ini, mulai merintis usaha katering, yang kemudian usaha itu cukup berhasil, melayani hajatan di berbagai tempat di Boyolali dan sekitarnya. Usaha itu sekarang dilanjutkan oleh salah seorang anaknya.

8.2.1.1.1. Anak sulung Sri Sunari Sunarto adalah Kris Aris Krisdi-anto (Aris). Ia menikah dengan Margaretha Tri Prasinta. Mereka dikaruniai dua orang anak, yaitu: Bartolomeus Dewantara yang saat ini berusia 19 tahun, dan Chayla Asha Dewi usia 12 tahun. Aris beserta keluarganya tinggal di Kampung Bhayangkara, Sis-wodipuran, Boyolali.

8.2.1.1.2. Anak kedua Sri Sunari Sunarto adalah Agung Indriatmo (Agung). Ia menikah dengan Giyarti. Mereka mempunyai dua orang anak yang sudah besar juga, Kysa Givana usia 16 tahun, dan Bastian Bintang usia 9 tahun. Agung ini tinggal di Sambirejo, melanjutkan usaha orangtuanya.

8.2.1.1.3. Anak ketiga (bungsu) Sri Sunari Sunarto adalah Lidya Asri Anjarini (Tiwuk). Ia menikah dengan Vincensius Nugraha. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Christoper Kevin Adi, usia 8 tahun. Tiwuk yang berprofesi sebagai perawat ini tinggal di Kampung Kebonso, Pulisen, Boyolali.

8.2.1.2. Anak kedua Mbah Sugiman adalah Dwi Sunarmi. Dwi menikah dengan Rusno. Mereka tidak dikaruniai anak. Rusno yang berasal dari Gubug ini seorang guru SD, dan sekarang sudah pensiun. Pasutri ini menetap di Sunggingan, Boyolali, tidak jauh dari kediaman kakaknya, Sunari.

8.2.1.3. Anak ketiga Mbah Sugiman adalah Basuki Nugroho (Bas). Ia menikah dengan Hasnah, asal Jambi. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Arif Budi Utomo yang menikah dengan Fitria Haryanti, dan Rahmatan Witular. Basuki Nugroho menem-puh pendidikan tingginya di Universitas Diponegoro, Semarang, sebab saat itu orangtuanya masih tinggal di Gubug. Karena orang-tuanya sudah bertransmigrasi ke Pamenang, Jambi, setelah lulus Basuki juga pindah ke Jambi, menjadi PNS di sana sampai pensi-un. Sekarang pasutri Basuki Hasnah tinggal di Lorong Balatkop, Kelurahan Sungai Putri, Kecamatan Danau Sipin, Kota Jambi.

8.2.1.3.1. Anak sulung Basuki Nugroho adalah Arif Budi Utomo. Ia menikah dengan dengan Fitria Haryanti, dan sudah mempunyai seorang anak, yaitu Aisyah Naura Arsila.

8.2.1.3.2. Anak kedua Basuki Nugroho adalah Rahmatan Witular. Ia sudah dewasa, dan sedang menyelesaikan pendidikan tingginya.

8.2.1.4. Anak keempat Mbah Sugiman adalah Setyo Edi Satoto (Totok). Ia menikah dengan Sulastri. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Lilian Dian Permata yang menikah dengan Bagus Wicaksono, dan Timotius Agustana. Totok adalah seorang pendeta merangkap guru SMA. Sekarang sudah pensiun. Setyo Edi Satoto tinggal di Desa Sumber Makmur, Kecamatan Muara Padang, Banyu Asin, Sumatera Selatan.

8.2.1.4.1. Anak sulung Setyo Edi Satoto adalah Lilian Dian Per-mata (Lian). Ia menikah dengan Bagus Wicaksono. Pasutri muda ini mempunyai seorang anak, yaitu Alifele Andian Damar Wijaya. Lian yang menamatkan pendidikannya di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga ini sekarang tinggal di Mutiara Residence, Bugel, Sidorejo, Salatiga.

8.2.1.4.2. Anak kedua Setyo Edi Satoto adalah Timotius Agustana (Tius). Tius sudah menyelesaikan pendidikan tingginya di Univer-sitas Kristen Satyawacana Salatiga. Sekarang ia menjalankan usa-hanya dan tinggal di Simpang C4, Dusun 1 Srigunung, Kecamatan Sungai Lilin, Banyuasin, Sumatera Selatan.

8.2.1.5. Anak kelima Mbah Sugiman adalah Kristanto Nugroho (Tanto). Ia menikah dengan Maryati. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Samuel, Natanael, dan Daniel.

8.2.1.5.1. Anak sulung Kristanto Nugroho adalah Samuel. Ia sudah menikah dan mempunyai seorang anak. Samuel adalah seorang guru di Sekolah Tarsisius, Jakarta.

8.2.1.6. Anak keenam Mbah Sugiman adalah Sundari Christiana Asih Hastanti (Tanti). Tanti menikah dengan Slamet Santoso. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Yehuda, dan Elyada. Tanti yang menamatkan pendidikan tingginya dalam kependidikan adalah seorang guru, begitu suaminya. Slamet Santoso selain berpendidikan tinggi dalam bidang teknik, juga menjadi pendeta setelah menamatkan pendidikan tinggi theologia. Keluarga Tanti Slamet Santoso tinggal di Malinau, ibukota Provinsi Kalimantan Utara. Rumahnya ada di Jln Christian Center, Desa Tanjung Lapang, Malinau Barat, Kalimantan Utara.

8.2.1.6.1. Anak sulung Tanti Slamet Santoso adalah Yehuda Agus Susanto. Ia menikah dengan Mentari Hariandira. Pasutri muda ini mempunyai seorang anak, yaitu Ivander Manjer Kawurian Santo-so. Yehuda menamatkan pendidikan kedokterannya di Universitas Duta Wacana Yogyakarta. Sekarang Yehuda bekerja di Rumah Sakit Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara.

8.2.1.6.2. Anak Kedua Tanti Slamet adalah Elyada Adi Santoso. Elyada sudah menikah dengan Josephine Meydi, dan memiliki seorang anak, yaitu Sheena Kaira Santoso. Sekarang pasutri muda ini, baik Elyada maupun Josephine, baru menyelesaikan skripsi pendidikan tingginya di Yogyakarta.

8.2.1.7. Anak ketujuh Mbah Sugiman adalah Ruswanto Hadi Sucipto (Cipto). Ia menikah dengan Sri Naomi Setyowati, dan mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Yudith Yasmika Nugrah, dan Samhardito. Sri Naomi Setyowati sudah dipanggil Tuhan karena sakit pada tanggal 19 Maret 2022, dan dimakamkan di Boyolali. Cipto menamatkan pendidikan tinggi jurusan biologi di Universitas Negeri Jambi. Kemudian ia melanjutkan pendidi-kannya lagi di Universitas Indonesia, sambil menjadi guru di SMA Tarsisius, Jakarta. Pada saat ini ia juga menjadi dosen biologi di Universitas Atma Jaya, Jakarta. Keluarga Cipto tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan.

8.2.1.8 Anak kedelapan Mbah Sugiman adalah Sri Wulandari (Wulan). Ia menikah dengan Darmanto, yang juga berasal dari Sambi. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Wisnundari Dyah Ayu Lestari (Winda), Riskanti Handayani (Riska), dan Bagus Wihandono (Bagus). Darmanto adalah seorang ASN sebuah kementerian di Jakarta, sedangkan Wulan seorang guru SD. Mereka tinggal di sebuah perumahan di Sasak Panjang (dekat dengan Stasiun Citayam), Kabupaten Bogor.

8.2.2. Anak kedua Mbah Daliyem Partowirejo adalah Petrus Subi-rin Siswohadi (Birin atau Sis). Ia menikah dengan Supadmi yang dikenalnya ketika menempuh pendidikan sekolah guru bantu (SGB) di Ambarawa. Pasutri ini dikaruniai delapan orang anak, yaitu: Thomas A. Bowo Budisusilo (Bowo) yang menikah dengan Paula Wiwiek Dwi Utami (Wiwik), Widiastuti yang meninggal dunia ketika masih kecil, Bernadeta Tutik Budiharsih yang meni-kah dengan Djoko Marsono, Maria Caecilia Endah Palularsih yang menikah dengan Soleman Dapatalu Poety, RM Indriwiyati (Wiwik) yang menikah dengan FA Wijayanto (Wowok), Martina Satiti Subekti yang menikah dengan Suherlan, Kristiana Susilo-wati br. Samosir yang menikah dengan Ridwan Max Sija-bat, dan Lusiana Padmasari yang menikah dengan Nyoman Diana. Setelah tamat SGB, Subirin dibenum (ditempatkan) untuk menga-jar di SD Mrisi, Kecamatan Kedungjati, kemudian setelah meni-kah keluarga ini tinggal di Gubug, dan menetap di Bandarsari. Subirin lama menjadi guru SD di daerah Gubug, kemudian menjadi kepala sekolah, dan sebelum pensiun bertugas sebagai penilik. Sedangkan Supadmi sesuai dengan pendidikannya, ia menjadi pegawai balai kesehatan ibu dan anak (BKIA – sekarang puskesmas) di Gubug. Pasutri Subirin-Supadmi meninggal dunia dalam usia tua dan dimakamkan di Kaliceret, Kedungjati.

