Bagian 1
SILSILAH KELUARGA
TRAH SANREJO
Ungkapan Hormat dan Syukur
Kepada Leluhur
Persembahan Ateng Winarno
Pengantar
Naskah buku ini saya tulis dalam usia tuaku. Saya sudah beren-cana menulis buku ini jauh sebelumnya, beberapa tahun sebelum usiaku genap 70 tahun. Dulu ketika kakak-kakakku mencapai usia itu, saya merasa kagum, salut dan hormat, karena mereka bisa mencapai usia yang dalam masyarakat sangat disyukuri sebagai anugerah usia lanjut dari Tuhan. Pada waktu itu usia harapan hidup penduduk Indonesia belum mencapai rata-rata 70-an tahun. Bagaimanapun, usia yang panjang adalah suatu anugerah yang bernilai. Hal itu bukan pertama-tama prestasi kita, malainkan karena kehendak Tuhan. Sebagai tanggapan atas anugerah itu, bahkan ada sebagian masyarakat yang mempunyai kebiasaan menerima dengan sukacita apabila ada anggota keluarganya dipanggil Tuhan setelah mencapai usia 70 tahun. Mereka tidak perlu menangis karena sedih. Mereka mensyukuri karena Tuhan memberikan kepada saudaranya anugerah usia panjang.
Pada tahun 2019 saya berencana menulis buku mengenai keluarga besarku, sebagai persembahan dan ungkapan syukur atas anugerah Tuhan selama ini. Saya bersyukur atas penyertaan Tuhan, atas anugerah kesehatan, rezeki, keluarga dan kehangatannya, kelan-caran dalam bekerja dan usaha. Buku itu sekaligus sebagai refleksi atas keberadaanku di tengah keluarga dan perjalanan hidupku. Saya merasakan bahwa semua yang saya jalani tidak terlepas dari campur tangan Tuhan, bahkan saya merasa penyertaan Tuhan begitu dekat dalam kehidupan kami sehari-hari. Melalui buku ini saya juga hendak menyatakan rasa hormat dan syukur kepada orangtuaku, kakek dan nenek, kakek nenek butut dan canggah, serta para leluhur, yang dipilih Tuhan untuk melahirkan kami ke dunia.
Saya sangat hormat dan bangga kepada ayahku, Partowirejo, yang ketika menjadi buruh pemecah batu (meskipun tidak lama), terge-rak hatinya untuk menyekolahkan anak-anaknya, supaya kelak anak-anaknya bisa memperoleh penghasilan yang baik, dan hidup sejahtera, tidak seperti dirinya yang diupah kecil karena ia buta huruf. Sekalipun beliau tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya setinggi orang-orang pada saat ini, tekadnya untuk menyekolahkan anak-anaknya memberikan hasil yang kemudian mengubah hidup keluarga kami. Ketika negara mulai menggerakkan masyarakat untuk mengirim anak-anak ke sekolah dasar beberapa tahun setelah kemerdekaan RI, ayahku mengirim Mas Sugiman dan Subirin ke SR (sekolah rakyat – sekarang SD) di Sambi, dan kemudian mereka sendiri melanjutkan pendidikannya sampai SGB, dan kemudian mereka menjadi guru sekolah dasar. Istilah masyarakat pada waktu itu mereka menjadi priyayi (bukan pekerja kasar, dan setiiap bulan mendapat gaji).
Selanjutnya, kami adik-adik Mas Sugiman dan Subirin, berkat bantuan mereka, juga terdorong untuk bersekolah demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Melalui buku ini, cerita inspiratif itu hendak kami tularkan kepada generasi yang lebih muda supaya memperbaiki kehidupannya di tengah keluarga masing-masing. Namun ketika naskah buku itu baru setengah jadi, tiba-tiba mun-cul pandemi Covid 19, sejak Maret 2020, yang melanda seluruh dunia, yang meng-akibatkan berbagai kesulitan dalam kehidupan masyarakat, antara lain berupa pembatasan orang untuk berkum-pul dan sebagainya. Padahal saya merencanakan buku itu akan kubagikan kepada saudara-saudara pada pertemuan keluarga Trah Sanrejo di Jakarta, yang memang sudah direncanakan akan diada-kan pada peringatan syukur ketika usiaku genap 70 tahun, awal Juni 2020.
Berhubung pertemuan keluarga itu tidak mungkin diselenggara-kan, maka penyelesaian naskah buku itu saya tunda, lalu saya menulis buku yang lain, yang sudah terbit pada tahun 2021 yang lalu. Kemudian pada saat menulis buku untuk kalangan Gereja tersebut, saya terinspirasi untuk menulis silsilah keluarga Trah Sanrejo, yang sebelumnya sudah saya buat dalam bentuk bagan yang memang tidak mudah untuk dibaca, karena nama-nama yang dicantumkan terlalu banyak. Sekarang, melalui silsilah yang kami sajikan dalam buku ini, saya berharap saudara-saudaraku bisa membaca dan melacak silsilah keluarganya dengan lebih mudah, sampai ke kakek-nenek, embah buyut, embah canggah, dan embah warengnya.
Silsilah ini disajikan dengan menguraikan satu keluarga sampai tuntas, dari orangtua (diri sendiri), sampai ke anak, cucu, cicit atau buyut, canggah, wareng, bahkan uthek-uthek. Karena keterbatasan data mengenai keluarga dalam Trah Sanrejo, maka dalam silsilah ini hanya diuraikan silsilah tiga rumpun keluarga besar, yaitu rumpun keluarga Mbah Joyo dari Karangpilang, rumpun keluarga Mbah Semi Proyo dari Imogiri, dan rumpun keluarga Mbah Saman atau Sanrejo muda dari Karangpilang. Uraian mengenai keluarga-keluarga dalam silsilah ini berurutan sesuai dengan nomor urut kelahiran setiap orang dalam keluarga masing-masing. Dengan demikian, rumpun keluarga Mbah Joyo diuraikan di depan, berikutnya rumpun keluarga Mbah Semi Proyo, dan tera-khir rumpun keluarga Mbah Saman atau Mbah Sanrejo muda.
Harus diakui, bahwa masih banyak kekurangan dalam silsilah keluarga ini, baik mengenai data yang kurang lengkap, informasi yang tidak akurat, bahkan mungkin ada data keluaraga yang luput dari perha-tian kami, kesalahan pengetikan nama dan tempat, atau kesalahan lain. Untuk itu kami mohon dimaafkan. Silsilah di dalam buku ini tidak akan terwujud kalau tidak ada bantuan dari saudara-saudara sekalian. Karena itu kami berterima kasih atas bantuan yang dibe-rikan kepada kami. Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Mas Djumadi yang memberikan data mengenai keluarga Mbah Joyo, Mas Ujang Biantoro dan Mbak Atik Trisno Atmojo yang memberikan tambahan data mengenai keluarga Mbah Semi Proyo, Mas Trisno Atmojo yang memberi foto kelu-arga-keluarga di panggung, untuk melengkapi foto-foto yang saya buat sendiri, dan khususnya saudara-saudaraku yang lain dari keluarga rumpun Mbah Saman yang tidak dapat saya sebut satu per satu.
Saya berharap buku sederhana ini berguna dan bermanfaat bagi saudara-saudara. Akan lebih baik lagi, kalau silsilah yang masih banyak kekurangannya ini diperbaiki, dilengkapi, dan dilanjutkan dalam keluarga masing-masing, karena silsilah sebuah keluarga tidak akan berhenti. Buku ini saya tulis sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas orangtua, kakek dan nenek, embah buyut dan para leluhur. Buku ini juga merupakan ungkapan hor-mat dan syukur bagi semua orang tua, khususnya ayah dan ibuku Pak Partowirejo dan Mbok Daliyem. Tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk mereka, kecuali mendoakan dan mengungkapkan rasa hormat dan syukur melalui buku ini.
