Berita Aktual

Minggu, 28 Maret 2010

Mengenal Mbah Sanrejo

Saya pernah bertanya ke beberapa orang mengenai keluarganya. Mereka dengan mudah menjawab pertanyaan mengenai siapa ayah dan ibunya. Begitu juga ketika ditanyakan siapa saja nama-nama saudara kandungnya. Nama anak-anaknya pun diingat dengan baik. Tetapi ketika ditanyakan dama kakek dan neneknya ada yang menjawab dengan fasih, ada juga yang mengatakan: "Saya tahu betul kakek dan nenek saya, tetapi saya tidak tahu namanya, karena biasanya kami memanggilnya Mbah Kung untuk kakek dan Mbah Tri untuk nenek."

Karena kakek dan nenek biasanya ada empat orang (dari pihak ayah dan ibu), penyebutan nama kakek, mbah atau eyang, atau aki sering dikaitkan dengan domisili si embah. Ibu saya sering disebut sebut oleh kemenakan-kemenakan saya sebagai Mbah Kalinang, bukan Mbah Parto, sedangkan embah yang lain disebut dengan Mbah Kudus. Penyebutan seperti ini memang tidak mengacaukan komunikasi dalam keluarga. Tetapi untuk urusan keluarga besar, penyebutan seperti itu bisa menimbulkan bias. Sebab yang disebut misalnya Mbah Kalinang itu ada beberapa orang, karena keluarga lain juga menyebut embahnya dengan sebutan Mbah Kalinang.

Sejak saya kecil sudah diberitahukan oleh ibu saya tentang nama-nama kakek nenek saya, yaitu Mbah Saman yang juga bernama Mbah Sanrejo, Mbah Pupon, istrinya Mbah Saman, dan Mbah Mat Nawi. Terus terang, saya juga tidak tahu nama Mbah Mat Nawi putri. Mbah Mat Nawi sudah meninggal dunia lama sebelum saya lahir. Merupakan suatu yang berharga, apabila kita memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai para orang tua kita. Apalagi kalau kita bisa meneladani kebijaksanaanya, semangat dan langkah-langkah dalam kehidupannya yang patut diteladani.

Oleh sebab itulah beberapa waktu yang lalu bersama dengan kakak saya Bruder Paulus mencoba menelusuri riwayat nenek moyang kita, lebih jauh dari yang selama ini sudah kami ketahui. Dalam penelusuran ini, beruntunglah kita karena masih ada sumber-sumber yang masih hidup, walaupun saat itu sudah sepuh. Karena itulah kami setelah melayat Mas Agustinus Widodo yang meninggal dunia pada tanggal 6 Oktober 2005, esok harinya kami: Bruder Paulus, Ateng Winarno, Cipto Ruswanto, Kasmani, Mbak Sundari, Dwi Sunarmi, Rusno, dan Aris berkunjung pergi ke Karangpilang, dan Ngalangalangan. Di sana kami mengunjungi Kang Arjosamino, yang sudah berusia 79 tahun, Kang Djumadi yang sudah berusia sekitar 65 tahun di Karangpilang. Di Ngalangalangan kami menjumpai Dik Suyati yang berusia lebih dari 70 tahun berserta suaminya (Carik) dan singgah di rumah Menil, di Bangak. Tempat-tempat itu berada di Kecamatan Sambi dan sekitarnya, di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.

Dari penuturan Kang Arjosamino kita memperoleh informasi berharga, bahwa ayah Mbah Saman atau Mbah Sanrejo yang sebelum ini kami kenal juga bernama Sanrejo. Sanrejo adalah nama panggilan sehari-hari. Nama lengkapnya adalah Kasan Rejo. Untuk selanjutnya dalam tulisan ini kita sebut dengan Mbah Sanrejo tua. Kejadian bahwa Tentang nama anak sama dengan nama ayahnya dalam tradisi Jawa disebut nunggak semi. Saya menduga Mbah Saman mengambil nama tua Sanrejo untuk mengenang ayahnya. Mbah Saman adalah anak bungsu. Semua kakak lelakinya meninggalkan kampung halaman, pergi ke Banyuwangi. Dialah satu-satunya anak laki-laki, sehingga ketika ia menikah dengan Mbah Pupon ia mengambil nama Sanrejo juga.