8.2.2.1. Anak sulung Mbah Subirin adalah Thomas Aquinas Bowo Budisusilo. Ia menikah dengan Paula Wiwik Dwi Utami. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Katarina Retno Wulandari (Wulan) yang menikah dengan Satriaji Hartamto, dan FX Pandu Setyo Adhi yang menikah dengan Ria Deviyana. Paula Wiwik meninggal dunia pada tanggal 1 September 2020. Setelah tamat dari STM Mikael di Surakarta, Bowo melanjutkan pendidikan di teknik penerbangan di LPPU Curug, Tangerang, kemudian menja-di teknisi pesawat helikopter, dan selanjutnya menjadi instruktur dalam perusahaan penerbangan Pelita Air Service. Keluarga Bowo pernah tinggal di Semplak, kemudian menetap di perumahan Taman Yasmine, Bogor.

8.2.2.1.1. Anak sulung Bowo adalah Katarina Retno Wulandari (Wulan). Ia menikah dengan Satriaji Hartamto. Pasutri muda ini mempunyai dua orang anak, yaitu Nareswari Dahayu Hartamto, dan Mikailo Kafka Hartamto. Mereka tinggal di perumahan Lotus Jasmine, Bogor.

8.2.2.1.2. Anak kedua Bowo adalah Fransiskus Xaverius Pandu Setyo Adhi yang menikah dengan Ria Deviyana. Mereka mempu-nyai seorang anak, yaitu Novellia Rindu Pratiwi. Keluarga Pandu tinggal di perumahan Nuansa Indah Ciomas, Jl. Pangrango, Ciomas Bogor.

8.2.2.2. Anak kedua Mbah Subirin adalah Bernadeta Tutik Budi-harsih (Tutik). Ia menikah dengan Djoko Marsono asal Klaten. Pasutri ini dikaruniai empat orang anak, yaitu: Ignatius Ari Adi-tomo (Ari) yang menikah dengan Yohana Fransiska de Chantal Wardhani Wirandrati (Dani), Stephania Dyah Utari (Uut) yang menikah dengan Robertus Rudi Hardianto, Paulus Raka Adi Yunanto (Raka) yang menikah dengan Anggraeni Wulandari, dan dan Paula Ratna Adi Yuniati (Ratna) yang menikah dengan Ganis Dwi Jatmiko. Tutik setelah menamatkan pendidikan tingginya di Universitas Gajah Mada jurusan kehutanan, kemudian bekerja di Pemda Kabupaten Sleman. Ia bertugas menangani pasar, sehinga banyak relasinya. Sedangkan Djoko Marsono sejak kecil tinggal bersama orangtuanya yang memiliki usaha jahit di Jl Mayor Suryopratomo, Yogyakarta. Setelah menikah Ia menetap Perum-ahan Yadara di Babarsari, Sleman dekat Ring Road utara Yogya-karta. Djoko Marsono adalah seorang guru SMA negeri, yang sekarang sudah pensiun. Kini Djoko melanjutkan usaha jahit orangtuanya.

8.2.2.2.1. Anak sulung Tutik Djoko Marsono adalah Ignatius Ari Aditomo (Ari). Ia menikah dengan Yohana Fransiska de Chantal Wardhani Wirandrati (Dani). Mereka belum dikaruniai anak. Ari yang menamatkan pendidikan tingginya di Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini kini menjalankan usaha agen BRI-Link, dan berju-alan di rumahnya, di Perumahan Griya Muliaasri Cepokosari, Siti-mulyo, Piyungan Bantul.

8.2.2.2.2. Anak kedua Tutik Djoko Marsono adalah Stephania Dyah Utari (Uut). Ia menikah dengan Robertus Rudi Hardianto. Pasutri muda ini mempunyai dua orang anak, yaitu Abigail Gracia Kirana, dan Vincentius David Pratama. Utari memamatkan pendi-dikan tingginya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Utari dan Rudi pernah bekerja di Jakarta (Jabodetabek), mereka sempat tinggal di Pondok Cabe dan di Cisauk, Tangerang. Kini mereka bekerja sebagai karyawan swasta di Yogyakarta, bertempat tinggal di Desa Sidokerto, Kalasan, Sleman.

8.2.2.2.3 Anak ketiga Tutik Djoko Marsono adalah Paulus Raka Adi Yunanto (Raka). Raka ini lahir kembar dengan Ratna. Raka menikah dengan Anggraeni Wulandari. Mereka sekarang mempu-nyai seorang anak, yaitu Avellino Rangganata Wicaksono. Raka setelah menamatkan pendidikan tingginya pernah bekerja di kapal pesiar internasional, dan sekarang berwiraswasta penyucian tas, sepatu, stroller dan sebagainya di Yogyakarta. Kini mereka tinggal di Basen, Kotagede, Yogyakarta.

8.2.2.2.4. Anak keempat Tutik Djoko Marsono adalah Paula Ratna Adi Yuniati (Ratna). Ratna ini lahir kembar dengan Raka. Ratna menikah dengan Ganis Dwi Jatmiko. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Paschal Pramudya Hagia. Setelah menamatkan pendi-dikan tingginya Ratna bekerja sebagai karyawan swasta sebuah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi di Yogyakarta. Keluarga Ratna tinggal di Tundan, Purwomartani, Kalasan, Sleman.

8.2.2.3. Anak ketiga Mbah Subirin adalah Maria Caecilia Endah Panularsih (Endah). Ia menikah dengan Soleman Dapatalu Poety, seorang dokter asal Pulau Sumba, NTT, yang kuliah kedokteran di Universitas Gajah Mada. Pasutri ini mempunyai empat orang anak, yaitu: Magdalena Comalasari Poety (Lia) yang menikah dengan Fransiskus Xaverius Charlie Gustaf Nurak, Theresia Garu-disari Septianty Poety (Antiq) yang menikah dengan Benedictus Dito Farinto, Bonifasius Garuda Satryo Adi Utu Poety (Rio) yang menikah dengan Fransesca Xaveria Cabrini Huning Margaluwih, dan Modestus Garuda Putra Pamungkas Utu Poety (Imung). Endah juga menempuh kuliahnya di UGM. Ia bekerja di Kabupa-ten Grobogan, begitu juga suaminya, bekerja di puskesmas kabu-paten itu. Beberapa tahun terakhir Dokter Soleman kembali ke kampung halamannya, dan di sana ia sempat mendirikan sekolah kesehatan. Kini mereka berdua sudah meninggal dunia. Endah meninggal dunia di Purwodadi, pada usia 55 tahun, setelah sakit beberapa tahun pada 15 Oktober 2016, sedangkan Soleman meninggal dunia pada tanggal 7 Februari 2022 pada usia 65 tahun di Sumba.

8.2.2.3.1. Anak sulung Endah Soleman adalah Magdalena Coma-lasari Poety (Lia). Ia menikah dengan Fransiskus Xaverius Charlie Gustaf Nurak. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Raphael Nathaniel Gallagher Nurak, dan Mikaela Kamadhatu Ruhua Oasis Nurak. Pasutri muda ini sama-sama bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN) di kantor kepolisian Mataram. Kini mereka tinggal di kota Mataram.

8.2.2.3.2. Anak kedua Endah Soleman adalah Theresia Garudisari Septianty Poety (Antiq). Ia menikah dengan Benedictus Dito Farinto (Dito). Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Giacin-ta Gendhis Putri Farinto, dan Gisela Giana Anjani Farinto. Keduanya masih balita. Antiq pernah bekerja di bagian produksi di stasiun televisi Trans TV di Jakarta. Setelah kelahiran anak keduanya, ia fokus mengurusi keluarganya, sedangkan Dito beker-ja di perusahaan multinasional Unilever di bidang marketing, sehingga tugasnya berpindah-pindah. Kini mereka tinggal di Alam Asri Residence, Jalan Arungbinang, Kebumen, Jawa Tengah.