Karena ini adalah buku silsilah, kemungkinan besar akan disimpan atau dipegang dalam waktu yang lama. Sementara waktu terus berjalan, dan selama itu pasti terjadi banyak perubahan. Berkenaan dengan itu, uraian yang megandung maksud untuk menerangkan waktu pada saat ini, baik yang disebutkan dengan kata “sekarang” atau “kini” maupun tidak disebutkan, adalah waktu pada saat saya menulis buku ini, dari bulan Februari hingga Juni tahun 2022.
Saya berharap melalui silsilah ini, saudara-saudara dapat saling mengetahui dan mengenal saudara-saudaranya. Ada yang akrab dalam pergaulan karena hubungan kakak adik atau keluarga. Ada juga yang menjadi akrab karena kedekatan dalam pekerjaan atau tempat tinggal. Ada juga juga yang menjadi dekat karena hobi atau kesamaan minat. Kedekatan keluarga dalam satu trah (keturunan) bisa mendekatkan kita yang sebenarnya masih bersaudara karena hubungan darah. Namun karena kita tidak saling mengetahui, maka hubungan itu menjadi jauh, karena tidak saling au mengenal.
Karena kita berada dalam satu trah, sekalipun sebelumnya tidak saling mengenal, tidak pernah berhubungan, atau berjauhan dalam tempat tinggal, kita bisa saling menyapa, saling berkabar, berbagi kegembiraan dan sukacita, bersimpati dan berempati pada saat ada saudara kita mengalami masalah, dan saling mendoakan untuk kebaikan bersama. Apalagi didukung oleh alat komunikasi digital sekarang ini, kita dapat menjangkau, menyapa dan berbagi kabar dengan saudara lain di mana pun. Kita bisa menjalin persahabatan dan keakraban bersama, memberi perhatian, membantu dan meno-long sesama. Semoga kita semua selalu mendapat perlindungan, berkat, dan rahmat Tuhan Sang Pencipta, yang Mahakuasa dan Maharahim, yang senantiasa memelihara kehidupan kita. Amin.
Jakarta, 3 Juni 2022
Salam damai, sehat dan sejahtera
Ateng Winarno
Trah Sanrejo, pendahuluan
Biasanya orang mengetahui nama bapak dan ibunya, juga kakak atau adiknya. Tetapi nama kakek atau neneknya, saudara sepupu-nya, paman dan bibinya, sekalipun mereka masih hidup sering tidak diketahui. Paling jauh yang diketahui adalah nama panggil-annya, misalnya, Mbah Kudus, Mbah Selo, Mbah Kalinang atau juga mbah-mbah lain. Namun kalau kita mengetahui dan me-ngenal saudara-saudara kita sendiri, akan lebih baik bagi kekera-bataan kita, lebih-lebih pada saat ini, yang umumnya dalam satu keluarga hanya ada dua orang anak. Selain itu, orangtua, dan orang-orang yang lebih tua yang menjadi perantara kita lahir ke dunia adalah orang-orang yang selayaknya kita hormati, sebab merekalah orang yang dipilih Tuhan untuk melahirkan kita. Kecu-ali itu, mereka, sekalipun sudah tiada, bisa mempersatukan kita yang masih ada hubungan darah, meskipun tempat tinggal kita berjauhan.
Itulah yang terjadi pada kakek moyang kita, Sanrejo, orang Dukuh Karangpilang, Kelurahan Jagoan, Kecamatan Sambi, Boyolali, yang kemungkinan lahir pada pertengahan abad ke-19, tahun 1840-an. Sekarang kita masih mengenangnya sebagai Mbah San-rejo. Tempat beliau dimakamkan pun kita tahu, karena tempat makamnya sudah dipindahkan ke tempat yang lebih mudah dijangkau, di pasarean Karangpilang. Beliaulah orang tertua dalam keluarga kita yang masih kita ketahui namanya, nama anak-anaknya, dan juga kita ketahui tempat pemakamannya. Mengenai nama beliau, baru kami ketahui dari Kangmas Arjo Samino, yang ketika ia masih kecil sering diajak kakeknya, Mbah Saman, untuk berziarah ke makam bapaknya, di Mangunan. Dari nama bapaknya itulah, maka Mbah Saman anak bungsu Mbah Sanrejo mengambil nama tuanya, yaitu Sanrejo juga.
Sekarang kita bisa mengenang Mbah Sanrejo, leluhur kita dan juga mendoakannya. Namun tidak terbatas pada beliau, karena kita tahu di atas Mbah Sanrejo tua ada banyak para leluhur yang menjadi perantara kelahiran kita di dunia. Sekalipun tidak menge-nal mereka, kita patut dan layak mendoakan mereka. Menurut Kang Arjo, kakek buyutnya itu pada masa mudanya dipanggil dengan nama Bodong. Para cucunya pun memanggilnya Mbah Bodong. Mungkin itu hanya nama panggilan, bukan nama asli-nya. Pada saat sudah berkeluarga, ia mengambil nama tua, San-rejo. Namun karena anak bungsunya kemudian juga mengambil nama Sanrejo, maka dalam tulisan ini Mbah Bodong saya sebut dengan Mbah Sanrejo tua. Mbah Sanrejo tua punya delapan orang anak yang terdiri atas empat anak laki-laki, dan empat anak perempuan. Mereka bernama Rosid, Rawis, Matngisa, Joyo (nama suaminya), Seco (nama suaminya), Senok, Semi, dan Saman.
Ketika masih muda ketiga anak laki-lakinya, yaitu: Mbah Rosid, Rawis, dan Matngisa pergi ke Banyuwangi. Mungkin pada masa itu ada program dari pemerintah pemerintah kolonial Belanda, yang mengerahkan sejumlah pemuda ke Banyuwangi. Mereka menetap dan beranak cucu di sana. Kita belum menemukan jejak saudara-saudara kita yang bermukim di Banyuwangi ini. Pernah salah seorang anak mereka, Mbah Gareng namanya, berkunjung ke Karangpilang. Menurut Simbok, dia kepernah pak gedeku (seorang dari anak tiga orang itu). Sayangnya setelah kunjungan itu tidak ada lagi kunjungan dari Banyuwangi, sementara itu dari keluarga di Karangpilang belum ada yang berkesempatan untuk berkunjung ke Banyuwangi. Akibatnya komunikasi keluarga ini terputus sampai sekarang. Di luar ketiga anak yang pergi ke Banyuwangi masih ada Mbah Joyo, Mbah Seco, Mbah Senok, Mbah Semi, dan Mbah Saman. Dari keturunan mereka yang masih terlacak pada saat ini adalah keturunan Mbah Joyo yang masih banyak tinggal di Karangpilang, keturunan Mbah Semi yang banyak bermukim di Imogiri, dan keturunan Mbah Saman, yang menyebar di Karangpilang dan di berbagai tempat.
Mbah Sanrejo tua dapat dipastikan juga seorang petani desa. Diperkirakan ia juga memiliki keterampilan anyam-menganyam yang kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Mbah Sanrejo muda juga ahli dalam membuat anyam-anyaman, baik gedek untuk dinding rumah maupun kepang, kalo, bakul, tampah dan peralatan rumah tangga lainnya. Menurut Kang Arjo Samino, Mbah Seco, juga mempunyai keterampilan yang sama. Ia sering membuat kalo dan sebagainya. Sayangnya keluarga-keluarga keturunan Mbah Seco ini belum terlacak sampai sekarang. Tulisan pada buku ini saya harapkan bisa mempermudah keluarga besar Trah Sanredjo untuk melacak saudara-saudara dan kerabat mereka, sejauh ada informasinya, siapa tahu mereka berdekatan dalam tempat tinggal, atau berhubungan dalam pekerjaan kita.