Kang Arjosamino adalah cucu tertua dari Mbah Sanrejo muda. Arjosamino termasuk pendahulu kita dalam merintis pendidikan formal. Pada waktu ia kecil, sepupunya, Sugiman anak Partowirejo dan Daliyem disuruh sekolah. Oleh Sugiman, Arjosamino diajak serta bersekolah agar ia punya teman bersekolah. Pada waktu itu usianya sedikit lebih tua daripada Sugiman. Tetapi soal usia itu tidak menjadi masalah pada waktu itu, sebab merekalah generasi pertama orang-orang desa yang digerakkan untuk bersekolah. Bahkan ada orang yang sudah menikah pun tidak malu-malu masuk sekolah tingkat dasar. Jadi Arjosamino adalah termasuk generasi pertama orangtua kita yang mulai tahu baca-tulis. Pada masa kecilnya ia juga pernah ikut kakeknya, Mbah Sanrejo muda.

Mbah Bodong

Dari kedekatannya dengan Mbah Sanrejo itulah ia diberitahu bahwa ayah Mbah Sanrejo muda juga bernama Sanrejo. Kakek moyang generasi pertama kita ini juga berasal dari Karangpilang. Pada masa kecilnya setiap bulan Ruwah, ia juga sering diajak mengunjungi makam Mbah Sanredjo tua. Mbah Sanrejo tua ini diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-19, mengingat Mbah Sanrejo muda hidup sampai usia 90-an tahun pada tahun 1970-an. Diperkirakan Mbah Sanrejo muda lahir sekitar tahun 1870-an. Mbah Sanrejo muda adalah anak ke delapan. Ia adalah anak bungsu. Pada saat punya anak Mbah Sanrejo muda, diperkirakan Mbah Sanrejo tua berusia 40-an. Oleh karena itu diperkirakan Mbah Sanrejo tua lahir sekitar tahun 1840-an. Ketika masih muda Mbah Sanrejo bernama Bodong. Oleh karena itu ia juga biasa disebut dengan nama Mbah Bodong. Nama ini pun saya kira nama panggilan yang kemudian lekat sebagai namanya sehari-hari.

Selain itu, dari surat yang pernah kakak saya, P. Subirin, kirimkan kepada semua sanak saudara pada tanggal 3 Januari 1992, ketika kami akan membangun makam Mbah Sanrejo muda dan Mbah Pupon (istrinya) sekaligus memperbaiki sejumlah kijing, cungkup dan makam pada tanggal 7 Februari 1993, kita mendapat sejumlah informasi berharga mengenai leluhur kita. Dari surat ini kami mengetahui juga nama-nama anak Mbah Sanrejo yaitu: Mbah Rosid, Mbah Rawis, dan Mbah Matngiso ketiganya di Banyuwangi, Mbah Joyo dan Mbah Seco di Karangpilang, Mbah Senok di P.Lumbon, Mbah Semi di Imogiri, dan Mbah Saman di Karangpilang. Mbah Rosid, Rawis, Matngiso, dan Mbah Saman adalah anak laki-laki Mbah Sanrejo.

Mbah Sanrejo tua adalah kakek tertua kita masih dapat kita telusuri riwayatnya. Dengan lantaran Mbah Sanrejo tua kita sama-sama dilahirkan ke dunia melalui orangtua kita masing-masing. Ia adalah leluhur kita yang nama dan makamnya masih dapat kita ketahui. Tingkatannya masih sangat dekat dengan kita (baru tingkat ke-5 atau ke-6). Karena keberadaan Mbah Sanrejo tua itulah kita yang tinggal tersebar di berbagai tempat ini saling bersaudara, kita punya hubungan darah. Karena itu pula kita merasa dekat satu dengan yang lain. Kita saling membantu, saling menguatkan, dan bekerja sama. Kerja sama itu juga yang membuat persaudaraan kita menjadi semakin erat.