8.2.2.3.3. Anak ketiga Endah Soleman adalah Bonifasius Garuda Satryo Adi Utu Poety (Rio). Ia menikah dengan Fransesca Xaveria Cabrini Huning Margaluwih. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Vincentius Ferrer Kamandaka Garuda Utu Poety, dan Veri-diana Kara Lopika Poety. Karena pekerjaannya di Indofood, Rio sering berpindah-pindah tempat tinggal. Ia penrah di Gorontalo, kemudian Malang, dan terakhir di Medan.

8.2.2.2.4. Anak keempat (bungsu) Endah Soleman adalah Modes-tus Garuda Putra Pamungkas Utu Poety (Imung). Imung sudah dewasa dan belum berkeluarga. Setelah menyelesaikan pendidikan tingginya, ia bekerja di perusahaan media online Detik, di Jakarta.

8.2.2.4. Anak keempat Mbah Subirin adalah RM Indriwiyati (Wiwik). Ia menikah dengan FA Wijayanto. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Gabriel Aditya Pramono (Adi) yang meni-kah dengan Elisabet Aruma Diah Esterina, dan MC Wening Wija-yaningrum (Wening). Setelah menempuh pendidikannya di IKIP (sekarang Universitas) Sanata Dharma Yogyakarta, Wiwik menga-jar sebagai guru sekolah menengah di Cilacap, begitu juga suami-nya, Wowok, mengajar di SMA negeri. Kini mereka tinggal di Pesanggrahan, Kesugihan, Cilacap.

8.2.2.4.1. Anak sulung Wiwik Wijayanto adalah Gabriel Aditya Pamono (Adi). Ia menikah dengan Elisabet Aruma Diah Esterina (Lisa). Mereka mempunyai dua orang anak yaitu G. Chiesa Nir-wasita (Chiesa) dan G. Neyfa Aniceta (Neyfa). Adi adalah seorang anggota Kepolisian RI, yang sekarang bertugas di Cilacap. Mereka tinggal di Jl Rinjani, Cilacap.

8.2.2.4.2. Anak kedua Wiwik Wijayanto adalah MC Wening Wija-yaningrum (Wening). Wening sudah dewasa. Setelah menamatkan pendidikannya di Universitas Sudirman, Puwokerto, sekarang Wening bekerja di perusahaan Gudang Garam, dan tinggal di Karangbendo, Purwokerto, Banyumas.

8.2.2.5. Anak kelima Mbah Subirin adalah Martina Satiti Subekti (Titik). Ia menikah dengan Dominiko Salvio Suherlan (Herlan). Mereka mempunyai tiga orang anak, semua laki-laki, yaitu: Benediktus Suma Atmaja (Beny), Nicolas Aldian Putra (Nico), dan Antonius Yoga Nugraha (Anton). Titik masih aktif sebagai ASN di Dinas Kesehatan DI Yogyakarta, sedangkan suaminya sudah pensiun dari Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja DI Yogyakarta. Beny sekarang bekerja di bidang konsultansi akun-tansi yang kantor cabangnya ada di BSD, Tangerang. Saat ini Beny sedang menangani proyek selama setahun di Brunei Darusalam. Nico juga sudah bekerja di Balai Laboratorium Kese-hatan dan Kalibrasi Yogyakarta, sedangkan Anton sedang menye-lesaikan skripsi di Fakultas Ilmu Komunikasi di UGM.

8.2.2.6. Anak keenam Mbah Subirin adalah Kristina Susilowati br Samosir (Nanik). Ia menikah dengan Ridwan Max Sijabat. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Fransiskus Sijabat (Frans) yang menikah dengan Ester Tambunaj, dan Alice Clara Pulchisima Sijabat (Clara) yang menikah dengan Januar Hutabarat (Janu). Setelah tamat dari IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, Nanik beker-ja di Bank Danamon, di Jakarta, sampai meninggal dunia karena sakit pada tanggal 21 September 2015, pada usia 50 tahun. Sedangkan Ridwan yang sekarang berusia 64 tahun, adalah wartawan surat kabar berbahasa Inggris, The Jakarta Post, sampai pensiun. Selanjutnya Ridwan berkebun kelapa sawit di Pelawan, Riau, Sumatera. Nanik dimakamkan di pema-kaman keluarga di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Setelah menikah dengan Ridwan, Nanik diterima sebagai anggota keluar-ga Tapanuli, Samosir, sehingga dalam adat Batak, Nanik adalah boru Samosir. Keluarga Ridwan tinggal di perumahan Pelita Air Service, di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten.

8.2.2.6.1. Anak sulung Kristina Susilowati Ridwan Sijabat adalah Fransiskus Sijabat (Frans). Ia sudah menikah dengan Ester Tam-bunan. Pasutri muda ini belum dikaruniai anak. Setelah menamat-kan pendidikan hukum di Universitas Atma Jaya Jakarta, Frans menangani usaha perkebunan orangtuanya di Riau. Sekarang kelu-arga Frans tinggal di Segati, Langgam, Pelalawan, Riau.

8.2.2.6.2. Anak kedua Kristina Susilowati Ridwan Sijabat adalah Alice Clara Pulchirsima Sijabat (Clara). Ia menikah dengan Januar Hutabarat (Janu). Setelah menamatkan pendidikan tingginya di Universitas Atma Jaya Jakarta, ia bekerja di BPJS Ketenagaker-jaan di Jakarta. Pasutri Clara-Janu belum punya anak. Mereka tinggal Pondok Gede, Bekasi.

8.2.2.7. Anak ketujuh (bungsu) Mbah Subirin adalah Lusiana Padmasari (Nana). Ia menikah dengan I Nyoman Widiana (Diana) asal Pulau Bali. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Ni Putu Nova yang menikah dengan Irwan Aditya Setiawan, Ni Made Winda yang menikah dengan Valentinus Fembri, dan I Nyoman Ardiana (Ardi). Setelah menenempuh pendidikan tingginya di Undip Semarang, Nana mengajar di SMA Keluarga Gubug, dan kemudian menjadi kepala SMA itu. Sedangkan, suaminya, Diana adalah seorang anggota Kepolisian RI. Ia pernah bertugas di berbagai tempat, antara lain di Gubug, Mataram, Pekalongan, dan Semarang. Ardi sekarang masih kuliah di Semarang. Pasutri Lusiana Padmasari Nyoman Diana tinggal di Bandarsari, Gubug, Grobogan, tempat kediaman orangtuanya, Subirin.

8.2.2.7.1. Anak sulung Lusiana Padmasari Nyoman Widiana ada-lah Ni Putu Nova. Ia menikah dengan Irwan Aditya Setiawan. Pasutri muda ini mempunyai dua orang anak, yaitu Kinan Anggita Lembayung S, dan Kaley Dewangga S. Nova menamatkan pendi-dikan tingginya di Yogyakarta. Sekarang bersama keluarganya tinggal di perumahan Villa Mulawarman, Jabungan, Banyumanik, Semarang.

8.2.2.7.2. Anak kedua Lusiana Padmasdari Nyoman Widiana ada-lah Ni Made Winda. Ia menikah dengan Valentinus Fembri. Mere-ka mempunyai dua orang anak, yaitu: Ignatius Ganesha, dan Dominikus Damar. Setelah menamatkan pendidikan tingginya di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Winda bekerja di perusahaan grup Lippo, di Tangerang. Kini Winda bersama keluarganya tinggal di perumahan Griya Karawaci, Tangerang, Banten.

8.2.3. Anak ketiga Mbah Daliyem Partowirejo adalah Sumilah. Ia menikah dengan Kasnadi, berasal dari Desa Kaliwenang, Kedung-jati, Grobogan. Mereka mempunyai empat orang anak, yaitu Sukarti yang meninggal pada waktu masih kecil, Suharti yang menikah dengan Sutomo, Siti Mulyani yang menikah dengan Idris asal Cirebon, dan Siti Katijah (Ijah) yang menikah dengan Untung asal Tegal. Sumilah adalah satu-satunya anak Mbah Daliyem yang tidak pernah sekolah. Tidak lama setelah keluarganya pindah ke Kaliwenang, ia menikah dengan Kasnadi. Mereka tinggal di Kali-wenang, dan keduanya sudah meninggal dunia, dimakamkan di desa itu juga.