Untuk melengkapi tulisan ini saya lampirkan beberapa tulisan lepas yang sudah dimuat dalam Blog Trah Sanrejo lebih dari 10 tahun yang lalu, sebagai berikut:
Rolas Sinembah (sebagian informasi dari Mas Subirin)
Mbah Sanrejo tua adalah kakek moyang kita yang tertua, yang nama dan makamnya masih kita ketahui. Siapakah kakek kita itu? Kakek dan Nenek Sanrejo tua adalah orangtua yang menurunkan kita. Beliau adalah kakek dari simbok saya, atau kakek buyut saya, juga kakek canggah Martin dan Yuan anak saya, dan kakek wa-reng dari cucu saya Niko dan Ratih. Kini para cucu, buyut, dan wareng mereka tersebar di Karangpilang, Boyolali, Imogiri, Gu-bug, Brebes, Jakarta, Banyuwangi, Sumatera, Kalimantan, Lom-bok, dan tempat-tempat lain di Indonesia.
Kita orang Jawa memiliki istilah rolas sinembah (dua belas yang dihormati), untuk menghormati para orang tua dan leluhur kita, sampai 12 tingkat (generasi). Mulai dari diri kita sendiri (1), ayah dan ibu (2), embah (3), embah buyut (4), embah canggah (5), embah wareng (6), embah uthek-uthek (7), embah gantung siwur (8), embah gropak senthe (9), embah tebu sinoyong (10), embah petarangan bubrah (11), dan embah amun-amun (tingkat ke-12). Bagi yang sekarang merupakan para sesepuh Trah Sanrejo, seperti Br Paulus, dan Mas Ujang Biantoro, Mbah Sanrejo tua adalah embah buyut. Dan bagi yang lebih muda seperti Bowo Budi Susilo dan Trisno Atmojo, Mbah Sanrejo adalah embah canggah. Sedangkan bagi yang lebih muda lagi seperti Aghata Prima, Agustinus Susanta, dan Ni Putu Nova, Mbah Sanrejo tua adalah embah wareng. Dan bagi yang lebih muda lagi seperti Michelle Garis Padma Oditi anak Brigita Sekar, dan Abigail Gracia Kirana anak Stephania Dyah Utari, Mbah Sanrejo adalah embah uthek-uthek. Di bawah itu belum ada yang lahir. Kita baru bisa merunut nenek moyang kita sampai mbah uthek-uthek atau tingkat ketujuh.
Kalau dilihat dari sisi sebaliknya, bahwa Mbah Sanrejo tua adalah generasi
pertama, maka Mbah Joyo, Mbah Proyo (Semi), Mbah Saman dan saudara
saudaranya adalah generasi kedua. Mbah Samiyem, Mbah Daliyem, Mbah Pawiro
dan saudara-saudara sepupunya di Imogiri dan Banyuwangi adalah generasi
ketiga. Sedangkan Mbah Arjo Samino, Mbah Sugiman, Mbah Subirin, dan
saudara-saudaranya; Mbah Kasidjo, Mbah Ujang Biantoro dan saudara-saudara
lainnya yang setingkat adalah generasi keempat atau saudara misan. Kemudian
Senu, Semin, Bowo, Trisno, dan lainnya yang setingkat adalah generasi
kelima atau istilahnya saudara mindo. Yang lebih muda lagi bisa menempatkan
posisi-nya. Sekarang ini ada cukup banyak yang merupakan generasi keenam.
Sedangkan yang merupakan generasi ketujuh pada umumnya masih sangat muda.
Mungkin belum banyak yang sudah dewasa. Salah satunya yang sudah dewasa
adalah adalah Riki keturunan dari Mbah Sanrejo Muda yang sudah menikah
dengan Yuyun dan belum punya anak. Ia adalah cucu uthek-uthek. Urut-annya
adalah: diri sendiri - anak – cucu – buyut/cicit – canggah – wareng –
uthek-uthek – gantung siwur (belum ada dalam Trah Sanrejo). Tulisan Ateng Winarno, 27 Maret 2010, direvisi 17 Mei 2022.
Sang Cikal Bakal
Saya pernah bertanya kepada beberapa orang mengenai keluar-ganya. Mereka dengan mudah menjawab pertanyaan mengenai siapa ayah dan ibunya. Begitu juga ketika ditanyakan siapa saja nama-nama saudara kandungnya. Nama anak-anaknya pun diingat dengan baik. Tetapi ketika ditanyakan nama kakek dan neneknya ada yang menjawab dengan fasih, tetapi ada juga yang mengata-kan: "Aku tahu betul kakek dan nenekku, tetapi aku tidak tahu namanya, karena biasanya kami memanggilnya Mbah Kung atau Akung untuk kakek dan Mbah Ti atau Uti untuk nenek." Sedang-kan orang yang sudah sepuh kalau ditanya tentang nama cucu-cucunya, banyak juga yang tidak bisa menjawab dengan lancar, apalagi kalau orang itu punya banyak cucu. Hal itu wajar saja, dan tidak mengganggu komumikasi di dalam keluarga.
Kakek dan nenek biasanya ada empat orang (dua dari pihak ayah dan dua dari
pihak ibu), penyebutan nama kakek, mbah atau eyang, atau aki atau oma,
sering dikaitkan dengan domisili si embah. Ibuku sering disebut oleh
kemenakan-kemenakanku seba-gai Mbah Kalinang, bukan Mbah Parto atau Mbah
Daliyem, sedangkan embah mereka yang lain disebut dengan Mbah Parno-sastro,
Mbah Kudus, Mbah Darno, atau mbah lain. Penyebutan seperti ini memang tidak
mengacaukan komunikasi dalam keluar-ga. Tetapi untuk urusan keluarga besar,
penyebutan seperti itu bisa menimbulkan bias. Sebab yang disebut Mbah
Kalinang, misalnya, itu ada beberapa orang, sebab keluarga lain juga
menyebut embah-nya dengan sebutan Mbah Kalinang.
Sejak saya kecil sudah diberitahu oleh Simbok tentang nama-nama kakek
nenekku, yaitu Mbah Saman yang juga bernama Mbah San-rejo, yang biasa kami
panggil dengan sebutan Pak Tua. Selain itu Mbah Pupon istrinya Mbah Saman,
dan Mbah Mat Nawi yang adalah kakek kami dari pihak ayah. Namun terus
terang, saya juga tidak tahu nama Mbah Mat Nawi putri. Mbah Mat Nawi sudah
meninggal dunia lama sebelum saya lahir. Adalah merupakan sua-tu yang
berharga, apabila kita memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai para
orangtua kita. Apalagi kalau kita bisa menela-dani kebijaksanaanya,
keutamaannya, semangat hidupnya, dan langkah-langkah dalam kehidupannya
yang patut diteladani.
Oleh sebab itulah beberapa waktu yang lalu bersama dengan kakakku Bruder
Paulus saya mencoba menelusuri riwayat nenek moyang kita, lebih jauh dari
yang selama ini sudah kami ketahui. Dalam penelusuran ini, beruntunglah
kita, karena masih ada sum-ber-sumber yang masih hidup, walaupun saat itu
sudah sepuh. Karena itulah kami setelah melayat Mas Agustinus Widodo yang
meninggal dunia pada tanggal 6 Oktober 2005, esok harinya kami: Bruder
Paulus, Ateng Winarno, Cipto Ruswanto, Kasmani, Mbak Sundari, Dwi Sunarmi,
Rusno, dan Aris berkunjung ke Karang-pilang, dan Ngalangalangan. Di sana
kami mengunjungi Kang Arjo Samino, yang sudah berusia 79 tahun, Kang
Djumadi yang sudah berusia sekitar 65 tahun di Karangpilang. Di
Ngalang-alangan kami menjumpai Dik Suyati yang berusia lebih dari 70 tahun
berserta suaminya (Carik) dan singgah di rumah Menil, di Bangak.
Tempat-tempat itu berada di Kecamatan Sambi dan sekitarnya, di Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah.
Dari penuturan Kang Arjo Samino kita memperoleh informasi berharga, bahwa
ayah Mbah Sanrejo atau Mbah Saman juga bernama Sanrejo. Sanrejo adalah nama
panggilan sehari-hari. Nama lengkapnya adalah Kasan Rejo. Tentang nama anak
sama dengan nama ayahnya dalam tradisi Jawa disebut nunggak semi.