Untuk mempererat dan memperkuat kesatuan keluarga besar Sanrejo tersebut kita memindahkan dan membangun batu nisan makam Mbah Sanrejo tua. Makam yang sudah tua itu semula berada di makam Desa Mangunan, sebelah utara Desa Karangpilang. Mbah Sanrejo tua dimakamkan di Mangunan karena ketika ia wafat sarean Desa Karangpilang belum ada. Untuk mencapai makam itu kita harus turun naik tebing kali Mangunan. Padahal para buyut pada saat itu umumnya sudah sepuh. Medan yang harus dilalui berat kalau mereka hendak berziarah.

Agar makam itu lebih terawat dan mudah dijangkau oleh para keturunannya, maka makam itu dipindahkan ke makam di Desa Karangpilang. Dengan berada di Karangpilang, kita akan lebih mudah merawatnya. Selain mudah dijangkau, makam Mbah Sanrejo tua kini berada dekat dengan makam para kakek dan nenek kita yang antara lain Mbah Joyo, Mbah Sanrejo muda, Mbah Kasan, Mbah Samiyem, Mbah Pawiro, Mbah Matnawi (kakek Pak Sugi, Pak Birin dan adik-adiknya).

Menurut Kang Jumadi, Makam Mangunan dikeramatkan orang. Di pemakaman itu ada sebuah makam Sentono. Di selatan atau utara makam itu sering muncul gumuk, atau bukit kecil. Ceritanya, apabila bukit itu muncul di selatan makam, maka desa di selatan makam itu akan makmur, yaitu memperoleh panen melimpah. Sebaliknya bila gumuk itu muncul di sebelah utara makam maka yang akan menikmati panen yang baik adalah desa di sebelah utaranya. Tentang makam Sentono itu kabarnya bukan makam orang. Yang di makamkan di sana adalah baju salah seorang abdi kerajaan. Makam itu sendiri kabarnya sudah tidak terawat lagi.

Pertemuan Keluarga

Kita para keturunan Mbah Sanrejo tua bersyukur karena masih mengenali makam kakek kita ini. Kakek ini inilah yang mengikat persaudaraan dan kekerabatan kita yang pada saat ini tersebar di berbagai tempat. Kita tahu tahu saudara-saudara yang tersebar di berbagai tempat ini saudara yang memiliki pertalian darah. Namun bagaimana pertalian itu terjadi? Semua itu dapat kita jawab kalau kita merunut ke atas, mulai dari siapa orang tua kita, siapa kakek dan nenek kita, siapa kakek dan nenek buyut kita, dan siapa kakek dan nenek canggah kita dan seterusnya, dan akan sampai ke kakek Sanrejo.

Pemindahan makam tersebut dilaksanakan oleh Pak Djumadi, Pak Arjosamino bersama-sama saudara-saudara lain di Karangpilang serta Pak Rusno beserta keluarga dari Boyolali yang diminta untuk mewakili keluarga yang ada di perantauan. Pemindahannya berlangsung pada hari Kamis Legi, tanggal 30 Maret 2006, bertepatan dengan hari libur Nyepi. Pada saat ini makam Mbah Sanrejo tua berada di sebelah kanan (timur) jalan masuk menuju makam ndoro-ndoro di Desa Karangpilang, dekat makam Mbah Matnawi. Pembangunan batu nisan pun sudah dilaksanakan pada bulan Agustus 2007.

Pada tanggal 1 Desember 2007, pertemuan keluarga besar Trah Sanrejo diselenggarakan di Desa Karangpilang. Selain mengadakan perkenalan antar keluarga, pada saat itu juga dilakukan ziarah ke makam Mbah Sanrejo. Pertemuan diselenggarakan di rumah Pak Senu, anak Pak Arjosamino. Sekalipun rumah itu cukup besar pengunjung tidk dapat tertampung di dalam rumah. Terpaksa sebagian menumpang di beranda rumah-rumah tetangga sekitar, bahkan ada juga yang ngampar di jalanan.