8.2.3.2. Anak kedua Mbah Sumilah Kasnadi adalah Suharti. Ia menikah dengan Sutomo, pemuda sedesanya. Mereka mempunyai lima orang anak, yaitu: Riyanto Agus Nugroho (Agus) yang meni-kah dengan Nurmah, Dwi Susilowati yang menikah dengan Ahmad Fairuz, Ervin Kurniadi yang menikah dengan Santi, Dendi Hardiyanto, dan Anggraeni Novita Sari. Mereka tinggal di Kali-wenang. Suharti sudah meninggal dunia karena sakit.

8.2.3.2.1. Anak sulung Suharti Sutomo adalah Riyanto Agus Nugroho (Agus). Ia menikah dengan Nurmah. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Aida Agis Ramadhani, Agas Haidartsaqip, dan Agsa Saquilano Abizard.

8.2.3.2.2. Anak kedua Suharti Sutomo adalah Dwi Susilowati (Dwi). Ia menikah dengan Ahmad Fairuz. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Cindy Meilisa Putri, Frisco Agniya Fairuz, dan Geraldo Alfarisi Fairuz. Mereka tinggal di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

8.2.3.2.3. Anak ketiga Suharti Sutomo adalah Ervin Kurniadi (Ervin). Ia menikah dengan Santi. Pasutri muda ini mempunyai seorang anak, yaitu Arka Pradita Kurniadi.

8.2.3.3. Anak ketiga Mbah Sumilah Kasnadi adalah Siti Mulyani. Ia menikah dengan Idris yang berasal dari Cirebon. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Ika Nur Sholihah yang menikah dengan Didin Saefudin, dan Silvia Rosarita yang menikah dengan Ferly Resdianto. Mulyani dan Indris berkenalan saat mereka ting-gal di Pancoran, Jakarta. Mulyani sempat menempuh pendidikan SMP dan SPG di Jakarta, kemudian menjadi guru TK di Kali-wenang. Ia meninggal dunia karena sakit ketika anak-anaknya masih usia SD. Kemudian Idris menikah lagi dan mempunyai dua orang anak dan menetap di Kaliwenang. Di desa itu Idris selain berani juga berjualan sembako di rumahnya, dan melayani perba-ikan peralatan elektronik.

8.2.3.3.1. Anak Sulung Siti Mulyani Idris adalah Ika Nur Sholihah (Ika). Ia menikah dengan Didin Saefudin. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Satria Arif Alkhalifi, M. Bintang Abu Bakar, dan M. Zain Abdulah. Mereka tinggal di Ciawi, Bogor.

8.2.3.3.2. Anak kedua Siti Mulyani Idris adalah Silvia Rosarita (Silvi). Ia menikah dengan Ferly Resdiyanto. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Kanza Sabrina Khairunisa, dan M. Rajib Airlangga. Mereka tinggal di Perumahan Grahapura Kemang, Bogor.

8.2.3.4. Anak keempat Mbah Sumilah Kasnadi adalah Siti Katijah (Ijah). Ia menikah dengan Untung. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Tino Nur Alam. Ijah yang tinggal di Bekasi kemudian bercerai dengan Untung pada saat Tino masih kecil. Kemudian ia pulang ke Kaliwenang, dan sempat juga membantu sepupunya Sunari, saat anaknya SD dan SMP di Boyolali. Ijah kembali ke Bekasi, ketika Tino akan melanjutkan ke SMU. Di Bekasi Ia ber-dagang kecil-kecilan sambil bekerja muncuci, seterika, dan men-jaga toko. Kemudian ia menikah dengan Yadi, asal Bekasi. Terakhir pada masa tuanya, ia menetap di Kaliwenang.

8.2.3.4.1. Anak Siti Katijah Untung adalah Tino Nur Alam. Tino sudah dewasa, dan sempat menikah. Kini ia tinggal dan bekerja di perusahaan swasta di Jakarata.

8.2.4. Anak keempat Mbah Daliyem Partowirejo adalah Bruder Paulus Adisumarno. Tahun 1955, ketika keluarganya pindah ke Kaliwenang, ia masih kelas enam sekolah rakyat di Sambi. Ia disuruh mengurus beberapa ekor sapi yang belum dibawa serta pindah ke Kaliwenang. Ia ditemani oleh Mbok Gede Ngalinem (Arjo), kakak kandung Partowirejo. Ia menamatkan SR-nya di Mrisi, tetangga desa Kaliwenang. Selesai dengan SR-nya, Bruder Paulus yang pada waktu itu lebih dikenal dengan nama Sumarno, mengikuti jejak, Subirin, kakaknya, masuk SGB di Ambarawa. Di Ambarawa itulah ia mulai tertarik kepada pola hidup membiara (Katolik). Begitu tamat SGB, ia masuk menjadi anggota bruder-bruder Konggregasi Budi Mulia, yang di Indonesia berpusat di Gunung Sahari, Jakarta. Ia yang pada saat itu berusia sekitar 17 tahun, berangkat ke Jakarta tanpa didampingi oleh oleh seorang pun keluarganya. Bahkan orangtuanya sempat melepas dia dengan selamatan yang disebut “sur tanah mbedah bumi”, karena diang-gap Bruder Paulus tidak akan pernah kembali ke keluarganya. Dalam iman Katolik, memang ada orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan, dengan berkaul untuk hidup selibat (tidak menikah), miskin, dan taat. Mereka disebut biarawan atau biarawati. Para pemimpin Gereja Katolik, yaitu Paus, para uskup, dan para imam juga hidup selibat. Ada biarawan yang sehari-hari kegiatannya hanya berdoa, dan bekerja di lingkungan biaranya sendiri. Ada juga yang bekerja sebagai dokter, dosen, guru, pekerja sosial atau yang lain. Bruder Paulus sempat bertugas di Bogor, Pulau Bangka, Malang, Klepu, Sleman, dan Jakarta sebagai guru sekolah dasar. Ia juga sempat melanjutkan pendidikan tinggi Kateketik di Yogyakarta. Sekalipun ia seorang biarawan, perhatiannya terhadap keluarganya cukup besar, tidak terkecuali keluarga besar Trah Sanrejo. Bruder Paulus termasuk penggagas dibentuknya paguyuban Trah Sanrejo, yang masih hidup. Menurut pengakuannya, usianya sekarang 84 tahun. Dia adalah sesepuh kita yang paling tua, di samping Mas Djumadi. Bruder Paulus yang di tengah keluarganya sering disebut Mbah Bruder ini kesehatannya masih baik, hanya ia menderita penyakit glukoma berat, sebagaimana yang diderita oleh Presiden Gus Dur, sehingga sekarang kemana-mana harus dituntun oleh orang lain. Sekarang ia tinggal di Bruderan Desa Putra, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

8.2.5. Anak kelima Mbah Daliyem Partowirejo adalah Agustinus Widodo (Wid). Ia menikah dengan Chatarina Suharti asal Sumber-lawang, Sragen. Ia mempunyai lima orang anak, yaitu: Agustina Widiyastuti (Tutik) yang menikah dengan Ferdinand Kasmani (Kasman), Lusia Dwi Aryani yang menikah dengan Lis Subarjo, Tri Haryanti yang menikah dengan Syafril, Antonius Uji Cahyono yang menikah dengan Helena Puji Lestari, dan Aloysius Edi Nugroho yang menikah dengan Okvia Puspitasari. Mbah Widodo menamatkan SMP-nya di Gubug, kemudian melanjutkan ke SGA (sekolah guru atas – SPG) Don Bosko, Semarang. Sebelum menja-di guru SD di Gubug, ia sempat membantu keluarga Dwito Riyo-no, kakak kandung Sundari Sugiman, di Tegal dan Semarang. Istrinya, Ch. Suharti, juga seorang guru SD di Gubug. Agustinus Widodo meninggal dunia pada tanggal 6 Oktober 2005, setelah menderita sakit beberapa waktu. Ia dimakamkan di Gubug. Kelu-arga Widodo tinggal di Mbak Ijo, Gubug. Semua anaknya saat ini tinggal di Jakarta dan Cilodong, Depok.

8.2.5.1. Anak sulung Mbah Widodo adalah Agustina Widyastuti (Tutik). Ia menikah dengan Ferdinand Kasmani anak Wagiyem, saudara sepupunya. Mereka mempunyai empat orang anak, yaitu: Rafael Dimas Wijaya (Dimas), Natalia Puspita Dewi (Lia), Patri-cia Amanda Dewi (Manda), Laurencia Kireina Dewi (Ririn). Tutik sempat menempuh pendidikan matematika di Universitas Negeri Jambi. Setelah menikah, ia sempat mengajar privat (les) di Jakarta. Sekarang ia membantu usaha suaminya. Mereka tinggal di Curug, Kalimalang, Jakarta Timur.

