Saya pernah bertanya ke beberapa orang mengenai keluarganya. Mereka dengan mudah menjawab pertanyaan mengenai siapa ayah dan ibunya. Begitu juga ketika ditanyakan siapa saja nama-nama saudara kandungnya. Nama anak-anaknya pun diingat dengan baik. Tetapi ketika ditanyakan dama kakek dan neneknya ada yang menjawab dengan fasih, ada juga yang mengatakan: "Saya tahu betul kakek dan nenek saya, tetapi saya tidak tahu namanya, karena biasanya kami memanggilnya Mbah Kung untuk kakek dan Mbah Tri untuk nenek."
Karena kakek dan nenek biasanya ada empat orang (dari pihak ayah dan ibu), penyebutan nama kakek, mbah atau eyang, atau aki sering dikaitkan dengan domisili si embah. Ibu saya sering disebut sebut oleh kemenakan-kemenakan saya sebagai Mbah Kalinang, bukan Mbah Parto, sedangkan embah yang lain disebut dengan Mbah Kudus. Penyebutan seperti ini memang tidak mengacaukan komunikasi dalam keluarga. Tetapi untuk urusan keluarga besar, penyebutan seperti itu bisa menimbulkan bias. Sebab yang disebut misalnya Mbah Kalinang itu ada beberapa orang, karena keluarga lain juga menyebut embahnya dengan sebutan Mbah Kalinang.
Sejak saya kecil sudah diberitahukan oleh ibu saya tentang nama-nama kakek nenek saya, yaitu Mbah Saman yang juga bernama Mbah Sanrejo, Mbah Pupon, istrinya Mbah Saman, dan Mbah Mat Nawi. Terus terang, saya juga tidak tahu nama Mbah Mat Nawi putri. Mbah Mat Nawi sudah meninggal dunia lama sebelum saya lahir. Merupakan suatu yang berharga, apabila kita memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai para orang tua kita. Apalagi kalau kita bisa meneladani kebijaksanaanya, semangat dan langkah-langkah dalam kehidupannya yang patut diteladani.
Oleh sebab itulah beberapa waktu yang lalu bersama dengan kakak saya Bruder Paulus mencoba menelusuri riwayat nenek moyang kita, lebih jauh dari yang selama ini sudah kami ketahui. Dalam penelusuran ini, beruntunglah kita karena masih ada sumber-sumber yang masih hidup, walaupun saat itu sudah sepuh. Karena itulah kami setelah melayat Mas Agustinus Widodo yang meninggal dunia pada tanggal 6 Oktober 2005, esok harinya kami: Bruder Paulus, Ateng Winarno, Cipto Ruswanto, Kasmani, Mbak Sundari, Dwi Sunarmi, Rusno, dan Aris berkunjung pergi ke Karangpilang, dan Ngalangalangan. Di sana kami mengunjungi Kang Arjosamino, yang sudah berusia 79 tahun, Kang Djumadi yang sudah berusia sekitar 65 tahun di Karangpilang. Di Ngalangalangan kami menjumpai Dik Suyati yang berusia lebih dari 70 tahun berserta suaminya (Carik) dan singgah di rumah Menil, di Bangak. Tempat-tempat itu berada di Kecamatan Sambi dan sekitarnya, di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
Dari penuturan Kang Arjosamino kita memperoleh informasi berharga, bahwa ayah Mbah Saman atau Mbah Sanrejo yang sebelum ini kami kenal juga bernama Sanrejo. Sanrejo adalah nama panggilan sehari-hari. Nama lengkapnya adalah Kasan Rejo. Untuk selanjutnya dalam tulisan ini kita sebut dengan Mbah Sanrejo tua. Kejadian bahwa Tentang nama anak sama dengan nama ayahnya dalam tradisi Jawa disebut nunggak semi. Saya menduga Mbah Saman mengambil nama tua Sanrejo untuk mengenang ayahnya. Mbah Saman adalah anak bungsu. Semua kakak lelakinya meninggalkan kampung halaman, pergi ke Banyuwangi. Dialah satu-satunya anak laki-laki, sehingga ketika ia menikah dengan Mbah Pupon ia mengambil nama Sanrejo juga.
Kang Arjosamino adalah cucu tertua dari Mbah Sanrejo muda. Arjosamino termasuk pendahulu kita dalam merintis pendidikan formal. Pada waktu ia kecil, sepupunya, Sugiman anak Partowirejo dan Daliyem disuruh sekolah. Oleh Sugiman, Arjosamino diajak serta bersekolah agar ia punya teman bersekolah. Pada waktu itu usianya sedikit lebih tua daripada Sugiman. Tetapi soal usia itu tidak menjadi masalah pada waktu itu, sebab merekalah generasi pertama orang-orang desa yang digerakkan untuk bersekolah. Bahkan ada orang yang sudah menikah pun tidak malu-malu masuk sekolah tingkat dasar. Jadi Arjosamino adalah termasuk generasi pertama orangtua kita yang mulai tahu baca-tulis. Pada masa kecilnya ia juga pernah ikut kakeknya, Mbah Sanrejo muda.