Ratusan orang datang ke acara ini. Saudara-saudara dari Imogiri datang dengan menumpang 6 bus ukuran sedang. Dari Jakarta juga datang dengan satu bus. Ada lagi yang datang dari Brebes, Gubug, Boyolali, dan juga dari Karangpilang. Ramai, meriah dan semarak meskipun acara pertemuan itu berlangsung dengan sederhana. Semua yang hadir di sana bersaudara. Pertemuan itu sangat mengesan. Kita bertekad akan mengadakan pertemuan lagi secara berkala 3 - 5 tahun sekali. Bersamaan dengan itu selain melalui pertemuan-pertemuan berkala dalam lingkup yang lebih kecil, melalui komunikasi dunia maya ini kita jalin terus komunikasi untuk meningkatkan keakraban dan kesatuan kekeluargaan kita. -- Jakarta, 28 Maret 2010. Salam - Ateng Winarno.

Sabtu, 27 Maret 2010

Kampung Leluhur

Karangpilang adalah dusun kecil di Kelurahan Jagoan, Kecamatan Sambi. Sambi terletak di Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Boyolali menyerupai huruf J, atau L terbalik. Kecamantan Sambi terletak di tekukan bawah huruf "J" tersebut. Kota Boyolali terletak di sebelah barat Sambi. Sejumlah kecamatan lain terletak di sebelah utara Sambi. Di ujung utara wilayah Boyolali terdapat Waduk Kedungombo. Di sebelah di bagian timur Sambi, yaitu di timur Desa Senting ada sebuah danau kecil, Waduk Cengklik. Waduk ini akan dijadikan tempat pariwisata. Tidak terlalu jauh dari waduk ini (sebelah timur) terdapat Bandara Adisumarmo.

Kecamatan Sambi termasuk daerah kering. Dari 16 desa di sana, baru dua desa yang memiliki persawahan irigasi, yaitu Desa Catur di bagian barat, dan Canden di bagian selatan Sambi. Persawahan di desa-desa lainnya dikelola dengan sistem tadah hujan, artinya pendududuk di sana menanam padi hanya pada musim hujan. Pada musim kemarau, istilahnya pada musim mareng penduduk di sana menanam palawija seperti singkong, jagung, kacang-kacangan dan sebagainya.

Di desa dengan gambaran seperti itulah leluhur dan sebagian besar dari keluarga Trah Sanrejo hidup. Orang mengatakan daerah ini daerah minus, karena penghasilan penduduk dari lahan pertaniannya terbatas. Oleh sebab itu pula sebagian dari keluarga kita merantau ke tempat-tempat yang lebih subur, baik di Boyolali atau di daerah lainnya. Ada yang merantau ke Banyuwangi, pada masa sebelum kemerdekaan RI. Ada yang ke Imogiri, dan ada juga yang ke Gubug di Kabupaten Grobogan. Belakangan sebagaimana terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa, orang-orang muda dari Karangpilang juga banyak yang merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya.

Sampai usia sekitar 5 tahun saya tinggal di Karangpilang. Ingatanku mengenai dusun ini ya sebatas ingatan anak usia anak-anak. Setelah usia 5 tahun keluarga saya, keluarga Partowirejo berpindah ke Desa Kaliwenang, Kecamatan Tanggungharjo (sekarang), Kabupaten Grobogan. Pendidikan SD dan SMP saya lewati di Kaliwenang, Sugihmanik, dan Gubug. Beberapa kali sewaktu usia SD saya bersama orangtua berkunjung ke Karangpilang. Saudara dekat yang masih ada di sana ketika itu adalah Kakek-nenek Sanrejo (muda), Siwo Sanraji, dan Paklik Pawiro. Sedangkan saudara lain yang juga keturunan Mbah Sanrejo aalah Siwo Kasan dan beberapa yang lain. Ketika saya menempuh pendidikan SMA di Boyolali, kadang-kadang saya menengok kakek dan nenek dengan bersepeda.