8.2.5.2. Anak kedua Mbah Widodo adalah Lusia Dwi Aryani (Dwi). Ia menikah dengan Lis Subarjo dari Jakarta. Mereka mem-punyai seorang anak, yaitu Dionisius Abimanyu Listiawan yang sekarang baru mulai pendidikan tingginya di Universitas Guna-darma, Depok. Dwi menyelesaikan SMP-nya di SMP Keluarga Gubug, kemudian di SMA Sedes Sapienciae Semarang. Pedidikan tingginya ditempuh di Universitas Gajah Mada, Yogya. Beberapa tahun setelah lulus, ia diterima bekerja di Bank BNI, Jakarta, sampai sekarang. Suaminya pernah bekerja di sebuah hotel di Jakarta. Hotelnya kemudian ditutup dan direnovasi. Lis kemudian merintis beberapa usaha di dekat tempat tinggalnya di Cibinong. Keluarga Lis kini menetap di Cilodong, Depok.

8.2.5.3. Anak ketiga Mbah Widodo adalah Tri Haryanti (Tri). Ia menikah dengan Syafril asal Bengkulu. Mereka berkenalan ketika kuliah di Yogyakarta. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu: Aditya Galih Satriawan (Adit), dan Gilang Surya Mahardika (Gilang). Anak sulungnya, Adit, meninggal dunia saat sedang menjalani tur bersama kawan-kawannya di daerah Klaten beberapa tahun lalu. Saat itu Adit masih kuliah. Sedangkan Gilang kini sedang dalam tahun akhir kuliahnya di Universitas Pajajaran, Bandung. Setelah menikah, keluarga Tri pindah ke Cilodong, dan bekerja di Rumah Sakit Sentra Medika Cibinong, Bogor. Sedangkan Syafril bekerja di perusahaan grup Astra di Jakarta. Mereka tinggal di Cilodong, berdekatan dengan Dwi, kakaknya.

8.2.5.4. Anak keempat Mbah Widodo adalah Antonius Uji Cah-yono (Anto). Ia menikah Helena Puji Lestari asal Bantul, Yogya-karta. Anak mereka meninggal dunia pada waktu masih bayi. Anto menamatkan pendidikan tingginya di Semarang. Sekarang pasutri Anto-Puji bekerja di perusahaan kakaknya di bidang konstruk-si, dan tinggal di Curug, Kalimalang, Jakarta Timur.

8.2.5.5. Anak kelima (bungsu) Mbah Widodo adalah Aloysius Edi Nugroho (Edi). Ia menikah dengan Okvia Puspitasari. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Margareta Zelda Nugroho, dan Albertus Dwi Okta Nugroho. Edi bekerja di sebuah perusahaan asuransi di Jakarta. Kini Edi tinggal di Curug, Kalimalang, Jakarta Timur.

8.2.6. Anak keenam Mbah Daliyem Partowirejo adalah Wagiyem. Ia menikah dengan Sarmin pemuda sedesanya, Kaliwenang. Mere-ka mempunyai tiga orang anak, yaitu Ferdinand Kasmani yang menikah dengan Agustina Widiastuti, Patmasari yang menikah dengan Safii (Pii), dan Feri Susanto yang menikah dengan Yuli-anti asal Ngambak, Kedungjati. Mbah Wagiyem hanya sempat mengenyam pendidikan di sekolah rakyat (sekarang SD di Kali-wenang dan Gubug. Sebagai orang desa, pasutri ini bisa menjadi teladan karena kerajinannya (petel). Waktunya tiap hari dihabis-kan untuk bekerja di sawah, ladang, dan mengurusi ternaknya. Sawah dan ladangnya termasuk luas untuk orang sedesanya. Penggarapannya banyak mereka lakukan sendiri. Entah bagaimana caranya menabung, meskipun ia orang desa, bisa membuatkan rumah permanen untuk salah seorang anaknya yang tinggal di Jakarta. Pada masa tuanya Mbah Wagiyem masih cukup sehat. Usianya sekarang sekitar 75 tahun. Mbah Sarmin sudah meninggal dunia pada bulan Oktober 2019, pada usia sekitar 75 tahun setelah sakit beberapa waktu. Keluarga ini tinggal di Kaliwenang.

8.2.6.1. Anak sulung Mbah Wagiyem Sarmin adalah Ferdinand Kasmani. Ia menikah dengan Agustina Widyastuti (Tutik). (Lihat 8.2.5.1). Kasmani menamatkan pendidikan elektronika di STM Fransiskus, Pulo Mas, Jakarta Timur. Ia pernah tinggal bersama pamannya, Ateng Winarno, sejak dari Pancoran sampai ke Duren Sawit. Ia merintis usahanya sendiri, mulai dari menjadi sales kawat nyamuk, dan kaca patri yang populer pada tahun 1990-an. Kemudian ia mulai memborong pembuatan tangga stainless, pintu garasi, membuat lis gipsum, sampai akhirnya bisa memborong perbaikan rumah atau gedung, dan membangun perumahan. Kini Kasman berkerja dengan sekitar 30 tukang bangunan yang ditopang beberapa orang staf pendukung. Proyeknya dalam satu masa tiga sampai tujuh tempat. Ia juga menerapkan teknologi modern untuk pekerjaannya. Antara lain menggunakan kendaraan beko untuk menggali fondasi, septik tank, dan saluran. Dengan demikian ia bisa menyelesaikan proyek-proyeknya dengan cepat dan biaya lebih ekonomis.

8.2.6.2. Anak kedua Mbah Wagiyem Sarmin adalah Patmasari. Ia menikah dengan pemuda tetangga desanya, Safii. Mereka mem-punyai dua orang anak, yaitu M. Jalil dan Ambarwati. Anak-anak mereka sudah dewasa, Ambarwati sedang menyelesaikan kuliah-nya. Padmasari pernah berdagang hasil pertanian di pasar. Sedang-kan Pii, suaminya, adalah seorang pemborong bangunan di Jabo-detabek. Keluarga ini menetap di desanya, di Kaliwenang. Salah satu prestasi menonjol dari pasutri ini adalah mereka mampu membuat rumah yang cukup besar di desanya. Semua terbuat dari kayu jati pilihan.

8.2.6.3. Anak ketiga (bungsu) Mbah Wagiyem Sarmin adalah Feri Susanto. Ia menikah dengan Yulianti (Yuli). Kini mereka belum mempunyai anak. Feri yang tamat dari sekolah teknik menengah (STM) sekarang menjabat sebagai bayan, aparat desa Kaliwenang. Seperti desa-desa lainnya, Kaliwenang dipimpin oleh kepala desa, yang dibantu oleh sekretaris desa (carik), dan bayan. Mereka sela-in mendapat gaji dari negara, juga mendapat sawah bengkok, seba-gai insentif untuk jabatannya. Sawah bengkok itu bisa mereka garap selama menjabat. Sedangkan Yuli menamatkan kuliahnya setelah menikah. Sekarang ia mengajar TK di Kaliwenang. Pasutri ini belum dikaruniai anak.

8.2.7. Anak ketujuh Mbah Daliyem Partowirejo adalah Phillipus Ateng Winarno (Ateng). Ia menikah dengan Yustina Estuningsih (Nining). Pasutri ini mempunyai dua orang anak, yaitu: Gabriel Martin Estuadiwinarno yang menikah dengan Elisabet Retno Dewanti (Lisa), dan Mikael Yuan Estuariwinarno (Yuan) yang menikah dengan Theresia Bhekti Putranti (Bhekti). Setelah mena-matkan SMA-nya di Boyolali, ia masuk Seminari Stella Maris (pendidikan calon pastur) di Bogor. Ia pernah bergabung dengan para biarawan Ordo Fransiskan. Pada masa itu ia kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Fakultas Filsafat dan Teologi IKIP Sanata Dharma, Kentungan. Yogyakarta. Ia tidak melanjutkan cita-citanya untuk menjadi pastur, kemudian bekerja sebagai wartawan Suara Karya di Jakarta, dari tahun 1975 hingga perusa-haan itu tutup pada tahun 2016. Pendidikan formalnya tidak memberikan keterampilan untuk bekerja di kantor. Ia bisa bekerja di Suara Karya dengan bekal kemampuan menggambar. Selanjut-nya ia mengembangkan diri dalam kemampuan menulis, sehingga menjadi wartawan selama 25 tahun. Oleh pimpinannya, kemudian ia ditugasi untuk menangani bisnis perusahaan itu. Karena sebagai pegawai swasta ia tidak akan mendapat pensiun pada masa tuanya, maka sejak muda ia menekuni investasi pada tanah dan rumah, yang kini bisa dijadikan penopang hidup pada masa tuanya. Yustina Estuningsih lahir di Sedayu, Bantul, dan besar di Ban-dung. Setamat SMEA ia bekerja di LBI, sebuah kantor milik Gereja Katolik, kemudian menjadi pegawai pastoran, dan SMP Asisi Tebet, selama beberapa tahun. Selanjutnya ia fokus mengurusi rumah tangga. Setelah 14 tahun tinggal di Pancoran, keluarga ini sejak tahun 1992 menetap di kediamannya di Duren Sawit, Jakarta Timur.