Mbah Bodong
Dari kedekatannya dengan Mbah Sanrejo itulah ia diberitahu bahwa ayah Mbah Sanrejo muda juga bernama Sanrejo. Kakek moyang generasi pertama kita ini juga berasal dari Karangpilang. Pada masa kecilnya setiap bulan Ruwah, ia juga sering diajak mengunjungi makam Mbah Sanredjo tua. Mbah Sanrejo tua ini diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-19, mengingat Mbah Sanrejo muda hidup sampai usia 90-an tahun pada tahun 1970-an. Diperkirakan Mbah Sanrejo muda lahir sekitar tahun 1870-an. Mbah Sanrejo muda adalah anak ke delapan. Ia adalah anak bungsu. Pada saat punya anak Mbah Sanrejo muda, diperkirakan Mbah Sanrejo tua berusia 40-an. Oleh karena itu diperkirakan Mbah Sanrejo tua lahir sekitar tahun 1840-an. Ketika masih muda Mbah Sanrejo bernama Bodong. Oleh karena itu ia juga biasa disebut dengan nama Mbah Bodong. Nama ini pun saya kira nama panggilan yang kemudian lekat sebagai namanya sehari-hari.
Selain itu, dari surat yang pernah kakak saya, P. Subirin, kirimkan kepada semua sanak saudara pada tanggal 3 Januari 1992, ketika kami akan membangun makam Mbah Sanrejo muda dan Mbah Pupon (istrinya) sekaligus memperbaiki sejumlah kijing, cungkup dan makam pada tanggal 7 Februari 1993, kita mendapat sejumlah informasi berharga mengenai leluhur kita. Dari surat ini kami mengetahui juga nama-nama anak Mbah Sanrejo yaitu: Mbah Rosid, Mbah Rawis, dan Mbah Matngiso ketiganya di Banyuwangi, Mbah Joyo dan Mbah Seco di Karangpilang, Mbah Senok di P.Lumbon, Mbah Semi di Imogiri, dan Mbah Saman di Karangpilang. Mbah Rosid, Rawis, Matngiso, dan Mbah Saman adalah anak laki-laki Mbah Sanrejo.
Mbah Sanrejo tua adalah kakek tertua kita masih dapat kita telusuri riwayatnya. Dengan lantaran Mbah Sanrejo tua kita sama-sama dilahirkan ke dunia melalui orangtua kita masing-masing. Ia adalah leluhur kita yang nama dan makamnya masih dapat kita ketahui. Tingkatannya masih sangat dekat dengan kita (baru tingkat ke-5 atau ke-6). Karena keberadaan Mbah Sanrejo tua itulah kita yang tinggal tersebar di berbagai tempat ini saling bersaudara, kita punya hubungan darah. Karena itu pula kita merasa dekat satu dengan yang lain. Kita saling membantu, saling menguatkan, dan bekerja sama. Kerja sama itu juga yang membuat persaudaraan kita menjadi semakin erat.
Untuk mempererat dan memperkuat kesatuan keluarga besar Sanrejo tersebut kita memindahkan dan membangun batu nisan makam Mbah Sanrejo tua. Makam yang sudah tua itu semula berada di makam Desa Mangunan, sebelah utara Desa Karangpilang. Mbah Sanrejo tua dimakamkan di Mangunan karena ketika ia wafat sarean Desa Karangpilang belum ada. Untuk mencapai makam itu kita harus turun naik tebing kali Mangunan. Padahal para buyut pada saat itu umumnya sudah sepuh. Medan yang harus dilalui berat kalau mereka hendak berziarah.
Agar makam itu lebih terawat dan mudah dijangkau oleh para keturunannya, maka makam itu dipindahkan ke makam di Desa Karangpilang. Dengan berada di Karangpilang, kita akan lebih mudah merawatnya. Selain mudah dijangkau, makam Mbah Sanrejo tua kini berada dekat dengan makam para kakek dan nenek kita yang antara lain Mbah Joyo, Mbah Sanrejo muda, Mbah Kasan, Mbah Samiyem, Mbah Pawiro, Mbah Matnawi (kakek Pak Sugi, Pak Birin dan adik-adiknya).
Menurut Kang Jumadi, Makam Mangunan dikeramatkan orang. Di pemakaman itu ada sebuah makam Sentono. Di selatan atau utara makam itu sering muncul gumuk, atau bukit kecil. Ceritanya, apabila bukit itu muncul di selatan makam, maka desa di selatan makam itu akan makmur, yaitu memperoleh panen melimpah. Sebaliknya bila gumuk itu muncul di sebelah utara makam maka yang akan menikmati panen yang baik adalah desa di sebelah utaranya. Tentang makam Sentono itu kabarnya bukan makam orang. Yang di makamkan di sana adalah baju salah seorang abdi kerajaan. Makam itu sendiri kabarnya sudah tidak terawat lagi.