Dalam kunjungan-kunjungan ini saya berkenalan dengan saudara-saudara yang umumnya berusia lebih tua dari saya. Jalan-jalan di desa ini sedikit naik turun. Ketika itu jalan-jalan itu masih berupa tanah, dengan batu-batu pengeras jalan seadanya. Kendaraan yang lewat hampir tidak ada. Jalan atau lebih tepatnya lorong-lorong itu cukup luas untuk dilewati orang dan hewan ternak. Tahun-tahun belakangan, jalan-jalan itu sudah diperkeras dengan semen. Jalur utama jalan dusun ini bisa dilewati bus sedang. Sedangkan lorong-lorong lainnya bisa dilewati mobil roda empat. Dengan demikian sepeda motor dapat leluasa memasuki permukiman di Karangpilang.

Ketika saya masih kecil di pinggir-pinggir lorong banyak tumbuh bambu, terutama bambu ori. Belakangan penduduk setempat rupanya ingin permukimannya lebih terang, terbuka, dan bambu-bambu tersebut banyak yang sudah ditebang dan tidak tumbuh lagi. Pola kehidupan mereka pun juga berubah. Pada masa lalu, penduduk terbiasa makan dengan menu utama singkong berupa sayuran, atau tiwul dengan lauk sekadarnya. Sekarang menu seperti itu makin ditinggalkan. Tidak lagi menjadi menu sehari-hari.

Kehidupan modern mulai menjamah saudara-saudaraku di tanah kelahiranku ini. Televisi, radio, dan alat-alat elektronik sarana hiburan lain sudah mulai mereka kenal. Pendidikan kaum mudanya pun semakin tinggi. Anak-anak usia SD umumnya bersekolah. Ini merupakan langkah untuk mermperbaiki dan meningkatkan kehidupan.

Meskipun saya tidak pernah lama di dusun ini, ikatan emosionalku dengan Desa Karangpilang tidak hilang. Aku menyadari di dusun inilah saya dan saudara-saudara sekandungku dilahirkan. Dusun inilah tanah kelahiran ayah ibuku, kakek-nenekku, kakek-nenek buyutku Mbah Sanrejo. Para kakek dan nenekku dimakamkan di sana. Di sana juga ada makam Kakek-nenek Mat Nawi, orangtua dari ayahku. Juga nenek moyangku. Yang juga penting adalah di sana saudara-saudaraku dari Trah Sanrejo dengan setia masih menjalani kehidupannya. Aku berharap pertalian keluarga besarku ini tidak terputus. Aku berharap saudara-saudaraku di mana pun berada masih bisa menjalin silaturahmi sesama keluarga. Aku berharap semua diberkati Tuhan, mendapat kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupannya. Salam untuk saudaraku. Salamat berjuang dan tetap menjalin tali persaudaran. Salam. -- Ateng Winarno, 27 Maret 2010.

Selasa, 23 Maret 2010

Rolas Sinembah

Mbah Sanrejo tua adalah kakek moyang kita yang tertua, yang nama dan makamnya masih kita ketahui. Siapakah kakek kita itu, Kakek dan Nenek Sanrejo tua adalah orangtua yang menurunkan kita. Kakek kita ini mempunyai delapan orang anak. Mereka bernama: Rosid (Banyuwangi), Rawis (Banyuwangi), Matngisa (Banyuwangi), Joyo (Kr Pilang), Seco (Grintingan), Senok (P. Lumbon), Semi (Imogiri), dan Saman (Sanrejo muda – Kr Pilang). Kini para cucu, buyut, dan wareng mereka tersebar di Karangpilang, Boyolali, Yogyakarta, Gubug, Brebes, Jakarta, Banyuwangi, Sumatera, Kalimantan, dan tempat-tempat lain.

Kita orang Jawa memiliki istilah rolas sinembah (dua belas yang kita hormati), untuk menghormati para orang tua dan leluhur kita, sampai 12 tingkat. Mulai dari diri kita sendiri (1), ayah dan ibu (2), embah (3), embah buyut (4), embah canggah (5), embah wareng (6), embah uthek-uthek (7), embah gantung siwur (8), embah gropak senthe (9), embah tebu sinoyong (10), embah petaranan bubrah (11), dan embah amun-amun (tingkat ke-12).