8.2.7.1. Anak sulung Mbah Ateng Winarno adalah Gabriel Martin Estuadiwinarno. Ia menikah dengan Elisabet Retno Dewanti. Ia lahir di Jakarta. Orangtuanya berasal dari Klaten dan Pakem, Sle-man. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Nikolas Aryatama Adiwinarno. Setelah menamatkan pendidikan manajemen di Uni-versitas Atma Jaya, Jakarta, Martin bekerja dalam bidang market-ing di beberapa perusahaan teknologi informasi. Ia juga pernah mendalami teknik fotografi. Kemudian ia keluar dari tempat kerja-nya, dan merintis usahanya sendiri, dalam fotografi dan jasa perumahan. Sedangkan Elisabet adalah seorang dokter lulusan Universitas Atma Jaya Jakarta. Ia sekarang bekerja di sebuah klinik Jepang di Jl Sudirman, dan sebuah perusahaan otomotif di Pulo Mas, Jakarta. Pasutri ini menetap di kediamannya, di Duren Sawit, Jakarta Timur.

8.2.7.2. Anak kedua Mbah Ateng Winarno adalah Mikael Yuan Estuariwinarno (Yuan). Ia menikah dengan Theresia Bhekti Putranti, kelahiran Jakarta. Orangtuanya berasal dari Sleman dan Yogyakarta. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Genoveva Ratih Estuariwinarno. Setelah menamatkan pendidikan teknik fisika di Institut Teknologi Bandung (ITB), Yuan bekerja dalam pengeboran minyak pada perusahaan multinasional Slumberger di Australia selama dua tahun. Kemudian ia berhenti dari perusahaan itu lalu menikah dengan Theresia Bhekti Putranti, lulusan UI yang pada saat itu bekerja di Unilever Singapura. Kemudian saat akan melahirkan anaknya, mereka pulang ke Jakarta, selanjutnya Bhekti kembali bekerja di Unilever Indonesia yang berkantor di Bumi Serpong Damai (BSD) Tangerang, sampai sekarang. Setelah Yuan berhenti bekerja, terjadi PHK besar-besaran dalam perusahaan mi-nyak di seluruh dunia, lantaran harga minyak turun tajam. Pada masa itu Yuan melanjutkan pendidikan S-2 dalam teknologi perminyakan di Norwegia, Eropa. Sejak Desember 2021, Yuan kembali bekerja dalam pengeboran minyak di Norwegia. Keluarga Yuan kini menetap di kediamannya di sebuah kluster Icon, BSD City, Tangerang, tidak jauh dari kantor pusah Unilever.

8.2.8. Anak kedelapan (bungsu) Mbah Daliyem Partowiredo adalah Anastasia Winarno (Nani). Ia menikah dengan Yohanes Kartomo, asal Simo, Boyolali. Mereka mempunyai empat orang anak, yaitu Albertus Andhi Purnomo (Andi) yang menikah dengan Bernadhet Dian Mahargiani (Dian), Agustinus Maryanto Nugroho (Nunung) yang menikah dengan Bernadeta Yeni Astuti (Yeni), Adrianus Dhedhi Kristianto (Dedi) yang menikah dengan Angelia Puspitasari (Tata), dan Fransiska Wahyu Purna Utami (Icha) yang menikah dengan Robert Arif (sudah meninggal dunia). Winarni menamatkan pendidikan SPG di Semarang, kemudian ia mengajar SD di Kuwaron, Gubug. Pada akhir masa tugasnya, ia pun harus menjalani program pemerintah, peningkatan pendidikan S-1 untuk setiap guru SD. Sekarang ia sudah pensiun. Sedangkan Kartomo bekerja sebagai pegawai tata usaha di SMP Keluarga Gubug. Ia juga sudah pensiun. Anak-anaknya sekarang bekerja di berbagai tempat. Kartomo seorang yang rajin. Selain bekerja kantoran, ia juga bersawah dan memelihara sapi. Belakangan, ia juga bertu-kang untuk mengerjakan rumahnya sendiri.

8.2.8.1. Anak sulung Mbah Winarni Kartomo adalah Albertus Andhi Purnomo (Andi). Ia menikah dengan Bernadhet Dian Mahargiani (Dian) asal Semarang. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Denelson Kristian Sky, dan Nicolas Maxilion Joy Arkananta. Mereka tinggal di Semarang. Andi yang kuliah dalam teknik kelistrikan ini juga tertarik dalam pembuatan desain dan seni kreatif. Sekarang ia bergabung dengan sepupunya bekerja dalam usaha Kasmani di Jakarta.

8.2.8.2. Anak kedua Mbah Winarni Kartomo adalah Agustinus Maryanto Nugroho (Nunung). Ia menikah dengan Bernadeta Yeni Astuti (Yeni) asal Turi, Sleman. Pasutri ini mempunyai seorang anak, yaitu Jovan Aprilianto. Mereka tinggal di Turi, dan Yeni bekerja di sebuah perusahaan di Yogya, sedangkan Nunung ikut bekerja bersama Kasmani di Jakarta.

8.2.8.3. Anak ketiga Mbah Winarni Kartomo adalah Adrianus Dhedhi Kristianto (Dedi). Ia menikah dengan Angelia Puspitasari (Tata). Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Kresensia Aruna Maesa Dipta, dan Bertelia Micha Kamaniya. Mereka tinggal di Gubug. Dhedhi beberapa tahun terakhir bekerja di restoran inter-nasional di Timur Tengah, antara lain di Bahrain dan Arab Saudi.

8.2.8.4. Anak keempat (bungsu) Mbah Winarni Kartomo adalah Fransiska Wahyu Purna Utami (Icha). Setelah menamatkan pendidikannya di Universitas Negeri Semarang. Sekarang Icha mengajar di sebuah SMA di daerah perbatasan di Provinsi Kali-mantan Utara. Ia menikah dengan Robert Arif asal Pekalongan. Suami Icha ini bekerja di Bank Sinarmas dan tinggal di Peka-longan. Robert meninggal dunia di Pekalongan karena sakit pada 6 November 2020.

8.3. Anak ketiga Mbah Sanrejo muda adalah Pawiro Tugimin. Ia menikah dengan Tukinem. Mereka mempunyai tujuh orang anak, yaitu: Rubiyem yang menikah dengan Rejo Semito, Rubinem yang menikat dangan Karjo Semito, Maria Genoveva Sri Suwarni yang menikah dengan P Sunaryo, Siyamti yang menikah dengan Trisno Suwito, Sarmi yang menikah dengan Sutarjo Kirdi, dan VG Sardi yang menikah dengan Christina, dan Mardi Siswoyo yang meni-kah dengan Suparni. Selain bertani, Pawiro mempunai keteram-pilan bertukang. Ia menempati rumah peninggalan orangtuanya, Mbah Sanrejo muda di Karangpilang. Keturunannya sekarang tersebar di berbagai tempat di Sumatera, dan Jawa.

8.3.1. Anak sulung Mbah Pawiro adalah Rubiyem. Ia menikah dengan Rejo Semito, dan menetap di Dusun Ngringinuwok, di timur Karangpilang. Mereka mempunyai enam orang anak, yaitu: Sutiyem yang menikah dengan Sutadi, Paino yang menikah dengan Sri Marwanti, Suparmi (Parmi) yang menikah dengan Raswan (alm), Ngatini yang menikah dengan Sarmin, Wakiyem yang menikah dengan Junawan, dan Suyati yang menikah dengan Semin.

8.3.1.1. Anak sulung Mbah Rubiyem Rejo Semito adalah Sutiyem. Ia menikah dengan Sutadi. Mereka mempunyai lima orang anak, yaitu: Sugiyanti yang menikah dengan Ahmad Addeni, Sugiatun (Atun) yang menikah dengan Sulistiyono, Tri Supasmi yang meni-kah dengan Musa, Yulianti yang menikah dengan Noviyanto, dan Suyanto Pramono yang menikah dengan Yayuk.