Saya menduga Mbah Saman mengambil nama tua Sanrejo untuk mengenang ayahnya.
Dan bisa jadi pada saat Mbah Saman akan menikah dan mengambil nama tua,
Mbah Sanrejo tua sudah meninggal dunia. Kita tahu bahwa Mbah Saman adalah
anak bungsu. Semua kakak laki-lakinya meninggalkan kampung hala-man, pergi
ke Banyuwangi. Dialah satu-satunya anak laki-laki, yang menetap di kampung
halamannya, sehingga ketika ia meni-kah dengan Mbah Pupon ia mengambil nama
Sanrejo juga.
Mengenai pemakaian nama orang tua untuk nama dirinya, juga terjadi dalam budaya barat. Kita lihat misalnya ada George Bush Senior, dan George Bush Yunior, keduanya presiden Amerika Serikat. Sampai sekarang juga masih terbiasa orangtua memberi nama anaknya dengan memasukkan namanya sendiri pada nama anaknya. Dari kebiasaan seperti itu, kita bisa mengetahui hubung-an antara seorang dengan orang lain di dalam satu keluarga, karena sama-sama menggunakan nama Sukarno, misalnya. Mbah Sanrejo adalah nama panggilan sehari-hari. Nama lengkapnya ada-lah Kasan Rejo. Untuk selanjutnya dalam buku ini kita sebut dengan Mbah Sanrejo tua.
Kang Arjo Samino adalah cucu tertua dari Mbah Sanrejo muda. Arjo Samino termasuk pendahulu kita dalam merintis pendidikan formal. Pada waktu ia kecil, sepupunya, Sugiman anak Parto-wirejo suami Daliyem, disuruh sekolah. Oleh Sugiman, Arjo Samino diajak serta bersekolah agar ia punya teman di sekolah. Usianya memang sedikit lebih tua daripada Sugiman. Tetapi usia murid tidak menjadi persoalan pada waktu itu, sebab merekalah generasi pertama orang-orang desa yang digerakkan untuk berse-kolah. Bahkan ada orang yang sudah menikah pun tidak malu-malu masuk sekolah tingkat dasar. Jadi Arjo Samino termasuk generasi pertama orangtua kita yang mulai tahu baca-tulis. Pada masa kecilnya ia juga pernah ikut kakeknya, Mbah Sanrejo muda.
Dari kedekatannya dengan Mbah Sanrejo muda itulah ia diberi-tahu bahwa ayah Mbah Sanrejo muda juga bernama Sanrejo. Kakek moyang generasi pertama kita ini juga berasal dari Dusun Karangpilang. Beliau adalah generasi pertama keluarga kita, kare-na beliaulah kakek terdahulu yang kita ketahui namanya, dan jelas hubungan darahnya dengan kita. Kita tahu, sebelum Mbah Sanrejo tua ada orangtuanya, kakek neneknya dan seterusnya ke atas. Namun kita tidak dapat melacaknya lagi. Pada masa kecilnya Kang Arjo Samino setiap bulan Ruwah, diajak berziarah ke makam Mbah Sanredjo tua. Mbah Sanrejo tua ini diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-19, mengingat Mbah Sanrejo muda hidup sampai usia 90-an tahun pada tahun 1970-an. Diperkirakan Mbah Sanrejo muda lahir sekitar tahun 1880-an. Mbah Sanrejo muda adalah anak ke delapan. Ia adalah anak bungsu. Pada saat punya anak Mbah Sanrejo muda, diperkirakan Mbah Sanrejo tua berusia 40-an. Oleh karena itu diperkirakan Mbah Sanrejo tua lahir sekitar tahun 1840-an.
Selain itu, dari surat yang dikirimkan oleh kakakku, P. Subirin, kepada semua sanak saudara pada tanggal 3 Januari 1992, ketika kami akan membangun makam Mbah Sanrejo muda dan Mbah Pupon (istrinya) sekaligus pemperbaiki sejumlah kijing, cungkup dan makam lainnya pada tanggal 7 Februari 1993, kami juga mendapat sejumlah informasi berharga mengenai leluhur kita. Informasi ini diperoleh dari Mbah Sanrejo muda sendiri, atau Mbah Daliyem, ibu kami, yang sering menceritakan berbagai hal tentang sanak saudaranya. Dari surat ini kami mengetahui juga nama-nama anak Mbah Sanrejo tua, yaitu: Mbah Rosid, Mbah Rawis, dan Mbah Matngiso ketiganya di Banyuwangi, Mbah Joyo dan Mbah Seco di Grintingan, Mbah Senok di P. Lumbon, Mbah Semi di Imogiri, dan Mbah Saman di Karangpilang. Mbah Rosid, Rawis, Matngiso, dan Mbah Saman adalah empat anak laki-laki Mbah Sanrejo.
Dengan diketahuinya tokoh yang bernama Sanrejo itu, menjadi jelas, mengapa kami keluarga yang di Karangpilang bersaudara dengan saudara-saudara di Imogiri. Menjadi jelas juga siapa kakek moyang kita, meskipun kita baru mengetahui siapa embah buyut kita. Memang kita tahu kita masing-masing punya kakek nenek, embah buyut, embah cangah, bahkan embah amun-amun, atau bahkan generasi yang ke sekian puluh di atas kita. Namun di dalam keluarga besar kita, hanya sampai pada tokoh Mbah Sanrejo itulah yang bisa kita lacak.
Kiranya pencapaian itu pun sudah maksimal, karena untuk meru-nut leluhur kita lebih ke atas lagi rasanya sulit. Kita bersyukur dengan kenyataan ini, karena persaudaraan kita, baik yang di Karangpilang maupun yang di Imogiri benar-benar jelas urut-urutannya, dan ini menjadi modal berharga bagi hidup persau-daraan dan kekerabatan kita. Dengan demikian kita mempunyai dasar yang kuat untuk memelihara dan merawat hubungan persau-daran kita.
Mbah Sanrejo tua adalah kakek tertua kita masih dapat kita telu-suri
riwayatnya. Dengan lantaran Mbah Sanrejo tua kita sama-sama dilahirkan ke
dunia melalui orangtua kita masing-masing. Ia adalah leluhur kita yang nama
dan makamnya masih dapat kita ketahui. Tingkatannya masih sangat dekat
dengan kita (baru tingkat ke-5 atau ke-6). Karena keberadaan Mbah Sanrejo
tua itu-lah kita yang tinggal tersebar di berbagai tempat ini saling
bersau-dara, kita punya hubungan darah. Karena itu pula kita merasa dekat
satu dengan yang lain. Kita saling membantu, saling mengu-atkan, dan
bekerja sama. Kerja sama itu juga yang membuat persaudaraan kita menjadi
semakin erat.
Makam Mbah Sanrejo
Diketahuinya nama dan makam leluhur kita Sanrejo, merupakan bukti otentik mengenai leluhur kita, yang dapat kita pegang sebagai dasar kekeluargaan kita. Masyarakat kita memiliki kebia-saan baik, mendoakan orangtua dan saudara-saudara lain yang sudah meninggal dunia. Kita juga terbiasa berziarah ke makam orangtua, kakek dan nenek, serta saudara-saudara yang yang kita ketahui pusaranya, meskipun kita tidak pernah hidup dalam masa yang sama. Mengapa? Karena kita tahu, bahwa mereka adalah pendahulu kita, yang bisa menghubungkan dan mengakrabkan kita dengan saudara lain yang masih hidup. Hal itu juga yang mengge-rakkan semangat dan tekad, kami para cucu buyut Mbah Sanrejo untuk begotongroyong memindahkan makam Mbah Sanrejo dari Mangunan ke Karangpilang. Tujuannya, adalah supaya kita, para keturunannya, kalau hendak berziarah bisa sampai ke makam mbah kita ini dengan lebih mudah.