Bagi yang sekarang merupakan para sesepuh Trah Sanrejo, sepeti Br Paulus, Mbah Sanrejo tua adalah embah buyut atau tingkat 4. Dan bagi yang lebih muda seperti Bowo Budi Susilo dan Trisno Atmojo Mbah Sanrejo adalah embah canggah atau tingkat 4. Sedangkan bagi yang lebih muda lagi seperti Aghata Prima, Agustinus Susanta, dan Ni Putu Nova, Mbah Sanrejo tua dalah embah wareng atau tingkat 6. Dan bagi yang lebih mudad lagi seperti anaknya Dwi dan Ika Mbah Sanrejo adalah embah uthek-uthek. Di bawah itu belum ada yang lahir. Kita baru bisa merunut nenek moyang kita sampai mbah uthek-uthek atau tingkat ketujuh. Masih ada lima tingkat lagi yang tidak kita ketahui.

Kalau dibalik bahwa Mbah Sanrejo tua adalah generasi pertama, maka Mbah Joyo, Mbah Proyo, Mbah Saman dan saudara saudaranya adalah generasi kedua. Mbah Samiyem, Mbah Daliyem, Mbah Pawiro dan saudara-saudara lain dari Imogiri dan Banyuwangi yang setingkat adalah generasi ketiga. Sedangkan Mbah Arjo Samino, Mbah Sugiman, Mbah Subirin, dan saudara-saudaranya, Mbah Kasijo dan saudara-saudara lainnya yang setingkat adalah generasi keempat. Kemudian Senu, Semin, Bowo, Trisno, dan lainnya yang setingkat adalah generasi kelima. Yang lebih muda lagi bisa menempatkan posisinya. Sekarang ada cukup banyak yang merupakan generasi keenam. Sedangkan yang merupakan generasi ketujuh baru beberapa anak. Usia mereka saat ini belum ada yang lebih dari lima tahun.

Untuk melengkapi silsilah dan risalah keluarga Trah Sanrejo saya mengharapkan agar setiap keluarga menuliskan anggota keluarganya: 1. nama diri dan suami/istrinya, 2. nama anak-anaknya, 3. nama ibu dan bapaknya, 4. nama kakek dan neneknya, 5. nama kakek-nenek buyutnya, dan 6. nama kakek-nenek canggahnya. Tolong diberikan juga alamat tempat tinggalnya, e-mail, nomor teleponnya. Data tersebut akan sangat berguna bagi keluarga untuk menyusun silsilah lengkap keluarga kita. Data tersebut dapat disampaikan lewat surat ke alamat saya: Ateng Winarno, atau e-mail atengwinarno@yahoo.com. Terima kasih atas perhatian saudara-saudaraku semua. Salam - Jakarta, 23 Maret 2010.

Minggu, 21 Maret 2010

Pengantar Trah Sanrejo

Trah Sanrejo adalah kumpulan kekerabatan keluarga keturunan Mbah Sanrejo. Mbah Sanrejo adalah kakek buyut kami yang sekarang menjadi para sesepuh Trah Sanrejo.

Mbah Sanrejo lahir hingga meninggal dunia di Desa Karangpilang, Kelurahan Jagoan, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Diperkirakan Mbah Sanrejo hidup pada abad ke-19. Ia menurunkan 7 orang anak, yaitu Mbah Rosid, Mbah Rawis, dan Mbah Matngiso (ketiganya merantau ke Banyuwangi ketika mereka masih muda), Mbah Senok yang menetap di Plumbon, Mbah Proyo yang menetap di Imogiri, Mbah Joyo dan Mbah Saman yang setelah dewasa mengambil nama tua juga Sanrejo. Mbah Joyo dan Mbah Saman menetap di desa Karangpilang.