8.3.1.1.1. Anak sulung Sutiyem Sutadi adalah Sugianti. Ia meni-kah dengan Ahmad Addeni. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Ridwan, Adli, dan Agha. Pasutri muda ini tinggal tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

8.3.1.1.2. Anak kedua Sutiyem Sutadi adalah Sugiatun. Ia meni-kah dengan Sulistiyono. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Rasyid dan Adnan. Mereka tinggal di Karangsari, Ampel, Boyolali.

8.3.1.1.3. Anak ketiga Sutiyem Sutadi adalah Tri Supasmi. Ia menikah dengan Musa. Mereka belum mempunyai anak, dan tinggal di Griya Indah, Parung, Kabupaten Bogor.

8.3.1.1.4. Anak keempat Sutiyem Sutadi adalah Yuli. Ia menikah dengan Noviyanto. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Arfan. Pasutri ini tinggal di Karangsari, Ampel, Boyolali.

8.3.1.1.5. Anak kelima (bungsu) Sutiyem Sutadi adalah Suyanto. Ia menikah dengan Yayuk. Mereka belum mempunyai anak, dan tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.

8.3.1.2. Anak kedua Mbah Rubiyem Rejo Semito adalah Paino. Ia menikah dengan Sri Marwanti asal Brebes. Mereka mempunyai lima orang anak, yaitu: Arifiangga Nugraha Pratama (Angga) yang menikah dengan Susila Muhardini, M. Prasetyaningrum (Arin), Siti Azizah Safira (Fira), Sadham Ageng Krisnandi (Sadham), dan Pradipta Astagina Palupi (Palupi). Paino pernah tinggal bersama bibinya, MG Sri Suwarni di Brebes waktu SMEA (sekarang SMK). Setamat SMEA ia diterima bekerja di perusahaan keramik sanitair Toto di Tangerang, dan sempat dikirim untuk kursus di Jepang. Di perusahaan itu ia bekerja sampai pensiun sambil kuliah di Universitas Terbuka. Setelah pensiun, ia sempat mengemudi mobil online. Keluarga Paino lama tinggal di Binong, Tangerang. Sekarang pasutri Paino pulang kampung, tinggal di Jambon, dekat Karangpilang.

8.3.1.2.1. Anak sulung Paino adalah Arifiangga Nugraha Pratama (Angga). Ia menikah dengan Susila Muhardini. Pasuri muda ini mempunyai seorang anak, yaitu Kausar Arsyarendra P. Mereka tinggal di Binong, Tangerang.

8.3.1.3. Anak ketiga Mbah Rubiyem Rejo Semito adalah Supar-mi. Ia menikah dengan Raswan yang sudah meninggal cukup lama. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Dini Yasiarmi yang menikah dengan Erwin A, dan Diah Safitri (Fitri) yang meni-kah dengan Adi Purnomo. Keluarga Parmi tinggal di Cilangkap, Tapos, Depok, Jawa Barat.

8.3.1.3.1. Anak sulung Parmi Raswan adalah Dini Yasiarmi. Ia menikah dengan Erwin A. Pasutri muda ini belum mempunyai anak. Dini berkerja di Rumah Sakit Sentra Medika Cibinong, dan mereka juga tinggal di Cilangkap.

8.3.1.3.2. Anak kedua Parmi Raswan adalah Diah Safitri (Fitri) yang menikah dengan Adi Purnomo. Pasutri muda ini mempunyai seorang anak, yaitu Muhamad Bobby Atariq. Mereka juga tinggal di Cilangkap.

8.3.1.4. Anak keempat Mbah Rubiyem Rejo Semito adalah Nga-tini. Ia menikah dengan Sarmin yang sudah meninggal dunia. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Mirantini Titis Utami, dan Dwi Mulyani Reinaningsih. Keluarga Ngatini tinggal di Karangsari, Ampel, Boyolali.

8.3.1.5. Anak kelima Mbah Rubiyem Rejo Semito adalah Waki-yem. Ia menikah dengan Junawan. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Tirto Guranto yang menikah dengan Lani Anggraeni Budianitami, dan Fitra Rahmadani. Junawan bekerja di Lippo Karawaci, Tangerang. Mereka tinggal di Griya Serpong Asri, Suradita, Cisauk, dekat BSD, Kabupaten Tangerang.

8.3.1.5.1. Anak sulung Wakiyem Junawan adalah Tirto Guranto. Ia menikah dengan Lani Anggraeni Budianitami. Mereka mem-punyai seorang anak, yaitu Rubi Dikara Guranto.

8.3.1.6. Anak keenam (bungsu) Mbah Rubiyem Rejo Semito ada-lah Suyati. Ia menikah dengan Semin (saudara misan – embahnya kakak beradik - lihat nomor 8.1.1.2.) Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Eka Listyaningrum yang menikah dengan Irfan Ditia, dan Ilham Khoirul Anwar. Semin bekerja di perusahaan kompo-nen otomotif di Cibitung. Mereka tinggal di Jl. Uranus, Taman Wanasari, Bekasi.

8.3.2. Anak kedua Mbah Pawiro Tugimin adalah Rubinem. Ia menikah dengan Karjo Semito orang sedesanya, yang pada masa mudanya bernama Parman. Mereka mempunyai lima orang anak, yaitu: Sariyem yang menikah dengan Daliman Saimo, Ngadinem yang menikah dengan Ngateman, Lasmi yang menikah dengan Hartomo, Panikem yang menikah dengan Ngateman (alm), dan Sarwoko yang menikah dengan Nok Lilik. Mereka tinggal di Dusun Karangpilang, Desa Jagoan, Sambi.

8.3.2.1. Anak sulung Mbah Rubinem Karjo Semito adalah Sari-yem. Ia menikah dengan Daliman Saimo. Keduanya sudah meninggal dunia tanpa meninggalkan anak.

8.3.2.2. Anak kedua Mbah Rubinem Karjo Semito adalah Ngadi-nem. Ia menikah dengan Ngateman. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Suyanto yang menikah dengan Sunarti, Zuria Lestari, dan Mita Yuliani. Mereka tinggal di Karangpilang.

8.3.2.2.1. Anak sulung Ngadinem Ngateman adalah Suyanto. Ia menikah dengan Sunarti. Mereka mempunyai seorang anak, yaitu Alvin. Pasutri muda ini tinggal di Karangpilang.

8.3.2.3. Anak ketiga Mbah Rubinem Karjo Semito adalah Lasmi. Ia menikah dengan Hartono. Mereka belum mempunyai anak. Pasangan suami istri ini tinggal di Karangpilang.

8.3.2.4. Anak keempat Mbah Rubinem Karjo Semito adalah Pani-kem (Pani). Ia menikah dengan Ngateman. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Arif Rahman Hakim, Nur Dina Fitriana, dan Dhamar Nova Darmawan. Ngateman meninggal dunia karena pandemi Covid 19, pada tanggal 27 Juli 2021, di sebuah rumah sakit di Cibinong. Jenazahnya dimakamkan di Karangpilang. Ia pernah bekerja sebagai petugas keamanan di beberapa tempat di Bogor, dan terakhir di rumah sakit tempat dia bekerja. Keluarga Ngateman yang tinggal di Cibinong, Bogor, memang berencana pindah ke Karangpilang. Istrinya mendahului pindah ke kampung-nya. Kini Panikem menetap di Karangpilang dan sudah menikah lagi dengan Tukimin. Arif dan Dina masih tinggal di Cibinong.

8.3.2.5. Anak kelima (bungsu) Mbah Rubinem Karjo Semita ada-lah Sarwoko. Ia menikah dengan Nok Lilik. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Mohamad Rizki, Ananda Dwi Maulana, dan Putri Diantana. Sarwoko bekerja di sebuah perusahaan di Cibitung. Kelurga Sarwoko tinggal di Cibitung, Kabupaten Bekasi.

8.3.3. Anak ketiga Mbah Pawiro Tugimin adalah Maria Genoveva Sri Suwarni. Ia menikah dengan P Sunaryo, seorang guru dari daerah Gubug. Ia mempunyai tiga orang anak, yaitu Agustinus Susanto yang menikah dengan Ita, Antonius Widicahyadi (Anton), dan Sesilia Widyastuti (Sesil). Anton dan Sesil sempat menyele-saikan pendidikan tingginya di Semarang dan Yogyakarta. Mereka sempat bekerja beberapa tahun, kemudian sakit selama beberapa waktu, dan meninggal dunia. Sri Suwarni menempuh pendidikan kebidanan di Semarang, kemudian bertugas di Pacitan, dan selan-jutnya bekerja di rumah sakit di Brebes, sampai pensiun. Sunaryo mengawali kariernya sebagai guru SD, kemudian menjadi guru SPG, dan akhirnya menjadi dosen di Universitas Terbuka. Pada saat menjadi dosen, ia sempat dikirim tugas belajar di Kanada, dua kali, selama beberapa tahun. Sri Suwarni meninggal dunia setelah menderita sakit bebe-rapa waktu, pada tanggal 18 Oktober 2017, pada usia lebih dari 70 tahun. Beberapa bulan sesudahnya, suaminya, Sunarnyo mening-gal dunia pada tanggal 6 Maret 2018.