Pertemuan Keluarga
Kita para keturunan Mbah Sanrejo tua bersyukur karena masih mengenali makam kakek kita ini. Kakek ini inilah yang mengikat persaudaraan dan kekerabatan kita yang pada saat ini tersebar di berbagai tempat. Kita tahu tahu saudara-saudara yang tersebar di berbagai tempat ini saudara yang memiliki pertalian darah. Namun bagaimana pertalian itu terjadi? Semua itu dapat kita jawab kalau kita merunut ke atas, mulai dari siapa orang tua kita, siapa kakek dan nenek kita, siapa kakek dan nenek buyut kita, dan siapa kakek dan nenek canggah kita dan seterusnya, dan akan sampai ke kakek Sanrejo.
Pemindahan makam tersebut dilaksanakan oleh Pak Djumadi, Pak Arjosamino bersama-sama saudara-saudara lain di Karangpilang serta Pak Rusno beserta keluarga dari Boyolali yang diminta untuk mewakili keluarga yang ada di perantauan. Pemindahannya berlangsung pada hari Kamis Legi, tanggal 30 Maret 2006, bertepatan dengan hari libur Nyepi. Pada saat ini makam Mbah Sanrejo tua berada di sebelah kanan (timur) jalan masuk menuju makam ndoro-ndoro di Desa Karangpilang, dekat makam Mbah Matnawi. Pembangunan batu nisan pun sudah dilaksanakan pada bulan Agustus 2007.
Pada tanggal 1 Desember 2007, pertemuan keluarga besar Trah Sanrejo diselenggarakan di Desa Karangpilang. Selain mengadakan perkenalan antar keluarga, pada saat itu juga dilakukan ziarah ke makam Mbah Sanrejo. Pertemuan diselenggarakan di rumah Pak Senu, anak Pak Arjosamino. Sekalipun rumah itu cukup besar pengunjung tidk dapat tertampung di dalam rumah. Terpaksa sebagian menumpang di beranda rumah-rumah tetangga sekitar, bahkan ada juga yang ngampar di jalanan.
Ratusan orang datang ke acara ini. Saudara-saudara dari Imogiri datang dengan menumpang 6 bus ukuran sedang. Dari Jakarta juga datang dengan satu bus. Ada lagi yang datang dari Brebes, Gubug, Boyolali, dan juga dari Karangpilang. Ramai, meriah dan semarak meskipun acara pertemuan itu berlangsung dengan sederhana. Semua yang hadir di sana bersaudara. Pertemuan itu sangat mengesan. Kita bertekad akan mengadakan pertemuan lagi secara berkala 3 - 5 tahun sekali. Bersamaan dengan itu selain melalui pertemuan-pertemuan berkala dalam lingkup yang lebih kecil, melalui komunikasi dunia maya ini kita jalin terus komunikasi untuk meningkatkan keakraban dan kesatuan kekeluargaan kita. -- Jakarta, 28 Maret 2010. Salam - Ateng Winarno.
Minggu, 28 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
¬ hal yg tidak pernah terbayangkan kini menjadi kenyataan,dengan keluarga saya untuk AKY SANTORO kami ucapkan banyak terimah kasih karna berkat BANTUAN AKY SANTORO ALHAMDULILLAH keluarga kami bisa lepas dari segala HUTANG HUTANG. karna nomor togel yang di berikan KY SANTORO YAITU-4D. nya BENAR BENAR TERBUKTI TEMBUS 100% DAN SAYA MEMENANGKAN.125 juta.ALLHAMDULILLAH saya bisa menutupi semua tuhang hutang saya.dan MOTOR saya yg dulunya aku gadaikan,kini sudah di tebus kembali.dan kami juga sudah membuka usaha kecil kecilan,kami tidak menduga KY SANTORO TELAH MERUBAH NASIB KAMI DALAM SEKEJAP.dan hanya AKY SANTORO Lah DUKUN TOGEL YANG PALING BERSEJARAH DI KELUARGA KAMI.ini adalah benar benar kisah nyata dari saya.dan saya tidak malu menceritakannya.semua tentang kesusahan yg perna saya jalani.karna di situlah saya mulai berfikir bahwa mungkin masih banyak saudara kami yg membutuhkan bantuan seperti saya.yang ingin seperti saya silahkan hub AKY SANTORO DI NOMOR(_0823_1294_9955_).DI JAMIN 100% TEMBUS.JIKA ANDA PENUH KEPERCAYAAN DAN KEYAKINAN SILAHKAN ANDA BUKTIKAN SENDIRI.DAN SAYA SANGAT YAKIN BAHWA ANGKA GHOIB YANG DI BERIKAN KY SANTORO DAPAT MERUBAH NASIB ANDA SEPERTI SAYA.SEBELUMNYA SAYA MOHON MAAF KALAU ADA PERKATAAN SAYA YANG KURANG SOPAN.TOLONG DI MAAF KAN.TERIMAH KASIH.THANK'Z ROOMX ZHOBATH.!!!
BalasHapus