Dari ketujuh anak Mbah Sanrejo (tua), yang laki-laki adalah Mbah Rosid, Mbah Rawis, Mbah Matngiso, dan Mbah Saman. Ketika kami masih kecil, ada salah satu keturunan dari mbah-mbah yang tinggal di Banyuwangi berkunjung ke Karanpilang. Nama panggilannya Gareng. Ia kepernah pakde kami. Sayangnya anak keturunan 3 kakek ini tidak terlacak hingga sekarang, karena tidak ada lagi kunjungan dari Banyuwangi, dan kami yang dari Karangpilang belum sempat mengunjungi mereka. Begitu pula halnya dengan Mbah Senok. Meskipun ia masih berada di daerah Boyolali juga, sayangnya hubungan dengan keluarga besarnya terputus, dan belum terlacak hingga kini.

Beruntunglah kita para keturunan Mbah Joyo, Mbah Proyo, dan Mbah Saman. Kami sekarang masih bisa saling berkomunikasi, karena sebagian besar keturunan Mbah Joyo dan Mbah Saman masih tinggal di Karangpilang, dan yang tinggal di Imogiri pun masih saling bisa berkunjung dan berkomunikasi.

Ketika kakak kami Sugiman dan Subirin masih kecil, datanglah ke Karangpilang, Mas Kasijo bersama orangtuanya. Bersama Mas Arjo dan yang lain, generasi muda para saudara misan keturunan Mbah Sanrejo pada waktu itu dipertemukan. Mereka dipesani agar tidak saling melupakan, jangan sampai hubungan persaudaraan mereka terputus. Pertemuan ini diikuti dengan kunjungan Mas Sugi dan Mas Birin ke Imogiri ketika mereka masih kecil. Sementara itu Mas Kasijo, dan pernah juga bersama anaknya Trisno pernah juga bersepeda dari Imogiri ke Karangpilang untuk berziarah Mbah Sanrejo tua.

Sejak itulah kekerabatan kami terjalin dengan baik, dan kami ke depan ingin menjalin terus hubungan kekeluargaan ini. Kita bersatu karena merasakan diri sebagai satu keluarga, keturunan Mbah Sanrejo. Kita juga bersatu karena kita bisa saling berkumpul, saling memberi dan saling menerima. Kita berasatu karena kita juga saling membutuhkan.

Oleh karena itulah kami mengadakan pertemuan keluarga besar Trah Sanrejo pada tanggal 1 Desember 2007 di tanah leluhur kami, di Desa Karangpilang. Pada saat itu juga kita berziarah ke makam Mbah Sanrejo tua yang makamnya sudah kita pindahkan dari desa Mangunan ke Karangpilang, agar bersatu dengan kerabat dan anak cucu keturunannya yang sebagian besar dimakamkan di Pasarean Desa Karangpilang. Pemakaman ini lebih mudah dijangkau juga oleh anak-cucu keturuannya yang sudah tua.

Di Jakarta, kami keluarga Trah Sanrejo berkumpul secara berkala, bergilir dari keluarga yang satu ke keluarga yang lain. Tujuannya untuk saling membina keagrabandan kebersamaan. Di sana kita saling berbagi kabar, membahas masalah bersama, dan merencanakan kegiatan yang menjadi kebutuhan bersama.

Akhir-akhir ini melalui jaringan internet mulai dikembangkan grup Facebook Trah Sanrejo. Melalui FB kita bisa saling berkomunikasi sewaktu maupun tidak sewaktu dengan sanak keluarga yang lain. Kita dapat saling mengetahui kabar mutakhir dari keluarga-keluarga kita yang tidak sempat kita kunjungi atau kita hubungi per telepon. Kita bisa mengalami pencerahan dan keringanan beban hidup bila bisa berbagi dengan sesama kita.

Melalui Blog Trah Sanrejo ini juga saya bermaksud menyediakan sarana komunikasi dan dokumentasi mengenai kehidupan keluarga-keluarga kita. Saya mengundang masing-masing dari kita bisa berbagi pengalaman mengenai keluarga kita, entah itu kakek-nenek, ayah-ibu, saudara-saudara sekandung, dan juga tidak sekandung, anak, kemenakan, dan mungkin juga cucu kita, untuk memperkaya pengalaman hidup kita. Saya berpendapat, ini banyak manfaatnya. Marilah kita saling berkomunikasi, saling berbagi dengan sesama. Salam. Ateng Winarno - Jakarta, 22 Maret 2010.