8.3.3.1. Anak sulung Mbah Sri Suwarni Sunaryo adalah Agustinus Susanto. Ia menikah dengan Ita, asal Palembang pada tahun 2005. Pasutri ini mempunyai tiga orang anak, yaitu: Daniel Ganien, Emerensia Dwisari, dan Marcellus Stenuari. Setelah menamatkan pendidikan arsitektur di Universitas Sugiyapranata Semarang, Agus menjadi dosen di sebuah sekolah tinggi di Palembang. Di sana ia berjumpa dengan istrinya dan tinggal di Palembang sampai mempunyai dua orang anak. Pada saat ibunya menderita sakit, Agus yang bersama keluarganya pindah ke Brebes, ke rumah orangtuanya. Agus sempat menjalankan beberapa usaha, antara lain pembinaan mental dan kepribadian melalui kegiatan outbond. Istrinya, Ita, pada saat di Palembang adalah manajer HRD, sebuah perusahaan retail. Sekarang Agus sedang merintis usahanya di Brebes, sedangkan istrinya menjalankan usaha pekmpek.

8.3.4. Anak keempat Mbah Pawiro Tugimin adalah Siyamti (Siyam). Ia menikah dengan Trisno Suwito ketika mereka tinggal di Semarang. Pasutri Trisno dan Siyam mempunyai tiga orang anak, yaitu: Heri Trisiyono yang menikah dengan Surani, Anton Afrianto yang menikah dengan Nalmiziah, dan Yuli Triwahyuni yang menikah dengan Gunawan. Siyam sudah lama meninggal dunia. Suaminya, Trisno Suwito yang sudah sepuh sekarang tinggal bersama anak sulungnya di Puwokerto.

8.3.4.1. Anak sulung Mbah Siyam Trisno Suwito adalah Heri Trisiyono. Ia menikah dengan Surani. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Nasywa Anindya Kirani dan Muhamad Fajrul Falah. Kedua anak itu pada saat ini usia SD, menjelang remaja. Keluarga Heri tinggal di Purwokerto.

8.3.4.2. Anak kedua Mbah Siyam Trisno Suwito adalah Anton Afrianto. Anton menikah dengan Nalmiziah. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Aleyda Okfitria Y dan Abid Setya C. Kelu-arga Anton ini pernah tinggal di Cilangkap, Tapos, Depok dekat Parmi anak Rubiyem. Namun sekarang mereka tinggal di Puwokerto.

8.3.4.3. Anak ketiga (bungsu) Mbah Siyamti Trisno Suwito adalah Yuli Triwahyuni. Ia menikah dengan Gunawan. Mereka mem-punyai tiga orang anak, yaitu: Salsabila Maharani G, Najwa Zaskia G, dan Arsya Abdurrohman G. Keluarga Yuli ini juga tinggal di Purwokerto.

8.3.5. Anak kelima Mbah Pawiro Tugimin adalah Sarmi. Ia meni-kah dengan Sutarjo Kirdi, orang sedesanya. Mereka mempunyai lima orang anak, yaitu: Sardi yang menikah dengan Sri Wahyuni, Giman yang menikah dengan Sri Winarni, Sri Sujiati yang meni-kah dengan Slamet, Winarti yang menikah dengan Agus, dan Suparman yang menikah dengan Yanti. Keluarga Sarmi Sutarjo tinggal di Karangpilang. Sarmi sudah meninggal dunia.

8.3.5.1. Anak sulung Mbah Sarmi Sutarjo Kirdi adalah Sardi. Ia menikah dengan Sri Wahyuni. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Ikadevi Listyawati dan M. Rasya Khoimas Akbar. Keluarga ini tinggal di Semarang.

8.3.5.2. Anak kedua Mbah Sarmi Sutarjo Kirdi adalah Giman. Ia menikah dengan Sri Winarni. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Rafi, Barra, dan Syakira. Keluarga Giman sekarang tinggal di Tangerang.

8.3.5.3. Anak ketiga Mbah Sarmi Sutarjo Kirdi adalah Sri Sujiati. Ia menikah dengan Slamet. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Dani (sudah meninggal dunia), Reno, dan Rizam. Mereka tinggal di Karangpilang.

8.3.5.4. Anak keempat Mbah Sarmi Sutarjo Kirdi adalah Winarti. Ia menikah dengan Agus. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Nabil, Salsabila, dan Jaya. Mereka tinggal di Semarang.

8.3.5.5. Anak kelima (bungsu) Mbah Sarmi Sutarjo Kirdi adalah Parman. Ia menikah dengan Yanti. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Silla dan Adit. Parman bekerja di Pulau Lombok, dan mereka tinggal di sana.

8.3.6. Anak keenam Mbah Pawiro Tugimin adalah Valerianus Gratus Sardi (Sardi). Ia menikah dengan Christina Fransiska Surti-nah (Kristin). Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: Maria Bukit Shintawati yang menikah dengan Pahala Sigalingging, Martinus Toncey Bukit Bulana yang menikah dengan Theresia Anik, dan Marta Vesse Bukit Triyandhini. Pada awal rumah tangganya, pasutri Sardi dan Kristin pernah tinggal di Kranji, Bekasi. Kemudian mereka pindah ke Sumatera, dan sekarang tinggal di perumahan BTN Sage, Kecamatan Manggul, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, bersama anak bungsunya.

8.3.6.1. Anak sulung Mbah VG Sardi adalah Maria Bukit Shinta-wati. Ia menikah dengan Pahala Sigalingging. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu Dahlia Apriliany Sigalingging, dan Aldercy Meilania Sigalingging. Kedua anak ini sekarang masih usia SD. Maria sekarang adalah seorang guru sekolah luar biasa (SLB), sedangkan suaminya, Pahala, adalah seorang anggota Kepolisian RI. Mereka tinggal di Jalan Dame, Kelurahan Amplas, Kecamatan Timbang Langkat, Sumatera Utara.

8.3.6.2. Anak kedua Mbah VG Sardi adalah Martinus Toncey Bukit Bulana. Ia menikah dengan Theresia Anik. Mereka mempu-nyai seorang anak, yaitu Elisabeth Quinza yang kini berusia 6 tahun. Martinus adalah seorang guru di Yayasan Tarakanita Lahat, sedangkan Theresia Anik berwiraswasta. Pasutri ini tinggal di perumahan Talang Bengkurat, Lahat, Sumatera Selatan.

8.3.7. Anak ketujuh (bungsu) Mbah Pawiro Tugimin Mardi Siswoyo. Ia menikah dengan Suparni. Mereka mempunyai empat orang anak, yaitu: Iswatun yang menikah dengan Satawi, Isti Nurhasanah yang menikah dengan Muhamad Jamhuri, Tri Sulis-tiani yang menikah dengan Sony Armayudha, dan Dina Purnama-sari. Mbah Mardi dan istrinya sekarang tinggal di Kwamang Kuning, Kabupaten Bungo, Jambi. Dina anak bungsunya masih kuliah di UNS Sebelas Maret, di Solo.

8.3.7.1. Anak sulung Mbah Mardi Siswoyo adalah Iswatun. Ia menikah dengan Satawi. Mereka mempunyai tiga orang anak, yaitu: M Faturohman, Ahmad Fatuabdi, dan M. Adefa. Keluarga Iswatun tinggal di Batanghari, Jambi.

8.3.7.2. Anak kedua Mbah Mardi Siswoyo adalah Isti Nurhasanah. Ia menikah dengan Muhamad Jamhuri. Mereka mempunyai dua orang anak, yaitu: Jamratul Hafizah, dan Alesa Dafiratul Nisa. Isti Nurhasanah bekerja sebagai perawat. Bersama keluarganya, ia tinggal di Kecamatan Pelepat Ilir, Kabupaten Bungo, Jambi.

8.3.7.3. Anak ketiga Mbah Mardi Siswoyo adalah Tri Sulistiani. Ia menikah dengan Sony Armayudha. Mereka mempunya seorang anak, yaitu Fahima Alwa. Tri Sulistiani adalah seorang bidan, sedangkan suaminya, Sony, adalah seorang dosen di Universitas Bungo, Jambi. ***