Pemindahan makam tersebut sudah dilaksanakan oleh Pak Djuma-di, Pak Arjo Samino bersama dengan saudara-saudara yang lain di Karangpilang serta Pak Rusno beserta keluarga dari Boyolali yang kami minta untuk mewakili keluarga yang ada di perantauan. Pemindahannya berlangsung pada hari Kamis Legi, tanggal 30 Maret 2006, bertepatan dengan hari libur Nyepi. Pada saat ini makam Mbah Sanrejo tua berada di sebelah kanan (timur) jalan masuk menuju makam ndoro-ndoro di Dusun Karangpilang, berdekatan dengan makam Mbah Matnawi. Langkah berikutnya, yaitu pembangunan nisan makam Mbah Sanrejo tua pun sudah dilaksanakan dengan melibatkan sebanyak mungkin sanak kelu-arga keturunan kakek moyang kita ini, terutama para cucu buyutnya yang ada di Imogiri, Karangpilang, Gubug, dan Brebes. Pembangunan batu nisan makam itu kita lakukan pada bulan Agustus 2007.
Menurut Kang Djumadi, tempat pemakaman Mangunan dikera-matkan orang. Di pemakaman itu ada sebuah makam sentono yang di selatan atau utara makam itu sering muncul gumuk, atau gun-dukan tanah menggunung. Ceritanya, apabila bukit itu muncul di selatan makam, maka desa di selatan makam itu akan makmur, yaitu memperoleh panen melimpah. Sebaliknya bila gumuk itu muncul di sebelah utara makam, maka yang akan menikmati panen yang baik adalah desa di sebelah utaranya. Tentang makam sentono itu kabarnya bukan makam manusia. Yang dimakamkan di sana ada-lah baju salah seorang abdi kerajaan. Makam itu sendiri kabarnya sudah tidak terawat lagi.
Untuk mempererat dan memperkuat kesatuan keluarga besar San-rejo tersebut, kita sudah memindahkan makam dan membangun batu nisan makam Mbah Sanrejo tua. Makam yang sudah tua itu semula berada di tempat pemakaman Mangunan, sebelah utara Dusun Karangpilang. Mbah Sanrejo tua dimakamkan di Mangun-an, karena ketika ia wafat sarean (makam) di Dusun Karangpilang belum ada. Untuk mencapai makam itu kita harus turun naik tebing kali Mangunan. Padahal para buyut pada saat itu umumnya sudah sepuh. Medan yang harus dilalui berat kalau mereka hendak berziarah. Selain itu, agar makam itu lebih terawat dan mudah dijang-kau oleh para keturunannya, maka makam itu dipindahkan ke sarean di Dusun Karangpilang. Dengan pemindahan makam itu ke Karangpilang, maka kita akan lebih mudah merawatnya. Selain mudah dijangkau, makam Mbah Sanrejo tua kini berada dekat dengan makam para kakek dan nenek kita yang lain, di antaranya: makam Mbah Joyo, Mbah Sanrejo muda, Mbah Kasan, Mbah Samiyem, Mbah Pawiro, Mbah Matnawi (kakek Pak Sugi, Pak Birin dan adik-adiknya).
Mbah Sanrejo tua adalah kakek canggah bagi kita yang merupakan generasi kelima. Dengan lantaran Mbah Sanrejo tua kita sama-sama dilahirkan ke dunia melalui orangtua kita masing-masing. Ia adalah leluhur kita yang nama dan makamnya masih dapat kita ketahui. Tingkatannya masih sangat dekat dengan kita (baru tingkat ke-5). Karena keberadaan Mbah Sanrejo tua itulah kita yang tinggal tersebar di berbagai tempat ini saling bersaudara, kita punya hubungan darah. Karena itu pula kita merasa dekat satu dengan yang lain. Kita saling membantu, saling menguatkan, dan bekerja sama. Kerja sama itu jugalah yang membuat persaudaraan kita menjadi semakin erat.
Memang, dalam hidup kita ini, kita jarang menyebut istilah cang-gah. Yang lebih sering kita sebut adalah ayah, ibu, kakek, nenek, anak, dan cucu. Dan yang masih mungkin disebut dalam pergaulan sehari-hari adalah embah buyut, dan cucu buyut atau cicit, sebab hal itu masih mungkin terjadi. Misalnya simbok saya, Daliyem, masih hidup ketika Agus cucunya Yu Sumilah lahir. Saya sendiri juga sering disebut mbah buyut saat ini oleh cucu buyut dari kakak-kakak saya yang sudah meninggal dunia. Namun jarang sekali seseorang dengan cucu canggahnya sama-sama hidup dalam satu masa. Sekalipun demikian, pada saat kita membicarakan tentang silsilah keluarga, sebutan canggah, wareng, uthek-uthek dan seterusnya adalah hal yang biasa. Tujuannya adalah untuk mempererat hubungan persaudaraan dalam suatu keluarga besar.
Kita para keturunan Mbah Sanrejo tua bersyukur karena masih mengenali makam kakek kita ini. Kakek inilah yang mengikat persaudaraan dan kekerabatan kita, yang pada saat ini tersebar di berbagai tempat. Kita tahu saudara-saudara yang tersebar di berba-gai tempat ini adalah saudara yang memiliki pertalian darah. Namun bagaimana pertalian itu terjadi? Semua itu dapat kita jawab kalau kita bisa merunut ke atas, mulai dari siapa orangtua kita, siapa kakek dan nenek kita, siapa kakek dan nenek buyut kita, dan siapa kakek dan nenek canggah kita dan seterusnya, dan akan sampai ke kakek Sanrejo.
Karangpilang Kampung Leluhur
Karangpilang adalah sebuah dusun kecil di Kelurahan Jagoan, Kecamatan Sambi. Sambi terletak di Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Boyolali menyerupai huruf J, atau L terbalik. Kecamantan Sambi terletak di tekukan bawah huruf "J" tersebut. Kota Boyolali terletak di sebelah barat Sambi. Sedangkan Kecamatan Sambi, berbatasan dengan Kecamatan Simo dan Nogossari di utara, Ngemplak di timur, Teras dan Banyudono di selatan, dan wilayah Kabupaten Semarang di barat. Kecamatan Sambi berada di bagian selatan Kabupaten Boyolali. Sementara sejumlah kecamatan lain terletak di sebelah utara Sambi. Di ujung utara wilayah Boyolali terdapat Waduk Kedung-ombo. Di bagian timur Sambi, yaitu di timur Desa Senting ada sebuah danau kecil, Waduk Cengklik, sebuah waduk yang diba-ngun kolonial Belanda tahun 1926-1928 untuk irigasi. Sekarang waduk ini lebih berfungsi sebagai tempat pariwisata. Tidak terlalu jauh dari waduk ini (sebelah timur) terdapat Bandara Adisu-marmo, Surakarta (Solo).
Kecamatan Sambi termasuk daerah kering. Dari 16 desa di sana, baru dua desa
yang memiliki persawahan irigasi, yaitu Desa Catur di bagian barat, dan
Canden di bagian selatan Sambi. Persawahan di desa-desa lainnya dikelola
dengan sistem tadah hujan, artinya penduduk di sana menanam padi di sawah
hanya pada musim hujan. Pada musim kemarau, istilahnya pada musim mareng,
penduduk di sana menanam padi gogo, palawija seperti singkong, jagung,
kacang-kacangan dan sebagainya.
Kemajuan pembangunan sekarang juga sudah menjangkau wila-yah Sambi. Pusat
Kecamatan Sambi terletak di 10,6 km di utara Bangak, yang terletak di
lintasan jalan raya Boyolali – Solo. Jalan Bangak-Sambi-Simo, sekarang juga
sudah dilewati bus. Dusun Karangpilang terletak sekitar 2-3 km di utara
Sambirejo, pusat pemerintahan Kecamatan Sambi. Menurut Wikipedia, pada
tahun-tahun terakhir, kawasan Sambi diprioritaskan untuk pembangunan
industri, terutama industri kering. Pada saat ini di Desa Babadan sudah
berdiri dua pabrik tekstil, salah satunya dari grup Pan Brother, yang
mempekarjakan 20.000 pekerja. Selain itu, pabrik mobil Esemka (PT Solo
Makmur Kreasi) yang merupakan salah satu karya anak bangsa, didirikan di
dekat Senting, sekitar 5 km di barat Bandara Adi Sumarmo, Solo. Ke
depannya, Kecamatan Sambi, Ngemplak di Boyolali, dan Colomadu dan
Gondangrejo di Karanganyar akan dikembangkan menjadi poros industri Solo
Raya ke arah barat.
Dengan adanya pusat-pusat produksi modern itu, sebagian pendu-duk di Karangpilang dan sekitarnya tentu bisa ikut bekerja di sana, tidak hanya bergantung pada hasil pertanian di lahan kering. Sambi terletak 10,6 km di sebelah timur kota Boyolali. Di barat Sambi, ada tempat wisata air, Tlatar, yang termasuk kecamatan Boyolali. Sejak beberapa tahun yang lalu, jalan tol Trans Jawa yang dibangun Presiden Joko Widodo, juga melewati kota Boyo-lali, Mojosonggo dan Banyudono. Di timur pertigaan Bangak, jalan menuju Sambi dan Simo, terdapat gerbang tol Colomadu, yang sudah beroperasi sejak Desember 2018. Melalui gerbang tol itu kita bisa berkendara sampai ke Jakarta atau Surabaya melalui jalan tol.
Di desa dengan gambaran seperti itulah leluhur dan sebagian besar dari
keluarga Trah Sanrejo hidup. Orang mengatakan daerah ini sebagai daerah
minus, karena penghasilan penduduk hanya dari lahan pertanian, dan itu pun
terbatas. Oleh sebab itu pula sebagian dari keluarga kita sejak puluhan
tahun yang lalu sudah merantau ke tempat-tempat yang lebih subur, baik di
wilayah Boyolali sen-diri atau di daerah lainnya. Ada yang merantau ke
Banyuwangi, pada masa sebelum kemerdekaan RI. Ada yang ke Imogiri, dan ada
juga yang ke Gubug di Kabupaten Grobogan. Belakangan sebagaimana terjadi di
berbagai tempat di Pulau Jawa, orang-orang muda dari Karangpilang juga
banyak yang merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta atai Surabaya dan
sekitarnya.
Sampai usia sekitar 5 tahun saya tinggal di Karangpilang. Ingat-anku
mengenai dusun ini sebatas ingatan anak usia anak-anak. Setelah usia 5
tahun keluargaku, keluarga Partowirejo, berpindah ke Desa Kaliwenang,
Kecamatan Tanggungharjo (dahulu Kedung-jati), Kabupaten Grobogan.
Pendidikan SD dan SMP saya lewati di Kaliwenang, Sugihmanik, dan Gubug.
Beberapa kali sewaktu usia SD saya bersama orangtua berkunjung ke
Karangpilang. Saudara dekat yang masih tinggal di sana ketika itu adalah
Kakek-nenek Sanrejo (muda), Siwo Sanraji, dan Paklik Pawiro. Sedangkan
saudara lain yang juga keturunan Mbah Sanrejo adalah Siwo Kasan dan
beberapa yang lain. Ketika saya menempuh pendidikan SMA di Boyolali,
kadang-kadang saya menengok kakek dan nenek Saman atau Pak Tua dengan
bersepeda.
Dalam kunjungan-kunjungan ini saya berkenalan dengan saudara-saudara yang
umumnya berusia lebih tua dari saya. Ingatan saya mengenai desa ini pun
menjadi semakin banyak dan memadai. Jalan-jalan di desa ini sedikit naik
turun. Ketika itu jalan-jalan itu masih berupa tanah, dengan batu-batu
pengeras jalan seadanya. Kendaraan roda empat yang lewat hampir tidak ada.
Jalan atau lebih tepatnya lorong-lorong itu cukup lebar untuk dilewati
orang dan hewan ternak. Pada tahun-tahun belakangan, jalan-jalan itu sudah
diper-keras dengan semen. Jalur utama jalan dusun ini bah-kan bisa dilewati
bus ukuran sedang. Sedangkan lorong-lorong lainnya bisa dile-wati mobil
roda empat. Dengan demikian sepeda motor dapat leluasa memasuki permukiman
di Karangpilang.
Ketika saya masih kecil di pinggir-pinggir lorong banyak tumbuh bambu,
terutama bambu ori. Belakangan penduduk setempat rupa-nya ingin
permukimannya lebih terang, terbuka, dan bambu-bambu tersebut banyak yang
sudah ditebang dan tidak tumbuh lagi. Pola kehidupan mereka pun juga
berubah. Pada masa lalu, penduduk terbiasa makan dengan menu utama singkong
beserta sayuran, atau tiwul dengan lauk sekadarnya. Sekarang menu seperti
itu makin ditinggalkan, tidak lagi menjadi menu sehari-hari. Kehidupan
modern juga mulai merambah saudara-saudara di tanah kelahiranku ini.
Televisi, radio, dan alat-alat elektronik sarana hiburan lain seperti
wayang kulit dan campur sari juga sudah akrab bagi mereka. Pendidikan kaum
mudanya pun semakin tinggi. Anak-anak usia SD umumnya bersekolah. Orangtua
sudah terbiasa mengirim anaknya untuk menempuh pendidikan SMP, SMU, bahkan
pendidikan tinggi. Ini merupakan langkah untuk mermperbaiki kualitas diri,
dan meningkatkan kehidupan.
Meskipun saya tidak pernah lama di dusun ini, ikatan emosionalku dengan
Dusun Karangpilang tidak hilang. Saya menyadari di dusun inilah saya dan
saudara-saudara sekandungku dilahirkan. Dusun inilah tanah kelahiran ayah
ibuku, kakek-nenekku, kakek-nenek buyutku Mbah Sanrejo. Para kakek dan
nenekku dimakam-kan di sana. Di sana juga ada makam Kakek-nenek Mat Nawi,
orangtua dari ayahku, dan juga nenek moyangku. Yang juga penting adalah di
sana saudara-saudaraku dari Trah Sanrejo dengan setia masih menjalani
kehidupannya. Saya berharap perta-lian keluarga besarku ini tidak terputus.
Saya berharap saudara-saudaraku di mana pun berada masih bisa menjalin
silaturahmi sesama keluarga. Saya berharap semua diberkati Tuhan, mendapat
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam kehidupannya. Salam untuk saudaraku.
Salamat berjuang dan tetap menjalin tali persaudaran. Salam. -- Ateng Winarno, 27 Maret 2010, direvisi 17 Mei 2022.
Pertemuan Keluarga
Dari rangkaian kegiatan, mulai dari pelacakan nenek moyang, pemindahan
makam dan pemasangan batu nisan makam Mbah Sanrejo tersebut di atas,
kemudian para sesepuh bersepakat untuk mengadakan pertemuan keluarga besar
Trah Sanrejo dengan berziarah bersama ke makam leluhur kita itu. Momen
ziarah itu juga sekaligus sebagai pertemuan pertama keluarga Trah Sanrejo
yang diselenggarakan dengan cukup semarak di rumah keluarga Senu di
Karangpilang. Pada saat itu para sesepuh Trah Sanrejo masih banyak yang
hadir, antara lain Pak Djumadi, Pak Harjani, Pak Mudi Raharjo, Pak Ujang
Biantoro, Pak Arjo Samino, Bruder Paulus, Ateng Winarno, dan Rubiyem,
Rubinem, dan Sri Suwarni.
Pada saat ini banyak dari mereka sudah meninggal dunia.
Kita para keturunan Mbah Sanrejo tua bersyukur karena masih mengenali makam kakek kita ini. Kakek ini inilah yang mengikat persaudaraan dan kekerabatan kita yang pada saat ini tersebar di berbagai tempat. Kita sepenuhnya tahu, bahwa saudara-saudara yang tersebar di berbagai tempat ini adalah saudara yang memiliki hubungan darah. Namun bagaimana hubungan itu terjadi? Semua itu dapat kita jawab kalau kita merunut ke atas, mulai dari siapa orangtua kita, siapa kakek dan nenek kita, siapa kakek dan nenek buyut kita, dan siapa kakek dan nenek canggah kita dan seterus-nya, lalu akan sampai ke kakek Sanrejo.
Dengan demikian kita bisa tahu siapa saudara sepupu, saudara misan (embahnya kakak beradik), saudara mindo (embah buyut-nya kakak beradik), dan saudara lain yang sederajat yang lebih jauh lingkarannya. Jauh dekatnya hubungan darah di dalam Trah Sanrejo tidak menjadi ukuran utama. Kita tahu, persahabatan yang akrab bisa terjadi bahkan pada orang-orang berbeda suku, atau ras. Keakraban juga dapat dijalin antarorang perantauan dari satu daerah yang sama. Namun dengan adanya kesadaran bahwa kita sama-sama sekeluarga besar karena satu keturunan atau trah, maka kita dapat menjalin kekerabatan dan keakraban dengan saudara-saudara baik yang tinggal berdekatan secara fisik maupun dalam komunikasi yang lebih akrab.
Sekarang dengan adanya kemajuan teknologi informasi, seperti facebook, ataupun whatapp, dan zoom, atau yang lain, kita juga dapat menjalin keakraban persaudaraan di dalam Trah meskipun kita tinggal di tempat yang saling berjauhan. Contohnya, ketika ada saudara yang meninggal dunia, kita bisa berdoa bersama melalui zoom. Dengan zoom juga atau video call lewat whatapps kita bisa ngobrol, saling berbagi kegembiraan pada hari-hari besar atau hari bahagia, meskipun kita tinggal berjauhan. Kita ikut senang kalau mengetahui kabar baik dan gembira dari saudara kita yang lain. Kita juga bisa ikut bersimpati, berempati, menghibur dan mendoakan saudara lain yang sedang menghadapi masalah.
Pada tanggal 1 Desember 2007, pertemuan keluarga besar Trah Sanrejo
diselenggarakan di Dusun Karangpilang. Selain mengada-kan perkenalan
antarkeluarga, pada saat itu juga dilakukan ziarah ke makam Mbah Sanrejo.
Pertemuan diselenggarakan di rumah Pak Senu, anak Pak Arjo Samino.
Sekalipun rumah itu cukup besar pengunjung tidak dapat tertampung di dalam
rumah. Terpaksa sebagian menumpang di beranda rumah-rumah tetangga sekitar,
bahkan ada juga yang ngampar di jalanan. Ratusan orang datang ke acara ini.
Saudara-saudara dari Imogiri datang dengan menumpang 6 bus ukuran sedang.
Dari Jakarta juga datang dengan satu bus. Ada lagi yang datang dari Brebes,
Gubug, Boyolali, dan juga dari Karangpilang sendiri. Suasananya ramai,
meriah dan semarak meskipun acara pertemuan itu berlangsung sederhana.
Semua yang hadir di sana bersaudara.
Pertemuan itu sangat mengesan. Oleh karena itu, kita bertekad akan mengadakan pertemuan lagi secara berkala 3 - 5 tahun sekali. Pertemuan kedua diselenggarakan di rumah keluarga Trisno Amo-jo di Imogiri pada tanggal 29 Juni 2011. Acaranya dipersiapkan dengan baik sekali oleh saudara-saudara di Imogiri. Suasananya meriah seperti orang punya hajatan mantu. Sekitar 300-500 orang hadir dari berbagai tempat. Panitia juga menyiapkan panggung yang cukup besar khusus untuk sesi foto bersama, dari rumpun-rumpun keluarga besar.
Pertemuan berikutnya diselenggarakan di kediaman keluarga Tutik Djoko Marsono, di Babarsari, Sleman, Yogyakarta, pada tanggal 11 Mei 2013, bersamaan dengan peringatan 50 tahun Bru-der Paulus hidup membiara. Pertemuan selanjutnya diselengga-rakan di Kaliwenang, di kediaman Wagiyem Sarmin, pada bulan 20 Juli 2015. Acara yang diselenggarakan setelah hari raya Idul-fitri itu dimaksudkan sekaligus sebagai momen halalbihalal. Acara yang berlangsung di pedesaan itu juga dihadiri sekitar 300 orang. Suasa-nanya juga semarak, seperti orang hajatan.
Pertemuan selanjutnya direncanakan diadakan di Jakarta. Namun karena ada satu hambatan yang tidak teratasi, pertemuan itu belum bisa diselenggarakan. Kita berharap, pertemuan-pertemuan seperti itu masih bisa kita selenggarakan, di mana pun tempatnya. Di luar pertemuan besar seperti di atas, pertemuan dalam lingkup yang lebih kecil juga diselenggarakan secara berkala di Jabodetabek, dan konon di Imogiri juga diselenggarakan. Akhir-akhir ini, karena pandemi Covid-19 yang merebak menjadi pandemi sejak Maret 2020, banyak kegiatan yang mempertemukan banyak orang di satu tempat dihentikan, atau setidak-tidaknya dibatasi, misalnya rapat-rapat, kegiatan kantor dialihkan menjadi bekerja dari rumah, hajatan, dan sekolah pun ditempuh dari rumah secara online.
Hal itu berlangsung kurang lebih selama dua tahun. Baru bela-kangan, setelah penambahan casus penularan virus Covid 19 melandai, pemerintah mulai melonggarkan kegiatan berkumpul, dan kegiatan mudik pada tahun 2022 pun dibebaskan. Kemudian setelah pelonggaran itu tidak menimbulkan masalah, masyarakat bisa saling berlilaturahmi dan berkumpul kembali. Kita juga berharap pertemuan-pertemuan keluarga kita bisa kita seleng-garakan lagi. -- Jakarta, 28 Maret 2010, direvisi pada 28 Mei 2022. ***
Silsisah Keluarga Besar Trah Sanrejo
Idealnya dalam silsisah ini ada delapan rumpun keluarga, sesuai dengan jumlah anak Mbah Sanrejo tua. Namun karena keterba-tasan informasi, maka dalam buku ini hanya bisa disajikan silsilah tiga rumpun keluarga. Itu pun belum bisa maksimal. Harus dikui, sudah banyak sumbangan informasi mengenai data keluarga besar Trah Sanrejo yang kami terima selama ini. Untuk itu kami mengu-capkan terima kasih kepada saudara-saudaraku atas sumbangan data keluarga yang sangat berguna bagi penulisan silsilah ini. Meskipun sudah banyak data yang dikirimkan, kami tidak bisa menyajikan informasi mengenai keluarga-keluarga dalam silsilah secara lebih luas dari sekadar nama orangtua dan anak-anaknya.
Hal itu juga tidak menjadi masalah, karena data esensial mengenai silsilah sudah kita dapatkan. Informasi yang lebih luas mengenai keluarga-keluarga dalam silsilah ini kami sajikan dengan harapan dapat menjadi inspirasi bagi keluarga-keluarga lain, terutama yang lebih muda, untuk kehidupan keluarga-keluarga dalam trah kita. Berkenaan dengan itu, ada sejumlah keluarga yang tergambarkan silsi-lahnya secara sangat terbatas, dan karena itu saya mohon dima-afkan. Memang harus diakui, silsilah ini bukan tulisan final. Malahan sebaiknya silsilah ini dilengkapi oleh masing-masing keluarga yang bersangkutan sehingga lebih akurat, dan informatif bagi setiap keluarga, sehingga bermanfaat bagi keluarga-keluarga dalam lingkaran yang lebih kecil. Silsilah ini dibuat berurutan, dari nama orang yang lahir lebih dahulu. Dengan mengetahui siapa anak siapa di dalam rumpun keluarga itu, maka dapat diketahui hubungan kekerabatan antarkeluarga, dan juga dapat diketahui seseorang ada dalam urutan (generasi) ke berapa dalam keluarga besar.
Catatan: dalam silsilah ini, setiap paragraf diawali dengan angka. Angka itu dimaksudkan untuk mempermudah pengurutan dalam silsilah.
- Mbah Sanrejo tua kakung dan putri adalah generasi perta-ma Trah Sanrejo, sehingga anak-anaknya adalah generasi kedua, cucu-cucunya adalah generasi ketiga, para cucu buyutnya adalah generasi keempat dan seterusnya.
- Angka-angka itu menunjukkan nomor urut kelahiran orang yang bersangkutan. Angka paling akhir adalah nomor urut kelahiran dirinya, angka di depannya adalah nomor urut kelahiran orangtuanya, angka di depannya lagi adalah nomor urut kelahiran kakek atau neneknya, begitu dan seterusnya.
- Sedangkan kalau dibaca dari depan, angka pertama adalah nomor urut kelahiran anak-anak Mbah Sanrejo tua. Angka kedua adalah nomor urut kelahiran cucunya di dalam keluarganya, angka ketiga adalah nomor urut kelahiran buyutnya di dalam keluarganya, dan seterusnya. Di dalam silsilah ini yang diuraikan hanya keturunan Mbah Joyo dari Karangpilang dengan angka depan 4, keturunan Mbah Semi Proyo dari Imogiri dengan angka depan 7, dan ketu-runan Mbah Sanrejo muda dari Karangpilang dengan angka depan 8.
- Jadi kalau di depan nama seseorang terdapat dua angka, ia adalah cucu Mbah Sanrejo tua, atau generasi ketiga. Kalau ada tiga angka adalah buyut/cicit atau generasi keempat, kalau ada empat angka adalah canggah atau generasi kelima, kalau ada lima angka adalah wareng, atau generasi keenam, dan seterusnya. Pada saat ini generasi termuda dalam Trah Sanrejo adalah generasi ketujuh (sebutannya cucu uthek-uthek) posisinya di bawah buyut (cicit), cang-gah, dan wareng.
- Semakin sedikit jumlah angka di depan paragraf mengenai nama seseorang, semakin tua (awunya atau ketuannya) dalam keluarga, sekalipun dalam silsilah ini diuraikan di bagian belakang silsilah ini.
- Sebagai contoh, di depan nama seseorang ada angka 7.6.5.4, berarti ia adalah keluarga Trah Sanrejo generasi kelima (canggah). Ia adalah keturunan dari Mbah Semi Proyo dari Imogiri, dari anak keenamnya, yaitu Mbah Sarikem. Orangtuanya adalah anak yang kelima dari Mbah Sarikem, yaitu Sri Susiyanti, dan ia sendiri (Pandu Setiawan Gunarso) adalah anak keempat di dalam keluar-ganya.
- Dalam silsilah ini gelar akademik pada nama-nama orang tidak dicantumkan.
Catatan Tambahan:
Dalam perkumpulan keluarga Trah Sanrejo, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, ada keluarga yang sudah lama menjadi bagian keluarga kita, yaitu keturunan Yu Sempruk, yaitu Wiji, Jinah dan saudara-saudaranya. Mereka bergabung karena bukan orang lain di tengah keluarga kami, Partowirejo. Menurut cerita Mbah Daliyem, Yu Sempruk adalah salah seorang keponakan jauh Mbah Partowirejo yang berasal dari Senting. Berhubung Yu Sempruk di perantauannya, di Gubug, jauh dari keluarganya sendiri, maka Yu Sempruk kemudian menggabungkan diri menjadi bagian dalam keluarga kami. Sejak masih kecil Wiji, Jinah dan saudara-sau-daranya sudah bergaul akrab dengan keluarga Mas Subirin dan Sugiman, dan menjadi bagian keluargaa kami. Oleh karena itu begitu paguyuban Trah Sanrejo terbentuk, keluarga Yu Sempruk juga ikut aktif dalam pertemuan-pertemuan keluarga. Jinah meni-kah dengan Petrus Maryono dari Sendangsono. Mereka mempu-nyai dua orang anak, Yaitu Beny yang baru menyelesaikan kuliah di Universitas Sugiyopranoto, Semarang, dan Stefan yang masih SD. Keponakan Jinah, Wahyu menjadi dokter dan sudah berumah tangga di Gubug, dan Ali Masardi yang juga sudah berkeluarga dan bekerja di perusahaan penerbangan.
1. Keluarga Mbah Rosid - Banyuwangi (tidak ada data)
2. Keluarga Mbah Rawis - Banyuwangi (tidak ada data)
3. Keluarga Mbah Mangiso - Banyuwangi (tidak ada data)
Keluarga Mbah Joyo - Karangpilang:
Mbah Joyo (perempuan) menikah dengan Mbah Joyo laki-laki. Mereka mempunyai anak empat orang anak, yaitu: Topawiro, Karep, Ngalinem, dan Mustari. Anaknya yang ketiga, Ngalinem ini kemudian menikah dengan Kasan Wikromo, sehingga kami Mas Sugiman ke bawah memanggil mereka Siwo Kasan. Anak-anak Mbah Joyo ini kita sebut sebagai generasi ketiga dalam Trah Sanrejo.
4.1. Anak sulung Mbah Joyo adalah Topawiro. Setelah menikah ia mempunyai enam orang anak, yaitu Ngatemin, Ngadimin, Tuki-man, Ngatiyem, Ngateman, dan Ngatiman. Mbah Ngatiyem adalah satu-satunya anak perempuan Mbah Topawiro. Lima anak yang lain laki-laki. Tentunya setelah menikah, mereka pun berganti nama, dengan nama tua. Mereka adalah generasi yang dilahirkan pada paruh pertama abad ke-20.
4.2. Anak kedua Mbah Joyo juga perempuan, yaitu Karep. Ia menikah dengan suaminya, Mbah Ardjo, sehingga namanya sering disebut dengan Ardjokarep. Mbah Ardjokarep ini mempunyai tujuh anak, yaitu Paryani, Biyem, Sinah, Kaseh, Sukimin, Ngali-nem, dan Sutiman. Semuanya perempuan, keculai Mbah Sukimin dan Mbah Sutiman.
4.3. Anak ketiga Mbah Joyo adalah Ngalinem, atau Mbah Kasan perempuan. Ia menikah dengan Kasan Rejo. Mereka mempunyai enam orang anak, yaitu Ngadino, Welas, Pardji, Sudimin, Djuma-di, dan Sayem. Kami memang mempunyai kedekatan dengan keluarga Siwo Kasan, karena baik Wo kasan perempuan maupun laki-laki masih bersaudara dengan kami. Wo Kasan laki-laki kebe-tulan adalah saudara dari ayah kami, Partowirejo. Karena kede-katan keluarga kami dengan keluarga Siwo Kasan, beberapa kali ketika kami berkunjung ke Karangpilang juga sowan kepada Wo Kasan. Selain itu, salah seorang anaknya, Kangmas Djumadi, kebetulan sepantaran dengan Bruder Paulus sehhingga lebih akrab. Apalagi mereka sama-sama sekolah di SR Sambi.
4.4. Anak keempat (bungsu), Mbah Joyo, adalah Mustari. Mbah Mustari mempunyai anak paling banyak, sembilan orang. Mereka adalah Giyek, Dalimin, Ginah, Ngadinem, Senen, Saliyem, Dali-man, Samino, dan Ngadirin. Anak-anak Mbah Mustari, bersama-sama dengan cucu-cucu Mbah Joyo adalah generasi keempat, sama seperti Mas Sugiman dan saya sendiri. Sebutan untuk sesama kami adalah saudara misan.
Silsilah keluarga Mbah Joyo ini saya peroleh ketika kami, bersama Bruder Paulus berkunjung ke rumah Mas Djumadi. Sayangnya kami belum mendapatkan nama-nama keluarga Mbah Joyo gene-rasi ke lima ke bawah, yang pasti keturunan generasi kelima hingga ketujuh dari Mbah Joyo ini pada umumnya masih tinggal di Karangpilang.
5. Keluarga Mbah Seco – Grintingan (tidak ada data)
6. Keluara Mbah Senok – P. Lumbon (tidak ada data)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar